Survei GlobalÂ
Sudah lama masyarakat sosial ingin mengetahui tentang apa sih yang diharapkan oleh warganya, terkait prioritas pembangunan. Para pemikir besar seperti Plato, Adam Smith, Thomas Hobbes dan Mahatma Gandhi telah mengajukan teori teori mereka, mulai dari perspektif budaya, sejarah, ekonomi dan geografi. Juga bagaimana peran pemerintah, dunia bisnis, keluarga dan masyarakat sipil dalam mewujudkannya.Â
Kita tentu akan mempertanyakan apakah betul 'Vox populi vox dei' atau suara rakyat adalah suara Tuhan masih sesuai untuk masa kini. Kalimat yang pada awalnya muncul untuk konteks pengadilan itu kemudian bergeser penggunaannya untuk keperlua politi. Bila bicara soal politik, adalah wajar bila muncul kekuatiran adanya misinterpretasi dari proses demokrasi, atas nama kemenangan Pemilu. Karena aspirasi dari kemenangan Pemilu diasumsikan mewakili pandangan mayoritas warga. Sebut saja beberapa contoh. Kasus kemenangan Duterte di Filipina dengan peroleh suara sebesar 39% dan Trump di Amerika dengan 304 suara mengalahkan Hillary yang memperoleh 227 suara . Keduanya dianggap sebagai contoh gamblang dari adanya salah interpretasi soal mewakili suara mayoritas itu. Lalu, bagaimana dengan kemenangan Hitler sebesar 43% di Pemilunya di tahun 1933? Apakah artinya suara warga Jerman kala itu setuju dengan semua pendekatan Nazi, termasuk menghapus semua kepemimpinan orang Yahudi, dan menyerahkan semua kekuasaan kepada Hitler sebagai konselir dan sekaligus presiden. Jadi, opini terbesar pada proses politik tidaklah selalu menjadi ukuran akurat karena sering ditunggangi dengan cara cara 'luar biasa'. Dan ini akan menjadi suatu ironi.Â
Baru baru ini the Economist untuk divisi the Intelligence Unit meluncurkan suatu laporan atas survai global yang melibatkan 50 negara di Amerika Utara dan Selatan, Eropa, Afrika dan Timur Tengah, juga Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Judul Laporan tersebut adalah "Priorities of Progress. Understanding of Citizen's Voices" atau Prioritas Kemajuan. Memahami Suara Warga. Survai yang didukung oleh Nitto Denko ini dibuat untuk memahami seberapa baik masyarakat sosial menjawab kebutuhan penduduk, bagaimana perasaan warga pada kemajuan negaranya, dan seberapa dekat kemajuan kemajuan ini sejalan dengan visi mereka sebagai masyarakat sosial.Â
Sayang sekali, laporan tidak menyebutkan rincian metodologi dan tipologi responden. Tidak ada informasi bagaimana perbedaan pendapat antara mereka yang tinggal di perdesaaan dan perkotaan, di antara perempuan dan laki laki, dan kategori lainnya. Namun dari tampilan infografisnya, paling tidak laporan membagi pandangan itu berdasar generasi.Â
Warga Negara tidak Memikirkan (Perduli) Keterbasan Sumber Daya
Laporan membuka realita bahwa warga negara sering tidak memikirkan keterbatasan sumberdaya yang ada ketika menyampaikan situasi yang mereka kehendaki. Ini termasuk di dalam masa Pemilu. Pada umumnya, warga hanya akan menyebut ingin perbaikan bidang pendidikan, layanan kesehatan, keamanan, peningkatan pendapatan, penurunan pajak, dan perbaikan lingkungan. Padahal, pemahaman tentang adanya keterbatasan sumber daya sangat perlu dalam penyusunan prioritas.
Laporan ini mengemukakan beberapa hal, terkait apa yang dirasakan warga saat ini dan apa yang paling prioritas di mata warga. Meski faktor budaya, sejarah, ekonomi, teknologi, dan geografi membentuk pandangan orang tentang harapan akan perubahan ke depan, namun pada akhirnya terdapat prioritas dan isu bersama.
Urusan Kesehatan Tetap Nomor Satu!!
Secara keseluruhan, warga global melihat bahwa akses dan kualitas kesehatan adalah prioritas nomor Satu. Â Prioritas kedua adalah perlindungan sosial. Prioritas ketiga adalah perbaikan akses dan kualitas layanan pendidikan. Prioritas keempat adalah kepentingan dan keamanan aumum. Prioritas kelima adalah kualitas transportasi. Prioritas keenam adalah perlindungan pada lingkungan. Ketujuh adalah penelitian dan pengembangan, inovasi dan teknologi.
Secara umum hasil survei menunjukkan pandangan positif tentang pentingnya peran teknologi dalam pembangunan ke depan. Pandangan lebih positif terjadi di Negara berkembang. Misalnya, prosentase responden yang percaya bahwa teknologi dapat memperbaiki masyarakat adalah 34% di Indonesia, 38% di Afrika Selatan, 32% di Thailand dan Vietnam. Sementara di Negara yang telah tinggi intensitas penggunaan teknologinya seperti di Kanada prosentase tersebut adalah 5,7%, Jerman adalah 6,9%, di Korea Selatan adalah 11%.
Warga Indonesia dan negara berkembang lain di Asia memberikan gambaran yang lebih positif dibandingkan dengan mereka yang dari negara maju. 78% responden di Indonesia merasa bahwa kondisi negara menunjukkan kondisi yang lebih baik. Sementara di Vietnam, prosentase itu 72% dan di China 83%. Di Amerika, hanya 38% penduduk yang percaya kondisi negaranya menjanjikan kondisi lebih baik, di Jerman 12% saja, sementara di Itali adalah 12%.Â
Juga, terdapat perbedaan antara persepsi warga dibanding dengan realitas yang ada tentang prosentasi anggaran yang dialokasikan pada sektor pendidikan, kesehatan, lingkungan dan pekerjaan umum. Di Indonesia, pemahaman akan alokasi anggaran terbatas. Hal ini ditunjukkan dari tingginya kesenjangan, yaitu sebesar 30%. Sementara, negara negara seperti Australia, Cambodia, Taiwan, dan Vietnam menunnjukkan kesenjangan di bawah 20%. Dalam hal sektor bisnis, keterbukaan tentang keuangan negara, perpajakan, dan kontrak terkait sumber daya alam diangkat oleh responden. Sementara, negara negara yang kecil perbedaan antara persepsi warga dengan realitas terkait prosentase alokasi anggaran adalah Australia, Maroko, Hungaria, Italia, Spayol, dan Peru.Â
Khusus untuk Indonesia, saya melihat adanya indikasi literasi anggaran warga Indonesia yang masih rendah. Atau bisa juga karena memang tidak terlalu perduli pada angka yang ada pada anggaran. Hal ini konsisten dengan temuan Sekretariat Nasional (Seknas) Fitra. Warga sering menganggap bahwa tugas untuk mengkritisi anggaran pembangunan adalah wilayah para ahli ekonomi. Pada sisi lain, pemerintah sering menganggap anggaran adalah domain pemerintah dan warga tidak perlu tahu. Â Lahirnya Undang Undang No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi Publik adalah ruang yang terbuka untuk terbangunnya perluasan literasi anggaran untuk warga. Untuk itu, Seknas Fitra dan jaringan anggaran daerah melakukan permintaan informasi anggaran pada seluruh kementrian/lembaga dan melibatkan 70 daerah. Selain itu, Seknas Fitra juga menyusun komik anggaran untuk membangun warga yang melek anggaran.Â
Kepercayaan kepada WargaÂ
Mayoritas responden mengharapkan adanya rasa kepercayaan kepada warga untuk partisipasi dalam proses penyusunan anggaran, dalam pengelolaan pemilu dan pada keterlibatannya di dalam demokrasi. Yang menarik, responden juga tidak hanya ingin dilibatkan dalam isu makro seperti Pemilu, tetapi juga pada isu isu khusus seperti keamanan dan kepolisian publik. Pada akhirnya laporan mengingatkan bahwa walaupun partisipasi warga sangat penting dalam penentuan prioritas pembangunan, perlu diwaspadai agar tidak terjadi kelelahan konsultasi publik atau 'public consultation fatigue'Â dalam penetapan anggaran dan arah pembangunan.Â
Apakah hasil survei di atas menggambarkan prioritas dan keresahan anda sebagai warga ?Â
Pustaka : Priorities of Progress. Understanding of Citizen's Voices", the Economist, 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H