Ketika berpapasan dengan motor ibu bidan yang baru pulang dari puskesmas, kami menyempatkan berhenti dan berbicara sambil berdiri sebentar berbicara soal kesehatan masyarakat. Rupanya, Â sudah tercatat adanya "oleh oleh" kasus HIV/AIDs dari pekerja kapal kontrak ini. Tentu ini suatu persoalan serius. HIV/AIDs bisa menular ke pasangan. Ini akan jadi masalah lebih besar karena Wakatobi makin terbuka dengan wisatawan, baik domestik maupun dari mancanegara.Â
Masih soal kemiskinan, saya amati perempuan dan laki laki yang tetap tinggal di area ini mencoba  memancing di area Kulati, Dete dan Lamanggau. Menanam di pulau karang Tomia ini tidaklah produktif. Masyatakat perlu setahun untuk bisa memanen singkong. Itupun singkong beracun yang kurus yang biasanya dimasak untuk Kasuami. Kasuami yaitu singkong yang diparut dan dibentuk seperti kerucut. Dijemur untuk kemudian dikukus sebagai pengganti nasi. Â
Selama perjalanan dengan ojek ke beberapa desa, saya bertemu juga dengan penunggang motor yang berboncengan membawa sebuah stalagtit yang digergaji untuk dijual bebas sebagai patok atau penanda kubur di desa Malanggau. Vandalisme pada staglatit yang membutuhkan ribuan tahun untuk tumbuh dari prosesnya adalah menyedihkan. Biasanya stalagtit berpasangan dengan stalagmit, dan di  masyarakat di Wakatobi sudah tidak heran bila barang barang itu beredar diperjualbelikan hanya dengan harga kisaran Rp 1.5 juta sampai dengan Rp 2 juta. Masyarakat 'memanen' stalagtit dari gua Kontamale. Kesedihan melihat situasi kemiskinan di Wakatobi rasanya bisa bekepanjangan.Â
Memang studi yang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan bahwa anemon laut atau stichodactyla gigantea sangat populer sebagai bahan makanan laut (seafood). Biota ini memiliki sel-sel penyengat (nematokis) yang mengandung berbagai zat yang berpotensi dalam bidang biomedis dan obat-obatan. IPB sendiri melihat perlunya pengujian lebih lanjut terkait aktivitas antioksidan dan uji kualitatif komponen bioaktivitasnya. Mereka melihat bahwa pengembangan dan pemanfaatan antioksidan yang lebih efektif dari sumber daya alam perlu ditingkatkan untuk menggantikan antioksidan sintetik dalam penggunaannya di dalam makanan ataupun bahan obat-obatan. Memang itu tujuan mulia. Pada saat yang sama tarik menarik dengan kepentingan lingkungan perlu dipertimbangkan agar tidak terjadi 'penggundulan' anemon yang merugikan 'Nemo' dan ikan ikan lain serta ekosistem bawah laut. Memang urusan makanan bisa mendorong pengembangan ekonomi. Pada saat yang sama, eksploitas bawah laut untuk kepentingan isi perut, terutama mereka yang menghendaki makanan yang eksotis seringkali merugikan lingkungan.Â
Kekayaan laut Wakatobi, Sulawesi Tenggara, merupakan berkah bagi masyarakat setempat. Beragam jenis biota laut hingga ikan-ikan segar bisa diperoleh dengan mudahnya. Namun, membayangkan kita memakan Pepes Bulu Buli, sang anemon rumah Nemo dan kawan kawannya, buat saya itu membunuh dua makhluk, anemon dan Nemo. Jadi, kalaupun saya bukan seorang vegetarian, saya sih tetap  "NO WAY"  buat makan Pepes Buli Buli. Bagaimana dengan anda?
Pustaka: livescience.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H