Pada kondisi suhu laut yang meningkat, anemon mengalami apa yang disebut 'bleaching', mereka menjadi pucat, dan ikan badutpun menjadi pucat warnanya dan seringkali kedapatan mati. Perubahan iklim akan sangat mempengaruhi kehidupan anemon dan ikan badut.
Ketidakpahaman manusia pada kemitraan dan relasi antara anemon dan ikan badut terus terjadi. Tiadanya anemon laut menyebabkan ikan badut akan mati cepat. Bila kita masih memakan dan mengambil anemon dari habitatnya, artinya kita membunuh dua makhluk sekaligus, anemon dan ikan badut.
Pepes Buli Buli, Ikan Badut, dan Wakatobi
Kita coba kembali hubungkan soal Pepes Buli Buli, si 'Nemo' dan Wakatobi ya.Â
Wakatobi yang namanya merupakan akronim dari empat pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko memang sangat kaya dengan keragaman biota dan spesies ikan laut. Terdapat 900 jenis ikan di dalam lautnya. 750 dari 850 jenis karang juga di dunia ada di sini. Oleh karenanya, Wakatobi terdaftar di the UNESCO World Network of Biosphere Reserve (WNBR) untuk kekayaan karang dan fauna laut.Â
Namun, dalam penelitian lapang, saya menemukan penduduk di banyak desa di Wakatobi masih miskin. Di Wawotimu, misalnya terdapat 28% rumah tangga miskin dan 24% keluarga yang mendekati miskin. Di Lamanggau, terdapat 27% keluarga miskin dan 40% keluarga mendekati miskin. Dengan angka 67% keluarga di Lamanggau adalah miskin dan mendekati miskin, artinya di desa ini tidak ada yang bisa disebut kaya (DFS Report of Solar Photovoltaic Electricity for Tomia Island. Wakatobi is a green model project, 2016). Adanya tingkat kemiskinan yang tinggi ini memiliki arti tentang, antara lain, adanya kebutuhan yang lebih baik dalam hal ekonomi. Â
Adanya keputusan pemerintah untuk menjadikan Wakatobi sebagai Taman Nasional pada 2012 sebetulnya belum didukung dengan pendekatan untuk menawarkan kematapencaharian bagi penduduk, baik perempuan dan laki laki. Tentu, secara teori, masyarakat tidak boleh memanfaatkan ikan yang tergolong liar dan jarang keberadaaannya di bawah laut. Tetapi ketika masyarakat tidak punya pilihan hidup, apa boleh buat. Masyarakat mencoba menyelesaikan sendiri solusi solusi yang mereka lakukan untuk bertahan. Di Kulati, masyarakat mengalihkan mata pencaharian untuk wisata bawah laut. Â Ini solusi positif. Untuk itu, masyarakat Kulati didukung oleh lembaga Swisscontact.
Ketika saya ke pasar, tampak sedang ada kegiatan reklamasi di dekatnya. Tanah baru ini nantinya akan dijadikan tempat penampungan dan  penjualan ikan. Artinya, transaksi jual beli ikan memang akan menjadi makin besar. Bila ini terjadi terus menerus dan pemerintah tidak memberikan aturan yang jelas, sementara juga tidak memberikan solusi yang memadai dalam hal kematapencaharian, bukan tidak mungkin habitat bawah laut akan terus terancam dieksplotasi dan akan berkurang atau punah.Â
Adanya jumlah orang laki laki yang bermigrasi menjadikan  rasio penduduk berdasar jenis kelamin tidak seimbang. Di antara 100 perempuan cuma ada 90 laki laki. Ini persoalan serius.  Kenjomplangan ini mengakibatkan banyak pekerjaan di lahan dan di rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Yang aneh adalah pendekatan dari pemerintah ataupun proyek ketika mereka mengundang masyarakat untuk mempersiapkan pemasangan listrik. Perempuan adalah kelompok yang paling berhubungan dengan kebutuhan listrik. Baik untuk menemani anak yang sedang belajar serta untuk menyalakan alat alat rumah tangga agar mereka bisa menghemat tenaga. Namun, jumlah perempuan yang diundang untuk pertemuan hanya dipatok 30% dari total peserta. Padahal juga, jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari laki laki dan bahkan njomplang di wilayah ini. Ini logika yang saya tidak pahami dengan kelatahan menetapkan angka 30% 'kuota' kepesertaan pertemuan soal listrik dan ekonomi.