Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membuang Makanan, Dampak Budaya atau Kesombongan?

21 Januari 2019   17:30 Diperbarui: 22 Januari 2019   06:34 1059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memang, budaya, kesadaran orang kaya dan juga kesomvongan orang Indonesia perlu mendapat perhatian. Mengapa saya katakan sombong?  Seringkali kita dengar keluarga yang mantu besar besaran. Mereka mengundang banyak orang, kadang kadang ribuan. Mereka juga memilih makanan yang mahal. Namun dalam pembiayaannya masih menghutang. Mengapa begini? 

Perlu dirombaknya bila memang hal itu tidak ada faedahnya. Upaya seperti yang dilakukan adik saya, Lina, secara reguler adalah sangat baik. Namun, itu belum juga bisa memecahkan semua persoalan membuang makanan.   

Sementara itu, persoalan menghilangkan makanan, khususnya dalam proses produksi di rantai nilai, khususnya pada pasca panen perlu pula mendapat perhatian. Seringkali saya menyaksikan tumpukan sayur, seperti kol dan labu siam dalam keadaan busuk di pinggir jalan di area Kopeng, Jawa Tengah. Saya menduga, ini karena sayur sayur tersebut tidak terangkut ke pasar. Di sisi lain, proses produksi turunan dari sayur mayur itu mungkin hanya dilakukan pada area industri dan tidak dikenal petani. Semestinya, hal seperti ini menjadi perhatian Dinas Pertanian dan juga Dinas Perindustrian di wilayah masing masing. Ini bukan persoalan mempersalahkan pihak pihak, namun mandat lembaga perlu dioptimalkan sesuai dengan konteks yang selalu dinamis. 

Saya jadi ingat kebiasaan di wilayah Indonesia Timur seperti di Sumba dan di Papua. Ketika itu saya berjalan di pasar di Jayapura. Saya hampiri mama mama Papua penjual pisang Kepok yang besar besar. Saya membeli satu lirang saja. Mama mama itu memaksa saya membeli semuanya, satu tandan. Saya jelaskan bahwa saya hanya seorang diri dan satu lirangpun akan memerlukan waktu untuk memakannya. Ia menjawab 'ayolah, nanti juga mama kasih makan babi atau mama buang, bila ibu tidak beli". 

Karena pisang kepok kuning di wilayah Indonesia sangatlah baik, saya sering membayangkan perusahaan penerbangan kita, misalnya PT Garuda Indonesia pelu untuk bekerjasama dengan UKM di beberapa wilayah untuk menyediakan camilan keripik pisang dari wilayah berbeda. Dan 'branding' pada masing masing jenis pisang dan dari wilayah mana mungkin menjadi spirit yang baik bagi wilayah yang bersangkutan. Saya memahami, pisang di Papua berbeda dengan pisang di NTT ataupun pisang di wilayah Jawa, dan menonjolkannya di pasar di penerbangan akan menjadi pemasaran yang baik.  Ini akan membantu menyelamatkan persoalan rantai nilai itu. Mengapa tidak?!.

Situasi membuang makanan di masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin menjadi suatu ironi karena persoalan kemiskinan dan kekurangan makan dan gizi masih menjadi persoalan kita. Dan dunia mengkaitkan persoalan membuang dan menghilangkan makanan sebagai bagian dari persoalan penguapan karbon dioksida yang berlebih dan meningkatnya emisi gas yang terjadi dari makanan yang dibuang itu. 

Di seluruh dunia, upaya upaya telah banyak dilakukan. Upaya pelabelan makanan yang memadai, membagi makanan 'food share', pendidikan pada produsen dan konsumen, dan upaya serius pada tingkat aksi menguragi hilangnya makanan adalah contoh contoh yang pernah dilakukan. 

Sebut saja John VanDeusen Edwards, seorang Amerika yang tinggal di Austin. Ia mengembangkan kebun sayur seluas hanya 4x4 meter dan mempersilakan siapapun untuk menikmati sayur yang tumbuh di kebunnya. Ia berprinsip, makanan adalah hak semua. Dan masyarakat yang butuh dan tidak bisa bayar bisa mendapatkannya secara gratis. Edwards menghabiskan waktu hampir 3 tahun untuk memulai proyeknya. Upanya ia kampanyaken untuk menjawab sistem pertanian yang putus atau rusak "Broken Agriculture System". Ia mengajarkan tentang bagaimana kita dapat membuat kebun di sekitar kita dan kita berbagi panen bersama lingkungan kita. Prinsip yang ia perkenalkan adalah makanan ada dan tersedia di sekitar kita adalah bagi kita semua. Persoalan sayur yang busuk di jalan tidak lagi ada. Dan makanan yang berlebih kita bagi. Ia namakan proyeknya "Food is free'.  Proyeknya akhirnya menjadi suatu gerakan. Upaya untuk membagi makanan melalui berbagai cara juga berkembang. Gerakan ini merambat ke sekolah dasar, masyarakat seni, pasar sayuran, geeja, dan juga usaha kecil di seluruh dunia. 

John VanDeusen Edwards (Foto : Food is Free)
John VanDeusen Edwards (Foto : Food is Free)
Berbagai lembaga berpartisipasi dalam upaya ini. Starbucks, misalnya, mengklaim telah berpartisipasi untuk membagi makanan kepada 10 juta penduduk Amerika. "Farmer Foodshare" yang diikuti perusahaan besar pemasok sayur juga mengajak masyarakat membeli dan mengkonsumsi sayur yang diproduksi secara lokal di beberapa area di Carolina Utara di Amerika.

Terdapat pula 'platform' bernama 'partnership supportive platform' yang membantu memecahkan persoalan berbagi makanan agar mengurangi pembuangan makanan.

Food Share (Starbucks.com)
Food Share (Starbucks.com)
Di Indonesia, pernah dilakukan program 'Makan Bijak'. Catatan saya pada linimasa, berita terkait program "Makan Bijak' saya temui pada Maret dan Mei 2018. Bagaimana dengan perkembangan program ini? Apakah berjalan baik? Selanjutnya, program 'Food Share' seperti yang dilakukan Lina Soeratman di Semarang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun