Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kekuasaan Junta Militer, Apakah Masih Jadi Ancaman Demokrasi Pasca Milenia?

9 Februari 2019   15:10 Diperbarui: 9 Februari 2019   17:01 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampanye Pemenang Pemilu Brazil dari Kalangan Militer Reuters


Setelah seharian bekerja di depan laptop untuk suatu pekerjaan yang harus saya kirim melalui email siang ini, saya membaca beberapa berita. Saya terusik oleh berita tentang kekuatiran negara negara di dunia atas masih adanya junta militer di tengah proses perjuangan demokrasi yang juga tidak mudah. Hal ini sedikit terlewat dari perhatian kita karena kita sudah dibuat sibuk membincang hingar bingarnya politik dalam negeri jelang Pilpres. Mulai dari visi misi dan debat capres dan cawapres sampai soal salah kata dan tertukarnya doa. Setiap hari selalu ada topik baru dari arus deras media sosial. 

Sementara itu di Thailand, ada berita menarik. Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Varnavadi, kakak perempuan Raja  Thailand atau putri tertua dari mendiang King Bhumibol Adulyadej mengumumkan perlawanannya pada junta militer yang telah berkuasa selama 5 tahun melalui suatu kudeta di 2015. Perlawanan Ubolratana pada junta militer ini ia sampaikan melalui keinginannya untuk turut serta dalam Pemilu yang akan diadakan pada 24 Maret yang akan datang. Hal ini disanggah oleh kakaknya, sang raja Thailand, King Vajiralongkorn, yang diduga sebelumnya sempat memberi dukungan. Ini suatu politik dalam keluarga yang menarik. 

Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Varnavadi. Photo (the Guardian dari Wikimedia)
Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Varnavadi. Photo (the Guardian dari Wikimedia)
Ubolratana yang saat ini berusia 64 tahun telah meninggalkan status putri raja sejak menikah dengan seorang laki laki berkebangsaan Amerika pada tahun 1970an. Akhir akhir ini, Ubolratana lebih dikenal sebagai aktivis anti narkoba yang melakukan kampanye melalui medsos. Ia mengumumkan bahwa ia akan berada pada partai 'Thai Raksa Chart Party" yang sebelumnya berasosiasi dengan perdana menteri terakhir, Thaksin Shinawatra.

Sang raja yang saat ini berkuasa mengatakan bahwa keterlibatan anggota kerajaan dalam dunia politik adalah melawan tradisi. Penolakan oleh Raja Thailand akan menghentikan keinginan saudara perempuannya bermain di politik dan membuatnya didiskualifikasi oleh Komisi Pemilu. Selama ini, calon perdana menteri yang diunggulkan dalam pemilu yang tertunda lama adalah adalah Prayut Chan-o-cha, pemimpin kudeta militer pada 2014.

Ubolratana mengatakan bahwa sejak ia mengundurkan dari status sebagai putri raja, ia hidup sebagai orang biasa bersama masyarakat umum. Ia mengatakan keinginannya turut serta dalam pemilu karena hendak melakukan haknya sebagai warga negara yang dilidungi oleh konstitusi. Tekad Ubolratana untuk turut Pemilu pada Maret ini merupakan satu bentuk dari perlawanan perempuan kepada melawan kekuasaan Junta militer.

Formulir pendaftaran keikutsertaan dalam Pemilu Thailand (the Star)
Formulir pendaftaran keikutsertaan dalam Pemilu Thailand (the Star)
Sebelum Ubolratana mengajukan diri untuk turut dalam Pemilu, terdapat beberapa perempuan yang juga melakukan beberapa hal untuk melawan pemerintahan junta militer. Satu di antaranya Sirikan Charoensiri atau Jun. Jun mendirikan lembaga perlunfinfan hukum an hak asasi manusia. Ia bekerja secara probono membantu masyarakat yang menghadapi pelanggaran hak asasi manusia. 

Ia mengkritisi pemerintahan militer yang menuliskan aturan yang ada pada konstitui tanpa ada akuntabilitas yang kuat melalui pengecekan dari lembaga lembaga demokrasi. 

Ia juga mengalami penahanan oleh pihak militer sebanyak tiga kali karena ia bekerja untuk isu hak asasi manusia bagi orang orang yang membutuhkan pembelaannya. Pada maret 2018 ia menerima penghargaan dari Melania Trump atas keberaniannya bekerja untuk isu hak asasi manusia.

Charoensiri menerima penghargaan IWOI dari Melania Trump, March 2018. State Department
Charoensiri menerima penghargaan IWOI dari Melania Trump, March 2018. State Department
Apa itu Junta Militer?

Junta militer atau diktator militer adalah bentuk pemerintahan yang menggunakan kekuatan militer atau mengunakan militer dalam menjalankan otoritas politiknya. JUnta militer bisa dijalan oleh kekuasaan militer ataupun kemitraan antara sipil dan militer. Hal ini sering menjadi area abu abu, karena terdapat negara yang tidak mengakui bahwa ia adalah menggunakan junta militer dalam pengambilan keputusan politik dan kenegaraannya, tetapi pegaruh militer dalam peerintahan sipilnya kuat. Tentu hal semacam ini ada pula ada masa masa pemerintahan Orde Baru kita. Dan romantisme pada kekuasaan dan 'kestabilan' Orde Baru yang 'dibantu' atau 'didukung' meliter kitapun sering mendengarnya. 

Namun, kadang kadang alasan menyelamatkan negara dari korupnya kelompok sipil dipakai untuk pembenaran adanya kekuasaan junta militer. Diktator militer ini biasanya disebut khakistocracy dengan khaki atau hijau mudah yang dipakai sebagai kamoflase penggunaan warna hijau militer sebagai seragam kerja.

Pada tahun 2018 Brazil baru saja menyumpah presidennya, Jair Bolsonaro. Ia seorang mantan anggota konggres sayap kanan dan sebelumnya adalah seorang militer. Beberapa pengamat menyampaikan kekutiran mereka terkait romantisme Jair Bolsonaro pada kekuasaan diktstor milter pada tahun 1964 sampai 1985. 

Sejarah diktator militer di Brazil merupakan derita bagi rakyatnya. Pada masa itu, pemerintah membrangus kebebasan warga berbicara dan berkumpul. Era pemerintahan tersebut juga menculit 475 orang orang kritis, termasuk mereka yang menolak kekuasaan militer, dan menyiksa ribuan warga. Bahkan, disebutkan bahwa antara tahun 1976 sampai 1983, dilaporkan bahwa pemerintah membunuh sekitar 15.000 orang

Yang jelas, pemerintah Brazil tidak pernah menghukum orang yang melakukan tindak kriminal dalam konteks pemerintahan diktator. Sebaliknya, Brazil seperti memanfaatkan kasus kasus yang ada pada kekuasaan diktator dan bahkan mengangkat presiden Jair Bolsonaro yang notabenw dari kalangan militer untuk menjadi presiden.

Kampanye Pemenang Pemilu Brazil dari Kalangan Militer Reuters
Kampanye Pemenang Pemilu Brazil dari Kalangan Militer Reuters
Di Myanmar atau Burma, ada Aung San Suu Kyi yang saat ini berusaia 73 tahun. Ia adalah penerima anugerah Nobel perdamaian, dikenal sebagai seorang ikon yang rela kehilangan kebebasannya karena berdiri melawan kekuasaan junta militer di negerinya. 

Selama 11 tahun, sejak 1989 sampai 2010 ia dipenjarajan di rumah kediamannya sendiri karena berusaha menegakkan demokrasi. Ia memimpin the National League for Democracy (NLD) yang akhirnya menang pada pemilu pada 2015, yaitu pemilu yang pertama dilakukan selama 25 tahun terakhir.

Setelah menjadi pemimpin Myanmar yang resmi pada tahun 2016, Aung San Su Kyi terus menerima dukungan dari pihak yang sama selama ini. Sayang sekali, peristiwa eksodus lebih dari 700.000 pengungsi musli Rohingya ke wilayah Bangladesh karena tekanan militer membuat Su Kyi dihujat karena dianggap tidak mampu memberhentikan perkosaan, pembunuhan dan kekerasan yang dilakukan junta militer. Kegagalan Su Kyi untuk mengelola masyarakat yang plural dan tidak hanya membela kamu Buddha dianggap terlalu pragmatis menyikapi persoalan ini.

Kritik pada lemahnya kepemimpinan Au San Su Kyi dilemparkan banyak pihak. Dikatakan oleh analis politik bahwa ketika partai NLD menang, ia membuat kantornya di rumah. Iapun membuat jarak dengan orang partai yang telah mendukungnya. George Soros yang telah menginvestasikan banyak dana untuk proses demokrasi di Myanmar dikabarkan sulit untu kbisa menemuinya.

bbc.com
bbc.com
Realitas ini menunjukkan bahwa sebetulnya kekuatan politik pihak militer di Myanmar sebetulnya masih besar dan tak terbengkokkan oleh demokrasi. Au San Su Kyi sendiri lebih mirip pemimpin boneka dari junta miltier yang ada. 

Walaupun Au San Sukyi adalah pejuang hak asasi manusia, kekuatan moral Sukyi rontok dan tak mampu melakukan sesuatu ketika kelompok minoritas di negaranya haru mengalami pembantaian, perkosaan, kekerasaan, dan pengusiran.  Dan hal ini terkesan dilakukan Sukyi karena untuk mempertahankan posisinya.

Undang Undang Myanmar memang melarangnya untuk menjadi Presiden Myanmar karena ia memiliki 2 orang anak keturunan Amerika. Nampak sudah bahwa kekuatan Suky sebagai  'State Counsellor' hanyalah tameng yang dipakai Myanmar menghadapi dunia internasional. Walaupun Myanmar memiliki presiden, yaitu Win Myint, namun semua warga dan mata dunia tetap meminta pertanggungjawaban Sukyi yang dianggap sebagai pemimpin de facto. Posisi yang teramat sulit. 

Pada tahun 1988 Aung San Su Kyi sebetulnya kembali ke Myanmar untuk merawat ibunya yang sakit. Namun kondisi Myanmar yang sedang dalam situasi politik yang memanas dan mahasiswa, pegawai dan biksi melakukan protes di jalanan menuntut demokrasi menjadikannya terpanggil. Su Kyi yang terinspirasi oleh kampanye anti kekerasan yang dilakukan oleh Martin Luther King dan Mahatma Gandi melakukan kampanye reformasi demokrasi damai ke seluruh negeri.

Kasus kelompok Rohingya, yang merupakan kelom[ok muslim terbesar di Myanmar dengan jumlah keseluruhannya adalah sekitar 1 juta orang memang tak dikelola dengan baik di negerinya. Pemerintah Myanmar selama ini tidak mengakui keberadaan Rohingya sebagai warga negara.  Bahkan Rohingya  tidak diperbolehkan mengikuti pemilu pada tajun 2014. 

Mereka akhirnya menjad imigran gelap di beberapa negara tetangganya, termasuk Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Ini adalah kekuasaan semua Sukyi yang menyedihkan, bukan hanya bagi kelompok minoritas Rohingya, tetapi juga bagi demokrasi Myanmar. 

Libya saat ini pecah menjadi dua. Libya bagian Timur dengan dukungan dari PBB berbasis di Tripoli. Bagian ini dipimpin oleh Sarraj. Sementara itu, bagian lainnya berbasi di Tobruk, dipimpin pleh Haftar yang berlatar belakang militer. Di Libya, kebebasan berbicara tak diijinkan. Kelompok militer mengejar jurnalis yang menulis dengan kritik dan juga melarang keras kelompok minoritas seperti homoseksual. 

Di Pakistan, walau saat ini merupakan negara demokrasi, namun kemungkinan akan berubah. Pemeintahan di Pakistan selalu berganti ganti antara demokratis dan junta militer. Presiden Pakistan Arif Alvi bukanlah seorang militer. Namun mudah sekali militer melakukan kudeta.
Pengalaman pemerintah diktator dalam kekuasaan Perves Musharraf menunjukkan bahwa begitu mudah pemerintahannya melakukan hal hal agresif dan melanggar hak asasi manusia.

Di Sudan merupakan negara yang paling lama dan bermasalah dengan kekuasaan dictator. Sejak 2003, pemerintah sering melakukan tindakan tindakan brutal kepada warganya. Dengan presidennya al-Bashir, negara memperlakukan warga dengan tekanan tekanan.

Lima tahun setelah kudeta miliyer di Mesir pada Juli 2013 atas pemerintahan presiden  Mohamed Mursi, pemerintah diktator militer yang dipimpin Abdel Fatah al-Sisi makin intensif dengan perlawanannya pada terorisme. 

Bertahannya dan bangkitnya junta militer ataupun kekuasaan militer ataupun dipraktekkannya nilai nilai militerisme  yang mengontrol politik dan sosial warga dalam bentuk dan alasan apapun tentu akan mengancam demokrasi. Terdapat beberapa alasan, antara lain alasan keamanan negara dan alasan situasi darurat atau emerjensi, yang kemudian menjadi legitimasi adanya kekuasaan militer. 

Konsitusi yang modern tidak memasukkan aspek situasi emerjensi atau darurat di dalamnya. Namun, pada level perundang undangan hal ini sering ditemui. Aturan aturan tambahan terkait situasi emerjensi biasanya ‘dihidupkan’ ketika terdapat situasi yang dianggap mengancam kondisi negara. Di Inggris, misalnya terdapat Defense Against Terrorism acts dan di Amerika terdapat the PATRIOT Act.16 yang dapat berfungsi pada periode tertentu, ketika dibutuhkan. Beberapa perundangan anti terorisme diberlakukan di Jerman dan di Itali pada tahun 1980an. 

Keberadaan junta militer di beberapa wilayah negara di dunia ini tentu menjadikan banyak negara demokrasi khawatir. Negara sedemokratis Brazil dan telah menyelesaikan pemilunya pada 2018 pun telah menjadi negara yang dikontrol oleh militer. 

https://nacla.org/article/women-and-democracy-home-and-country

https://foreignpolicy.com/2015/07/02/burmas-women-are-still-fighting-for-their-rights-myanmar/

https://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-11685977

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun