Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masyarakat Sipil, Masyarakat Beradab yang Kecolongan dan Kedodoran di Revolusi Industri 4.0

14 Februari 2019   13:55 Diperbarui: 16 Februari 2019   15:37 2855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masa transisi masyarakat sipil di Indonesia tak bisa dipisahkan dari dampak dan pengalaman represi selama 30 tahun masa Orde Baru. Posisi posisi strategis yang pada awalnya dianggap sebagai kesempatan dan harapan akhirnya terganjal persoalan gagap peran, lemah akuntabilitas dan lemah kapasitas. Upaya upaya untuk memperbaiki sudah dilakukan, namun kelemahan OMS dinilai terlalu banyak.  Studi SMERU (2017) merangkum kelemahan kelemahan kritis OMS. Orientasi OMS terlalu pada kerja perkotaan di Jakarta, Jawa dan kota kota besar adalah satu isu. Persoalan lain adalah sifat elitisnya sehingga dewan eksekutif dan pengawas masih diduduki pendirinya. Banyak massa mengambang. OMS tidak jelas kontribusinya pada proses demokratisasi dan politik.  Mereka bekerja secara sektoral tapi memiliki kepasitas generalis tanpa spesialisasi. Reputasi Msyarakat sipil anjog karenanya. 

Masyarakat Sipil Global Kecolongan dan Kedodoran dalam Dinamika Revolusi Industri 4.0
Secara global, ada momen lega ketika terjadi perkembangan baik di Arab Saudi di tahun 2017. Namun perpecahan, ujaran kebencian serta kekerasan bermunculan di penjuru dunia. Di satu sisi ada dialog dan debat untuk memperjuangkan hak hak sipil untuk  isu hutan, kekerasan seksual terhadap perempuan dan soal inklusi sosial. Di sisi lain, represi kembali bermunculan di banyak wilayah dunia.

CIVICUS meluncurkan hasil pantauan atas ratusan negara dalam laporan tahun 2018 nya pada Januari 2019 yang lalu dan mencatat adanya persoalan sistemik serius yang mendera ruang ruang masyarakat sipil. Musuh masyarakat sipil yang terbesar, yaitu pelanggaran HAM dan keadilan sosial meningkat, makin nyata. Musuh musuh itu makin kuat, dan mereka seakan telah menang, terutama dengan penggunaan dan rekayasa teknologi digital. 

  • 109 negara, khususnya yang mengikuti sistem politik Cina melaporkan ruang masyarakat sipil yang makin sempit;
  • Polarisasi politik dan masyarakat yang terbelah menyebabkan kelelahan dan kemarahan kepada politisi. Sayangnya, kemarahan itu dilampiaskan ke segala arah tak beraturan 'unorganized'. Beberapa kelompok masyarakat mengekspresikan dirinya dalam gerakan progresif. Sementara yang lain membangun identitas eksklusif, cenderung mengkambinghitamkan kelompok minoritas. Demonstrasi brutal dan tidak beradab 'uncivilized' ada di mana mana. Ini terjadi dari satu pemilu ke pemilu lain. Dari satu negara ke negara lain, termasuk Eropa.  Victor Orban dari Hungaria dan Narenda Modi dari India menyontoh cara keras kepemimpinan Vladimir Putin. Masyarakat sipil kewalahan. Padahal sudah bekerja mati-matian untuk mengalahkan letupan kemarahan dan agresivitas itu.
  • Lembaga demokrasi disepelekan.  Bolivia, Uganda, dan Amerika mencoba merubah konstitusi dan undang undang. Partai utama di Kamboja, Hong Kong dan Zambia dimatikan. Mahkamah Agung Kenya meminta Pilpres untuk diulang karena ditemukannya kecurangan.
  • Penemuan atas 'Paradise Paper' yang membongkar 11.5% kekayaan elit dunia yang ditanam di pertambangan lepas pantai membawa kegelisahan; 
  • Kelompok dan pemerintah Malta, Mexico, Turki, Paraguai, dan Pakistan menyerang media dan jurnalis yang melaporkan kecurangan politik dan ekonomi dari pimpinan negara. Duterte menyeret Maria Ressa, jurnalis Rappler dan CNN Asia Tenggara karena Maria pernah mengangkat isu perdagangan obat yang melibatkan Duterte. Repotnya, jurnalis senior dan lembaga media terkenal justru ikut menyebarkan hoaks;
  • Blokade saluran internet jelang pemilu terjadi di Vietnam, Iran, Togo dan Kamerun, sementara di Amerika, penyedia jasa internet memberikan layanan berlebih kepada mereka yang membayar mahal. Sebaliknya, askes internet lembaga advokasi keterbukaan dan demokrasi diaganggu;
  • Kelompok masyarakat dan pemerintah membayar kelompok dan organisasi yang tidak beradab 'uncivilized society' untuk mengganggu masyarakat sipil yang hendak menegakkan HAM;
  • Lembaga multilateral, termasuk Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) tidak diperdulikan. Sementara, nasionalisme secara sempit meningkat.  Masyarakat sipil alami kesulitan karena mereka berpayung pada konvensi PBB. Ini terjadi di Mesir dan Bahrain. Isu pelanggaran hak buruh, sektor swasta, dan industri ekstraktif dilaporkan lebih dari seratus negara yang dipantau.
  • Nilai nilai patriarkhi, kasus kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan sesksual di tempat kerja meningkat cepat. Ini menunjukkan makin seriusnya persoalan, di samping meningkatnya kesadaran warga untuk melapor.
    Maria Ressa, Jurnalis CNN untuk Asia Tenggara yang Dipenjarakan Duterte (scmp.com)
    Maria Ressa, Jurnalis CNN untuk Asia Tenggara yang Dipenjarakan Duterte (scmp.com)

Nyatanya, OMS sendiri mengakui bahwa mereka 'gaptek'. Hanya sekitar 11% dari OMS dunia menggunakan teknologi digital dalam pekerjaan mereka. Tak heranlah bila masyarakat sipil kecolongan kasus kasus yang merusak demokrasi di masa Revolusi Industri 4.0 ini. AI Now Institute di Universitas New York akhirnya membuka skandal teknologi yang dilakukan perusahaan, pemerintah dan OMS, antara lain : 

  • Cambridge Analytica memanen 50 juta profile pengguna Facebook untuk menyasar pemilih Amerika pada Pilpres 2016;
  • Facebook membungkam atau diam atas laporan pencucian etnis Rohingya di Myanmar;
  • Peluncuran versi perdesaan dari China's SkyNet, "Sharp Eyes" yang membuat masyarakat perdesaan bisa memantau tetangga dan sekitarnya, dengan alasan untuk mengurangi biaya keamanan;
  • Strava data heatmaps yang menunjukkan lokasi dari basis militer global;
  • Algoritma palsu untuk membuat hasil tes siswa palsu berkaitan dengan deportasi ribuan siswa dengan visa oleh pemerintah Inggris;
  • Kecelakaan fatal pesawat dengan autopilot Tesla dan kecelakaan mobil fatal dari swa-setir Uver;
  • Rencana Google meluncurkan Project Dragonfly, yaitu sensor pada mesin pencarian pada Google terkait Cina;
  • Rekomendasi IBM Watson terkait perawatan kanker yang tidak aman dan tidak benar;
  • Temuan kerentanan pembayaran the Red Rose pada sistem pembayaran digital Catholic Relief Service (CRS),sebuah lembaga nirlaba.

 Ini jelas keterlambatan yang berisiko, mengingat kecepatan gerak penggunaan teknologi digital untuk merontokkan demokrasi tidak sebanding dengan gerak masyarakat sipil yang jelas jelas gaptek.  Sementara kapasitas OMS kedodoran. Memang telah mulai dirasakan, walau pelan, adanyan gerakan masyarakat sipil yang berupaya kembali menduduki posisinya.  Ini terjadi di Rumania, Salvador dan Republik Dominika. 119 negara yang dipantau CIVICUS melaporkan adanya perbaikan ruang warga dan penegakan hukum. Masyarakat mulai memobilisasi dan mengorganisasi diri melalui cara cara yang mungkin baru bagi mereka, yaitu melalui media digital. OMS menyadari bahwa keamanan data kerja mereka adalah penting.  Beberapa OMS bekerja melalui program Harvard Humanitarian Initiative Signal Code untuk data data dan juga melalui program Oxfam yang membuat 'toolbox' untuk melindungi data data kelompok yang mereka bela. 

Memang, pendanaan OMS yang makin surut adalah tantangan atas keberlanjutan mayarakat sipil. Secara spesifik, Indonesia memberikan ruang agar OMS dapat mengakses dana pemerintah melalui proses lelang yang diatur dalam Peraturan Presiden No 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa publik. Hal ini menawarkan kesempatan agar OMS dapat meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan kerja untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan, yang jauh dari layanan pemerintah. Sementara itu, dana dana semacam Dana bantuan sosial (bansos), walaupun ada tetapi hanya bisa diakses OMS satu  kali saja.  Artinya, bukan hanya keberlanjutan, tetapi kemandirian dan kapasitas OMS perlu dipikirkan. 

Jelaslah, tantangan masyarakat sipil bukan hanya soal melemahnya demokrasi, tetapi bagaimana mereka menata kembali demokrasi di dalam dinamika perubahan dunia yang makin radikal dan dalam konteks yang kompleks. Masyarakat sipil punya kebutuhan mendesak atas demokrasi yang lebih mendalam dan bermakna. Dan ini harus meluas, bukan hanya ada di LSM. Demokrasi mendalam ini menuntut pemahaman dan keberanian warga, baik individu maupun sebagai kolektif, untuk bertanya atas apa yang mereka tak paham, untuk berjuang menjalankan prinsip prinsip HAM yang universal.  

Sebagai rekomendasi, terdapat hal mendasar yang mungkin bisa dipertimbangkan masyarakat sipil, termasuk OMS. 

  • Gali peran baru dalam advokasi, 'watch dog', pendukung solidaritas, penetap standar, pendorong keterwakilan, dan penyedia layanan peningkatan kapasitas terkait aspek informasi, teknologi, dan digitalasasi yang bertanggung jawab;
  • Manfaatkan secara agresif teknologi dan digitalisasi terkait data. Ini untuk mengejar ketertinggalan dan gaptek;  
  • Fungsikan model organisasi dan kepemimpinan yang efektif untuk menjawab persoalan yang ada;
  • Regenerasi OMS.  Darah baru yang 'digital native' yang ada di kalangan masyarakat sipil perlu jadi bagian dari gerakan OMS. Kita sadari, mendorong dorong orang senior (baca tua) dan gaptek adalah percuma. Gunakan pendekatan baru yang inklusif dalam penggunaan teknologi. Libatkan perempuan, orang muda dan masyarakat perdesaan dalam pengenalan teknologi. Kerja nyata untuk menjadi mata dan telinga masyarakat dengan memanfaatkan teknologi secara bertanggung jawab demi memecahkan persoalan yang ada;
  • Investasikan strategi dan tak-tik untuk dapat memimpin masyarakat memperbaiki kehidupan masyarakat dengan contoh dan model secara kongkrit;
  • Cari dan gandeng  mitra mitra baru yang inovatif, termasuk swasta, lembaga penelitian, dan individu yang menjunjung nilai universal; 
  • Gali potensi 'fund raising' melalui pemberdayaan ekonomi yang didukung analisis rantai nilai yang matang dan dukungan lembaga keuangan. 

Persoalan OMS pada Revolusi Industri ke 4 adalah persoalan sistemik.  Solusi haruslah dengan strategi yang integratif. OMS harus konsisten untuk menjadi mitra andalan masyarakat luas dalam mengimplementasikan prinsip kemanusiaan dan keadilan melalui dialog. Makin banyaknya masyarakat yang terinformasikan dan inovatif akan membawa kesempatan untuk memenangkan tantangan yang ada di Revolusi Indusri ke 4 ini. Indonesia perlu lebih serius dan strategis dalam membaca situasi dan menyiasati cara dan upaya dalam proses transisi yang terus berjalan. Jangan sampai kecolongan dan kedodoran lagi.  Pada akhirnya, masyarakat beradab dan berbudaya adalah satu warisan kita untuk generasi ke depan. 

Pustaka : 

https://mg.co.za/article/2018-09-28-00-our-heritage-is-a-successful-civil-society
https://www.civicus.org/documents/reports-and-publications/SOCS/2018/socs-2018-overview_top-ten-trends.pdf
http://www.smeru.or.id/id/content/ada-tren-global-krisis-kepercayaan-terhadap-lsm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun