Secara umum hasil survei menunjukkan pandangan positif tentang pentingnya peran teknologi dalam pembangunan ke depan. Pandangan lebih positif terjadi di Negara berkembang. Misalnya, prosentase responden yang percaya bahwa teknologi dapat memperbaiki masyarakat adalah 34% di Indonesia, 38% di Afrika Selatan, 32% di Thailand dan Vietnam. Sementara di Negara yang telah tinggi intensitas penggunaan teknologinya seperti di Kanada prosentase tersebut adalah 5,7%, Jerman adalah 6,9%, di Korea Selatan adalah 11%.
Warga Indonesia dan negara berkembang lain di Asia memberikan gambaran yang lebih positif dibandingkan dengan mereka yang dari negara maju. 78% responden di Indonesia merasa bahwa kondisi negara menunjukkan kondisi yang lebih baik. Sementara di Vietnam, prosentase itu 72% dan di China 83%. Di Amerika, hanya 38% penduduk yang percaya kondisi negaranya menjanjikan kondisi lebih baik, di Jerman 12% saja, sementara di Itali adalah 12%.Â
Juga, terdapat perbedaan antara persepsi warga dibanding dengan realitas yang ada tentang prosentasi anggaran yang dialokasikan pada sektor pendidikan, kesehatan, lingkungan dan pekerjaan umum. Di Indonesia, pemahaman akan alokasi anggaran terbatas. Hal ini ditunjukkan dari tingginya kesenjangan, yaitu sebesar 30%. Sementara, negara negara seperti Australia, Cambodia, Taiwan, dan Vietnam menunnjukkan kesenjangan di bawah 20%. Dalam hal sektor bisnis, keterbukaan tentang keuangan negara, perpajakan, dan kontrak terkait sumber daya alam diangkat oleh responden. Sementara, negara negara yang kecil perbedaan antara persepsi warga dengan realitas terkait prosentase alokasi anggaran adalah Australia, Maroko, Hungaria, Italia, Spayol, dan Peru.Â
Khusus untuk Indonesia, saya melihat adanya indikasi literasi anggaran warga Indonesia yang masih rendah. Atau bisa juga karena memang tidak terlalu perduli pada angka yang ada pada anggaran. Hal ini konsisten dengan temuan Sekretariat Nasional (Seknas) Fitra. Warga sering menganggap bahwa tugas untuk mengkritisi anggaran pembangunan adalah wilayah para ahli ekonomi. Pada sisi lain, pemerintah sering menganggap anggaran adalah domain pemerintah dan warga tidak perlu tahu. Â Lahirnya Undang Undang No 14 tahun 2008 tentang keterbukaan informasi Publik adalah ruang yang terbuka untuk terbangunnya perluasan literasi anggaran untuk warga. Untuk itu, Seknas Fitra dan jaringan anggaran daerah melakukan permintaan informasi anggaran pada seluruh kementrian/lembaga dan melibatkan 70 daerah. Selain itu, Seknas Fitra juga menyusun komik anggaran untuk membangun warga yang melek anggaran.Â
Kepercayaan kepada WargaÂ
Mayoritas responden mengharapkan adanya rasa kepercayaan kepada warga untuk partisipasi dalam proses penyusunan anggaran, dalam pengelolaan pemilu dan pada keterlibatannya di dalam demokrasi. Yang menarik, responden juga tidak hanya ingin dilibatkan dalam isu makro seperti Pemilu, tetapi juga pada isu isu khusus seperti keamanan dan kepolisian publik. Pada akhirnya laporan mengingatkan bahwa walaupun partisipasi warga sangat penting dalam penentuan prioritas pembangunan, perlu diwaspadai agar tidak terjadi kelelahan konsultasi publik atau 'public consultation fatigue'Â dalam penetapan anggaran dan arah pembangunan.Â
Apakah hasil survei di atas menggambarkan prioritas dan keresahan anda sebagai warga ?Â
Pustaka : Priorities of Progress. Understanding of Citizen's Voices", the Economist, 2018