Bila banyak Kompasianer memendam rindu pada kekasih dan seseorang, saya memendam rindu pada Permen Telur Cicak. Rindu pada Permen Telur Cicak membawa saya pada beberapa rindu yang lain. Entah mengapa, Permen Telur Cicak mengingatkan pada rindu atas sesuatu yang sederhana, yaitu kesederhanaan itu sendiri.
Saya sudah menyukai Permen Telur Cicak sejak masa SD. Namun permen ini punya jejak kuat pada masa SMP saya. Masa bersama sahabat saya, Rarah Ratih Adji Maheswari. Duduk sebangku selama 3 tahun berturut turutpun tetap membuat kami berangkat dan pulang sekolah Kami bersama. Juga melakukan kegiatan ekstra kurikuler karatekapun kami lakukan bersama. Sudah tentu, kami berjalan kaki bersama untuk melakukan ekstrakurikuler itu.
Ketika kawan kawan kami yang lain diantar dan dijemput dengan mobil keluarga untuk ke sekolah dan kegiatan ekstrakurikuler, kami berjalan kaki. Dan dalam perjalanan kaki itulah, kami sering mampir suatu toko yang terletak sekitar 100 meter jelang sampai di sekolah. Di toko itu kami biasa membeli Permen Telur Cicak. Tidak banyak. Biasanya masing masing satu kantong plastik kecil berisi sekitar 30 butir Permen Telor Cicak. Hal ini berjalan selama tiga tahun.Â
Dik Yayah memang sahabat yang tidak biasa. Hampir dikata, kami tidak pernah bersilang pendapat. Tidak pernah. Kalaupun kami punya pendapat berbeda, kami tetap bisa menerima. Ihlas saja. Mungkin kawan kawan sekolah melihat kami sebagai kawan yang tak terpisahkan. Mungkin unik. Mungkin aneh. Tapi, sudah jelas tidak biasa.Â
Dik Yayah adalah putri seorang Guru sederhana. Ia sahabat yang menjadi idola keluarga. Kakek nenek saya sangat sayang padanya. Juga ayah ibu saya.
Pasalnya, selain cerdas, dik Yayah memang sangat santun. Kakek nenek kami sangat 'merestui' persahabatan kami. Kami berdua selalu berbahasa Jawa kromo inggil satu sama lain. Itu terjadi sejak perkenalan pertama hingga dik Yayah dewasa dan mendapatkan gelar doktor untuk bidang kerja kedokteran hewan dari Perancis, sampai meninggalnya di tahun 2014 karena sakit kanker.
Dik Yayah tidak pernah mendiskusikan soal sakitnya, sehingga sayapun tak pernah mengetahuinya. Kami hanya terhubung melalui HP. Ia selalu mendiskusikan foto yang saya ambil. Atau menceritakan putra kembarnya. Dik Yayah meninggalkan kami semua dengan kehilangan yang sangat.
Sampai sampai, mahasiswa dik Yayah yang sangat kehilangan dosennya akhirnya berkenalan dengan saya. Kami terhubung untuk hanya sekedar bercerita tentang dik Yayah. Bagi kawan kawan, hal ini bisa juga dibilang aneh. Atau mungkin unik. Tak tahulah. Saya hanya memaknainya sebagai persahabatan yang sederhana. Sesederhana Permen Telur Cicak kegemaran kami berdua.Â
Dik Yayah sering bermalam di rumah keluarga kami di perkebunan. Biasanya, saya harus menyembunyikan anjing kami, Leika, agar tidak mengendus dik Yayah. Dik Yayah memang sangat takut dengan anjing. Sering kali saya harus menyelamatkan dik Yayah yang terpaksa harus naik meja karena dikejar Leika.Â
Namun, hal ini tidak mengurangi frekuensi kehadiran dik Yayah di rumah kami. Dan ritual penyelamatan hampir selalu terjadi. Berulang.Â
Setelah dik Yayah berpulang, saya barulah memahami bahwa ia dirindukan oleh banyak orang. Mahasiswa mahasiswa dik Yayah pernah menghubungi saya melalui Facebook hanya untuk berkenalan dan mengetahui lebih lanjut tentang siapa dik Yayah. Itu karena kami sama sama merindukan kehadirannya.