Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

90 Menit di Belakang Layar Panggung Wayang Wong Sriwedari

25 Februari 2019   09:30 Diperbarui: 25 Februari 2019   21:14 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini hari Senin, semangat kerja untuk memulai hari baru masih tinggi. Tersisa sedikit kenangan akhir pekan. Sebagai bekal soal manusia dan panggung kerja yang bisa juga menjadi panggung sandiwara. 

Sabtu itu masih menunjukkan pukul 18.30 WIB ketika saya tiba di gedung Wayang Wong Sriwedari yang terletak di tengah Taman Sriwedari Solo dekat jalan Slamet Riyadi Solo. Lakon cerita malam itu adalah tentang Anoman Obong. 

Saya sudah membayangkan bahwa petilan cerita Ramayana ini akan menjadi atraksi menarik, ada lompatan Anoman yang terampil dan kobaran api serta asap. 

Anoman sang Kera Putih yang pemberani dan sakti dan merupakan duta Rama akan mengobrak abrik Kerajaan Alengka Diraja. Ia sengaja membiarkan dirinya tertangkap agar bisa memasuki tempat diculiknya Sinta oleh Rahwana. 

Anoman adalah tokoh pewayangan antar zaman. Meski ia ada di bagian cerita Ramayana, namun ia juga muncul di kisah Mahabarata.

Dandanan Wayang (Dokpri)
Dandanan Wayang (Dokpri)
Setelah mendapatkan tiket kursi VIP seharga Rp 10.000 untuk pertunjukkan, saya meminta izin untuk berada di belakang panggung untuk sekedar membunuh waktu. 

Masih ada waktu 1,5 jam untuk menonton wayang yang dimulai pada pukul 20.00 WIB. Wayang Orang Sriwedari biasanya tutup di hari Minggu sehingga pada hari Sabtu atau malam Minggu, penonton memenuhi gedung. Di belakang panggung telah hadir beberapa penari dan Pewayang Wong yang sedang bersiap. 

Para pewayang dipisahkan oleh ruangan. Pewayang perempuan ada di ruang perempuan, sementara pewayang laki-laki ada di ruang laki-laki. Mereka duduk di depan cermin dan berhias. 

Masing-masing mempersiapkan diri, tanpa adanya makeup artist. Beberapa anak kecil, yang saya duga keluarga pewayang menonton dan sesekali mencoba berdandan. Menurut saya, ini istimewa. Ada kesan kekeluargaan namun profesionalisme tinggi di antara pewayang.

Di ruang perempuan, beberapa pewayang merias wajahnya dengan bedak, eye shadow dan lipstik. Ada pula beberapa yang sedang melulur tubuhnya sehingga berwarna kekuningan. 

Di ruang laki-laki, beberapa pewayang menggambar wajahnya dengan coretan tebal. Bila dahulu tubuh dibalur warna merah atau putih untuk pewayang kera, saat ini mereka mengenakan baju dan celana long john yang menutupi tubuh. Tak heran sering kita menyebut celana Anoman untuk celana long john ini.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Saya mendatangi seorang perempuan pelakon Surpanaka yang merupakan adik perempuan Rahwana yang juga merupakan raksasi. Ia sedang menghapal tembang untuk ia lantunkan nanti. Tenbanf ia tulis di atas telapak tangannya. Ia menghapal sambil mempersiapkan dandanannya. Ia memegang cermin yang sudah tak baru lagi. Takjub saya menyaksikan ia berdandan dan mengubah dirinya menjadi cantik jelita dengan make up-nya.

Di sudut lain di ruang laki-laki, nampak pelakon Anoman sang kera Putih, juga Sugriwa pelakon sang Kera Merah dan pelakon Anilo sang kera berwarna nila keunguan telah bersiap dengan dandannya. 

Nampak beberapa anak kecil mengikuti ayahnya yang berdandan dan akan memerankan sebagai sang Kera merah, Sugriwa. Mereka turut pula mencorengkan bahan make up ke wajah mereka. Wibisono sang raksasa ganteng juga bersiap dengan make up.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Adapula pewayang yang sedang berdandan untuk peran Petruk. Wajah lucu dengan bayangan hidung seakan ia berhidung mancung (walau aslinya pesek) menjadikannya sangat lucu.

Berbicara soal alat-alat make up. Sementara para pelakon perempuan menggunakan kosmetik sederhana, para pelakon wayang laki laki pada umumnya menggunakan bahan-bahan yang bervariasi. Kadang-kadang saya temukan sebagian dari mereka menggunakan pewarna tradisional semacam jelaga.

Saya mengamati proses berdandan itu, sambil sesekali bertanya kepada narasumber istimewa di malam itu. Karena pemain Wayang Wong akan berjarak dengan penonton dan dengan diberi lampu panggung yang kuat, maka dandanan nampak dibuat lebih tebal. 

Beberapa dandanan mewakili watak dan karakter tertentu sehingga terdapat pakem dan ciri-ciri yang menarik.

Anak anak Sugriwa (Dokpri)
Anak anak Sugriwa (Dokpri)
Anilo sang Kera Nila Keunguan (Dokpri)
Anilo sang Kera Nila Keunguan (Dokpri)
Beberapa jenis rias wayang yang saya coba tangkap dari penjelasan para pelakon Wayang Wong itu antara lain:
  • Putra alus yang lemah lembut untuk tokoh seperti Rama, Abimanyu, Arjuna,
  • Putra alus gesit untuk tokoh seperti Kresna, Wibisana, Nakula dan Sadewa;
  • Gagah Thelengan untuk tokoh karakter berwibawa seperti Bima, Gatutkaca, Duryudana;
  • Gagah Prengesan untuk tokoh laki-laki yang gagah tetapi suka tertawa terbahak dan kadang berwatak jahat seperti Dursasana;
  • Gagah Gusen bertaring untuk tokoh laki laki yang jahat seperti Rahwana, Indrajit;
  • Raksasa Raja untuk yang bengis kejam seperti Niwatakawaca dan Kumbakarna, meski mereka memiliki pula karakter berbudi luhur;
  • Raksasa lucu untuk karakter raksasa humoris seperti Sukrasana dan Kalabenda;
  • Raksasa liar untuk karakter raksasa jahat seperti Cakil
  • Punakawan untuk abdi dalem laki-laki seperti Semar, Gareng. Petruk dan Bagong
  • Punakawan perempuan seperti Limbuk dan Cangik
  • Kera untuk tokoh monyet seperti Anoman, Anggada, Sugriwa dan Subali.

Saya melihat semua pemain wayang hampir selalu memerankan peran dan karakter tertentu. Mereka bersiap sesuai jadwal. Saya tidak melihat adanya seseorang yang mengingatkan jam berapa mereka harus tampil. Mereka sudah hapal dengan peran dan kapan perlu muncul ke panggung. Bagi saya ini menakjubkan.

Wibisono (Dokpri)
Wibisono (Dokpri)
Dari sejarahnya, wayang berasal dai bahasa Jawa kuno yang berarti bayangan. Istilah ini muncul ketika wayang merupakan wayang kulit. Pada arti yang lebih luas, maka wayang juga dapat untuk wayang wong. 

Pada hakikatnya pelakon wayang wong adalah mereka yang merupakan bayangan dari karakter karakter yang ada di dunia. Ada yang baik, ada pula yang buruk. Yang menarik dari peran di dalam cerita wayang, baik Ramayana maupun Mahabarata, kaum yang baik akan mengalahkan kaum yang jahat.

Wayang Wong Siwedari merupakan lembaga kesenian yang komersial milik Keraton Kasunan Surakarta. Wang Wong Sriwedari berdiri pada tahun 1910 yang dibangun oleh R.A.A Sasdiningrat, atas perintah Sri Susuhunan Paku Buwono X.

Petruk sedang Berhias (Dokpri)
Petruk sedang Berhias (Dokpri)
Dari sejarah keraton, wayang adalah kesenian Yogyakarta yang diadaptasi oleh keraton Surakarta. Pendiri pertama Wayang Wong adalah Adipati Mangku Negara I (Sultan Hamengku Buwana I) yang hidup pada tahun 1757-1795.

Sejak tahun 2001, wayang wong Sriwedari dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Diparsenibud) di bawah Seksi Pengendalian dan Pelestarian Aset Seni dan Budaya melalui surat keputusan Wali Kota Surakarta nomor 25 tahun 2001.

Wayang Wong Sriwedari saat ini tercatat di Museum Rekor MURI sebagai organisasi wayang tertua. Wayang ini pernah mengadakan pementasan di Jerman dan Eropa Barat. 

Wayang Wong Sriwedari memiliki koordinator, sutradara, asisten sutradara, bagian penjual tiket, penabuh gamelan atau pengrawit, pelakon atau disebut anak wayang, dan dekorasi. 

Sutradara adalah orang yang mengatur jalannya pertunjukan Wayang Wong, membagi peran, membuat rangkuman cerita, dan lain-lain. Terdapat sekitar 30 sampai 50 orang untuk sekali pertunjukkan wayang. 

Terdapat beberapa orang yang memiliki tugas untuk pengaturan panggung, lampu, dekorasi, juru pakaian dan gamelan atau karawitan. Terdapat pula petugas kebersihan dan keamanan gedung.

Pemain Wayang Wong Sriwedari biasanya diberi persyaratan untuk biasa memainkan minimal 3 peran wayang, mampu menari dan berbahasa Jawa halus (karma Inggil) dan kadang-kadang bahasa Jawa kuno. 

Dalam wayang terdapat dalang yang biasanya memegang kendang. Ia bertugas membantu mengarahkan jalannya cerita, melalui tembang, dan kendangnya.

Dekorasi Wayang Wong Sriwedari sangat sederhana. Terdapat tali besar yang dipasang di baian kanan kiri layar yang diberi bambu sehingga pengangkatan melalui dikerek dapat dilakukan dengan mudah. Di bagian belakang tedapat layar atau cylodrama yang bersifat permanen. Biasanya gambar layar suasana kerajaan atau suasana hutan ada di panggung.

Saya senang bisa berkenalan dengan Ibu Sulasi. Ia termasuk salah seorang penari menyelesaikan karier 50 tahun penarinya, tanpa uang pensiun. 

Beliau dahulu memiliki spesialisasi pelakon Abimanyu dan saat ini bertugas mempersiapkan konsumsi pemain wayang wong. Dengan menyediakan minum dan kue itu, ia berharap pertunjukan wayang tetap ramai dan ia mendapatkan sedikit uang untuk sekedar makan dan keperluan sehari harinya. Untuk itu, setiap malam ia menerima anggaran konsumsi dan mendapatkan ganti Rp 25.000 untuk uang lelahnya.

Ibu Sulasi mantan pelakon Abimanyu (Dokpri)
Ibu Sulasi mantan pelakon Abimanyu (Dokpri)
Setelah menyaksikan pemain mempersiapkan diri dan berdandan di belakang panggung, saya tetap asyik untuk bisa menyaksikan wayang dari belakang maupun dari depan. 

Cerita Anoman Obong sangat keren. Segmen ini merupakan bagian dari cerita Ramayana yang juga ada di pementasan Ramayana di pelataran Prambanan. Penampilan Rama, Shinta, dan Laksamana selalu menjadi awalan. Kemudian mereka mengejar Kijang Kencana yang merupakan titisan raksasa. 

Karena Kijang Kencana menggoda, Rama meninggalkan Shinta dijaga oleh Laksmana. Namun lengkingan Kijang Kencana yang sengaja dibuat seperti suara Rama yang terluka membuat Shinta meminta Laksmana meninggalkannya. Shinta yang seorang diri akhirnya diculik oleh Rahwana yang memang memperdaya atau membuat rekonstruksi kisah. 

Rama dan Laksmana terkejut ketika kembali ke hutan dan tidak mendapatkan Shinta. Rama mengutus Anoman menjadi duta dan mematai-matai situasi Alengka. Karena Anoman sengaja ingin ditangkap di kerajaan Alengka Diraja, ia ditangkap dan dibakar hidup hidup. Bukanya ia luka, melainkan ia membakar hutan dan kerajaan di Alengka. 

Anoman dan Sugriwa, Kera Bersaudara yang Berperang juga (Dokpri)
Anoman dan Sugriwa, Kera Bersaudara yang Berperang juga (Dokpri)
Wayang adalah panggung sandiwara. Kali ini saya menyaksikan Anoman Obong sebagai petilan Ramayana. Kali lain akan dimainkan cerita dari kisah Mahabarata. 

Tentu kita jadi ingat lirik lagu Panggung Sandiwara karya ian Antono dan Taufik Ismail. Ahmad Albar menyanyikannya, dengan menampilkan lagu dari Nike Ardila yang masih relevan dengan zaman terkini.

Dunia ini panggung sandiwara ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani
Setiap kita dapat satu peranan yang harus kita mainkan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura
Mengapa kita bersandiwara?
Peran yang kocak bikin kita terbahak-bahak

Peran bercinta bikin orang mabuk kepayang
Dunia ini penuh peranan
Dunia ini bagaikan jembatan kehidupan
Mengapa kita bersandiwara? 

Pustaka :
Sriwedari
Sejarah Sriwedari  
Tata Rias Wayang 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun