Di tahun 1977, rumah kami di perkebunan Getas Kecil di Jawa Tengah kedatangan tetamu. Tetamu itu adalah pemuda pemudi Timor Timur, salah satu provinsi termuda di Indonesia kala itu. Selama dua minggu mereka belajar tentang teknik perkebunan coklat dan kopi karena kedua komoditas itu adalah komoditas andalan di wilayah mereka. Saya masih duduk di bangku SMP saat itu, sehingga percakapan saya dengan mereka lebih sebagai kawan. Kami bernyanyi bersama di malam perpisahan dan saling memberi suvenir ketika mereka berpamitan. Rasanya sudah lama sekali peristiwa itu terjadi.Â
Lalu di tahun 2006, atau empat tahun setelah Timor Timur, yang kemudian disebut sebagai Timor Leste memisahkan diri dari RI, saya mendapatkan tugas kerja ke negara itu. Rasanya kunjungan seperti hendak menengok kawan kawan lama saya. Saat itu, Timor Leste atau sering disebut Timor Lorosae sedang dalam masa transisi dan tim perdamaian Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) masih memantau transisi di Timor Leste sampai dengan 2012. Meskipun saya ditempatkan di kantor Kementrian Keuangan, tetapi sesekali saya perlu berkunjung dan melapor ke kantor dimana PBB memiliki kantor koordinasinya di Dili.Â
Untuk terbang ke Dili, saya biasanya menggunakan penerbangan dari Jakata via Denpasar. Dulu memang masih ada penerbangan Merpati. Saat ini terdapat beberapa penerbangan yaitu dengan Citilink dan Sriwijaya. Kita tentu perlu memiliki paspor untuk perjalanan itu. Sementara, visa'Â on arriva' bisa diperoleh di bandara internasional Nicolau Labato di Dili dengan membayar US $30.
Selain sebagai ibukota negara, Dili adalah kota terbesar di Timor Leste. Ia berada di pesisir utara pulau Timor, di sebelah selatan berbatasan dengan Australia yang dipisahkan oleh laut Timor. Budaya di kota ini banyak dipengaruhi oleh budaya Portugis.
Pada tahun 2006, masih sering terjadi demonstrasi antara partai yang ada kepada Presiden mereka, Xanana Gusmao di Dili. Untuk ukuran penduduk Timor Leste yang pada tahun 2006 adalah sekitar 900.000 penduduk, demonstrans yang berjumlah 15 truk sudah dianggap sebagai ancaman pada keamanan. Tetap ada rasa khawatir soal keamanan. Saat itu, kami yang termasuk konsultan 'asing' biasanya akan berada di Hotel Timor Dili untuk mengamankan diri. Namun saya selalu bersyukur bahwa relasi saya dengan rekan rekan staf di pemerintah Timor Leste selalu baik dan mereka selalu menawarkan banyak sekali kebaikan dan kemudahan.
Selanjutnya, saya bolak balik ke Dili untuk bekerja. Ini terjadi sampai dengan 2013. Setelah itu, kunjungan saya ke Dili lebih untuk tujuan yang informal. Bertemu teman.
Dili adalah kota yang menarik. Pantainya dan lautnya indah. Ikan segar ada di mana mana, walau mahal harganya. 'Tais' (tenun asli Timor) selalu menawan hati. Selama beberapa kali masa kerja saya di Dili, saya cenderung tinggal, berkunjung, berbelanja dan berjalan jalan ke tempat yang sama. Bila harus tinggal cukup lama, antara 1 sampai 6 bulan di Dili, saya biasa memilih Apartemen Plaza di Rua 30 De Agosto, Dili, Timor-Leste. Ini karena lokasi apartemen yang cukup dekat dengan pusat perkantoran pemerintah, kantor kementrian keuangan, dan juga kantor Cabang Bank Mandiri. Biasanya saya cukup berjalan kaki dari penginapan ke kantor. Di apartemen ini saya biasanya membeli kompor listrik kecil untuk bisa memanaskan makanan. Galon minum membantu untuk persediaan minum. Apartemen juga bisa kita tinggali untuk beberapa hari menginap di Dili.