Pepes Buli Buli sang Anemon rumah 'Nemo'
Suatu saat saya ada dalam suatu perjalanan kerja untuk melakukan penelitian sosial suatu proyek pembangunan instalasi listrik dengan tenaga matahari. Kali ini wilayah kerja kami di  beberapa desa di Wakatobi. Ketika tiba istirahat makan siang, kami mendapatkankan hidangan pepes Buli Buli (anemon) sebagai salah satu menu. Mata terbelakak. Kaget. Bagi saya ini tak terbayangkan, tapi bagai warga Wakatobi, anemon memang sering dimasak untuk sup, tumis dan juga pepes.Â
Menurut reviu atas makanan tersebut, buli buli memang dinayatakan memiliki protein tinggi. Bahkan pada saat pameran pangan Wakatobi yang diadakan Kementrian Pariwisata sekitara 2016 di Jakarta, pepes buli buli menjadi salaha satu makanan oleh oleh dari Wakatobi yang dipamerkan.Â
Ketika saya ditawari Pepes Buli Buli, jawaban saya 'No way'. Pertama, karena saya vegetarian. Kedua, saya tidak mau menghabiskan anemon, tempat bertelor 'Nemo'. Ketiga, karena perlu waktu lama untuk regenerasi anemon. Keempat, karena terdapat relasi khusus antara "Nemo' dengan anemon.Â
Itulah pandangan saya sebelum saya membaca lebih baik tentang keduanya.Â
Saya sempat penasaran tentang relasi Anemon dan "Nemo' ini, setelah menonton film kartun 'Finding Nemo' karya Walt Disney yang diciptakan berpuluh tahun yang lalu. Bahakan karena keberhasilan 'Finding Nemo', sekual film juga dibuat dengan judul "Finding Dori'. Dari membaca, akhirnya saya tahu. Ada beberapa hal yang saya benar, tetapi banyak hal saya ternyata salah tentang anemon dan "Nemo' ini.Â
Coba kita cari tahu tentang argumentasi yang saya buat sebelum saya paham, dan kita bandingkan dengan apa yang saya baca.Â
Alasan yang pertama soal saya vegetarian, ya sudahlah, itu pilihan. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih untuk melakukannya. Dan, akan perlu waktu lama bila kita perdebatkan. Untuk alasan ini, kita selesai sudah. Â
Alasan kedua, soal Nemo yang bertelur di anemon. Ikan badut ternýata bertelur di karang karang. Kita sering melihat bahwa memang anemon banyak menempel di karang karang untuk menunggu santapannya atau untuk bersantai dan bermain. Soal pandangan bahwa ikan badut bertelor di anemon adalah  kebohongan "Walt Disney" yang cukup menyesatkan. Apalagi 'FInding Nemo" banyak sekali penggemarnya. Anak anak perlu dijelaskan tentang kebenaran, tentang realitanya. Logikanya adalah,  anemon adalah omnifora. Mereka memakan biota laut, baik plankton dan ikan ikan kecil dan besar, serta tanaman laut. Bila telur ditetaskan di anemon, tentu telur telur iklan badut akan dimakan anemon.Â
Dalam masyarakat ikan badut, ikan badut jantan berubah jadi betina untuk bertelur. Ketika ikan badut betina, karena sesuatu sebab mati atau pergi atau diambil dari kelompoknya, maka ikan jantan yang paling besar akan berubah jadi perempuan untuk menjalankan peran reproduksinya. Ikan betika akan bertelur di karang karang dan menunggunya telurnya sampai menetas. Memang membayangkan bahwa 'Nemo' adalah hemaprodit adalah suatu yang luar biasa.Â
Alasan ketiga, soal regenerasi anemon yang membutuhkan waktu ratusan tahun itu saya ternyata perlu juga membaca dan memahaminya dengan lebih baik. Memang, anemon dikenal berumur panjang pada ekosistemnya. Ia bisa hidup 60 sampai ratusan tahun. Satu hal yang saya sempat lupa adalah, di habitatnya, anemon melakukan kloning pada dirinya. Bila ia terpotong, ia akan menjadi bagian baru dari anemon. Hal ini menjadi bagian dari penelitian lembaga lembaga kesehatan ketika mereka mencari tahu tentang upaya regenerasi dari organ manusia. Dan, pada dasarnya, memang organ manusia tidak bisa seperti anemon.Â
Namun demikian, merusak anemon yang ada di lauttan bisa berarti merusak proses tumbuhnya anemon yang sudah terjadi puluhan tahun atau ratusan tahun. Apalagi, di luar habitatnya, misalnya di dalam akuarium air laut, anemon tidak bisa bertahan lama, karena beberapa hal. Satu hal adalah sempitnya akuarium dibandingkan dengan lautan yang luas. Â Hal kedua adalah kebutuhan anemon atas kecukupan sinar matahar. Juga begitu banyak alasan lain, termasuk kombinasi jenis ikan yang ada di akuarium. Untuk itu, sebetulnya memasukkan anemon sabagai daftar dari hobi pemeliharaan ikan di akuarium air laut bukan sebagai pilihan yang baik, dilihar dari sisi kelestarian anemon sendiri. Hobi semacam ini akan membunuhnya.
Alasan keempat, soal anemon sebagai rumah aman Nemo si ikan badut, ini memang ternyata benar. Saya senang membaca bahwa saya benar untuk yang satu ini. Bahkan terdapat kemitraan, simbiose mutualisme yang kuat antara ikan badut dan anemon. Okay, kita berkenalan dulu dengan siapa itu 'Nemo' si ikan badut dan juga siapa anemon.
Mereka hidup berkelompok dan membutuhkan sinar matahari. Oleh karenanya, sering ditemukan di laut yang tidak terlalu dalam. Ini risiko bagi anemon dan juga ikan badut untuk dipanen manusia. Ikan badut pada dasarnya lahir sebagai laki laki, tetapi bisa menjadi perempuan bila dibutuhkan ketika kawin. Intinya, mereka hemaprodit. Nah ini juga satu hal yang Walt Disney melakukan kebohongan kedua soal hilangnya ayah Nemo dalam konteks tidak ada laki laki lain dalam keluarga.
Anemon sendiri termasuk dalam kelompok Crindarians. Ia berada dalam kelompok yang sama dengan ubur ubur dan koral. Anemon makan plankton dan ikan ikan kecil. Beberapa anemon juga makan ikan yang cukup besar.
Ikan badut selalu hidup bersama anemon. Anemon mengeluarkan sengatan yang menyebabkan ikan ikan yang lebih besar tidak bisa memangsa Nemo si ikan badut. Juga, ikan badut mengusir ikan kupu kupu 'butterfly fish' yang hendak memakan anemon.
Artinya, sengatan sebagian besar anemon beracun untuk ikan kecil. Sementara, anemon besar bisa juga menyengat ikan yang lebih besar. Oleh karennya, ada beberapa jenis anemon yang bisa meracuni manusia.
Terdapat penelitian, antara lain oleh Nanette Chadwick dari Auburn University di Alabama yang menunjukkan bahwa ikan badut memberikan pupuk berupa kotorannya kepada anemone. Amonia yang dikeluarkan dari kotoran ikan badut, pada akhirnya membantu anemon untuk bernapas di malam hari.Â
Percobaan yang dilakukan pada ikan badut yang diletakkan bersama  anemon dan dibandingkan dengan yang tidak dengan anemon. Ikan badut yang hidup bersama anemon menunjukkan kegiatan yang lebih aktif di waktu malam. Juga pengukuran tingkat konsentrasi oksigen menunjukkan bahwa terdapat tingkat konsumsi oksigen 40 persen lebih tinggi ketika mereka bersama dibandingkan bila mereka terpisah (National Geographic.com). Kemitraan yang lain adalah, Ikan badut yang memakan sisa makanan dari anemon juga memberikan sirkulasi yang lebih baik di air karena ikan badut selalu bergerak menari bersama anemone. Â
Nah, jadi rupanya studi menunjukkan bahwa satu satunya fakta yang benar yang ada pada film "Finding Nemo" adalah soal kemitraan dan kebiasaan Nemo yang berceloteh dan saling melengkapi sebagai mitra sejati dengan sang anemon. Bila kemitraan antara Nemo dengan anemon diputus karena kita memelihara Nemo dalam aquarium atau membuat anemon menjadi pepes, ada persoalan pasokan oksigen yang terputus yang dibutuhkan keduanya keduanya.Â
Pada kondisi suhu laut yang meningkat, anemon mengalami apa yang disebut 'bleaching', mereka menjadi pucat, dan ikan badutpun menjadi pucat warnanya dan seringkali kedapatan mati. Perubahan iklim akan sangat mempengaruhi kehidupan anemon dan ikan badut.
Ketidakpahaman manusia pada kemitraan dan relasi antara anemon dan ikan badut terus terjadi. Tiadanya anemon laut menyebabkan ikan badut akan mati cepat. Bila kita masih memakan dan mengambil anemon dari habitatnya, artinya kita membunuh dua makhluk sekaligus, anemon dan ikan badut.
Pepes Buli Buli, Ikan Badut, dan Wakatobi
Kita coba kembali hubungkan soal Pepes Buli Buli, si 'Nemo' dan Wakatobi ya.Â
Wakatobi yang namanya merupakan akronim dari empat pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko memang sangat kaya dengan keragaman biota dan spesies ikan laut. Terdapat 900 jenis ikan di dalam lautnya. 750 dari 850 jenis karang juga di dunia ada di sini. Oleh karenanya, Wakatobi terdaftar di the UNESCO World Network of Biosphere Reserve (WNBR) untuk kekayaan karang dan fauna laut.Â
Namun, dalam penelitian lapang, saya menemukan penduduk di banyak desa di Wakatobi masih miskin. Di Wawotimu, misalnya terdapat 28% rumah tangga miskin dan 24% keluarga yang mendekati miskin. Di Lamanggau, terdapat 27% keluarga miskin dan 40% keluarga mendekati miskin. Dengan angka 67% keluarga di Lamanggau adalah miskin dan mendekati miskin, artinya di desa ini tidak ada yang bisa disebut kaya (DFS Report of Solar Photovoltaic Electricity for Tomia Island. Wakatobi is a green model project, 2016). Adanya tingkat kemiskinan yang tinggi ini memiliki arti tentang, antara lain, adanya kebutuhan yang lebih baik dalam hal ekonomi. Â
Adanya keputusan pemerintah untuk menjadikan Wakatobi sebagai Taman Nasional pada 2012 sebetulnya belum didukung dengan pendekatan untuk menawarkan kematapencaharian bagi penduduk, baik perempuan dan laki laki. Tentu, secara teori, masyarakat tidak boleh memanfaatkan ikan yang tergolong liar dan jarang keberadaaannya di bawah laut. Tetapi ketika masyarakat tidak punya pilihan hidup, apa boleh buat. Masyarakat mencoba menyelesaikan sendiri solusi solusi yang mereka lakukan untuk bertahan. Di Kulati, masyarakat mengalihkan mata pencaharian untuk wisata bawah laut. Â Ini solusi positif. Untuk itu, masyarakat Kulati didukung oleh lembaga Swisscontact.
Ketika saya ke pasar, tampak sedang ada kegiatan reklamasi di dekatnya. Tanah baru ini nantinya akan dijadikan tempat penampungan dan  penjualan ikan. Artinya, transaksi jual beli ikan memang akan menjadi makin besar. Bila ini terjadi terus menerus dan pemerintah tidak memberikan aturan yang jelas, sementara juga tidak memberikan solusi yang memadai dalam hal kematapencaharian, bukan tidak mungkin habitat bawah laut akan terus terancam dieksplotasi dan akan berkurang atau punah.Â
Adanya jumlah orang laki laki yang bermigrasi menjadikan  rasio penduduk berdasar jenis kelamin tidak seimbang. Di antara 100 perempuan cuma ada 90 laki laki. Ini persoalan serius.  Kenjomplangan ini mengakibatkan banyak pekerjaan di lahan dan di rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Yang aneh adalah pendekatan dari pemerintah ataupun proyek ketika mereka mengundang masyarakat untuk mempersiapkan pemasangan listrik. Perempuan adalah kelompok yang paling berhubungan dengan kebutuhan listrik. Baik untuk menemani anak yang sedang belajar serta untuk menyalakan alat alat rumah tangga agar mereka bisa menghemat tenaga. Namun, jumlah perempuan yang diundang untuk pertemuan hanya dipatok 30% dari total peserta. Padahal juga, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki laki dan bahkan njomplang di wilayah ini. Ini logika yang saya tidak pahami dengan kelatahan menetapkan angka 30% 'kuota' kepesertaan pertemuan soal listrik dan ekonomi.
Ketika berpapasan dengan motor ibu bidan yang baru pulang dari puskesmas, kami menyempatkan berhenti dan berbicara sambil berdiri sebentar berbicara soal kesehatan masyarakat. Rupanya, Â sudah tercatat adanya "oleh oleh" kasus HIV/AIDs dari pekerja kapal kontrak ini. Tentu ini suatu persoalan serius. HIV/AIDs bisa menular ke pasangan. Ini akan jadi masalah lebih besar karena Wakatobi makin terbuka dengan wisatawan, baik domestik maupun dari mancanegara.Â
Masih soal kemiskinan, saya amati perempuan dan laki laki yang tetap tinggal di area ini mencoba  memancing di area Kulati, Dete dan Lamanggau. Menanam di pulau karang Tomia ini tidaklah produktif. Masyatakat perlu setahun untuk bisa memanen singkong. Itupun singkong beracun yang kurus yang biasanya dimasak untuk Kasuami. Kasuami yaitu singkong yang diparut dan dibentuk seperti kerucut. Dijemur untuk kemudian dikukus sebagai pengganti nasi. Â
Selama perjalanan dengan ojek ke beberapa desa, saya bertemu juga dengan penunggang motor yang berboncengan membawa sebuah stalagtit yang digergaji untuk dijual bebas sebagai patok atau penanda kubur di desa Malanggau. Vandalisme pada staglatit yang membutuhkan ribuan tahun untuk tumbuh dari prosesnya adalah menyedihkan. Biasanya stalagtit berpasangan dengan stalagmit, dan di  masyarakat di Wakatobi sudah tidak heran bila barang barang itu beredar diperjualbelikan hanya dengan harga kisaran Rp 1.5 juta sampai dengan Rp 2 juta. Masyarakat 'memanen' stalagtit dari gua Kontamale. Kesedihan melihat situasi kemiskinan di Wakatobi rasanya bisa bekepanjangan.Â
Memang studi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa anemon laut atau stichodactyla gigantea sangat populer sebagai bahan makanan laut (seafood). Biota ini memiliki sel-sel penyengat (nematokis) yang mengandung berbagai zat yang berpotensi dalam bidang biomedis dan obat-obatan. IPB sendiri melihat perlunya pengujian lebih lanjut terkait aktivitas antioksidan dan uji kualitatif komponen bioaktivitasnya. Mereka melihat bahwa pengembangan dan pemanfaatan antioksidan yang lebih efektif dari sumber daya alam perlu ditingkatkan untuk menggantikan antioksidan sintetik dalam penggunaannya di dalam makanan ataupun bahan obat-obatan. Memang itu tujuan mulia. Pada saat yang sama tarik menarik dengan kepentingan lingkungan perlu dipertimbangkan agar tidak terjadi 'penggundulan' anemon yang merugikan 'Nemo' dan ikan ikan lain serta ekosistem bawah laut. Memang urusan makanan bisa mendorong pengembangan ekonomi. Pada saat yang sama, eksploitas bawah laut untuk kepentingan isi perut, terutama mereka yang menghendaki makanan yang eksotis seringkali merugikan lingkungan.Â
Kekayaan laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara, merupakan berkah bagi masyarakat setempat. Beragam jenis biota laut hingga ikan-ikan segar bisa diperoleh dengan mudahnya. Namun, membayangkan kita memakan Pepes Bulu Buli, sang anemon rumah Nemo dan kawan kawannya, buat saya itu membunuh dua makhluk, anemon dan Nemo. Jadi, kalaupun saya bukan seorang vegetarian, saya sih tetap  "NO WAY"  buat makan Pepes Buli Buli. Bagaimana dengan anda?
Pustaka: livescience.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H