Sementara sang bangsawan, sampai dengan kisah tenun diselesaikan, tak pernah kunjung datang. Sementara, kelima tenun pewarna alam di atas cukup mahal harganya, di atas Rp 2 juta pada pameran di Jakarta. Alasan dari tingkat kemahalan tersebut adalah penggunaan pewarna alam yang memerlukan waktu lama. Juga harga menjadi mahal karena proses yang menyertakan sulam tak terputus di atas kain tenun.
Dan, saya sangat beruntung bahwa kain tenun Srimenanti ini menjadi koleksi saya. Saya sangat berterimakasih dipercaya untuk menyimpan koleksi yang luar biasa ini.
Tengkulak biasanya membeli kain tenun dengan harga sekitar Rp 150 sampai dengan Rp 200 ribu untuk tenun pewarna sintetis dan Rp 250.000 sampai Rp 300.000 untuk kain tenun dengan pewarna alamnya.Â
Padahal tengkulak menjual tenun tenun itu ke art shop dengna harga tinggi. Dengan adanya kelompok Nine Penenun, tenun pewarna alam dihargai dengan lebih baik. Juga, kualitas penenunan serta pewarnaan alamnya juga ditingkatkan. Penenun juga dilibatkan dalam proses mencari bibit dan mengembangkan tanaman pewarna, serta proses pewarnaan itu sendiri.Â
Inaq Zicko khawatir tentang usia penenun yang kebanyakan pada rentang usia 50 sd 70 tahun. Perlu upaya memperkenalkan tenun kepada kelompok lebih muda. "Pengetahuan itu jangan sampai hilang", katanya.
Ketika berbicara soal harga tenun dengan pewarna alam yang cukup mahal, mata saya terhenti pada beberapa kain tenun ukuran sekitat 40 cm x 1,5 m yang harganya Rp 35.000,-. Warna warni dari kain itu tak kalah indangnya dengan kain kain sebelumnya. Teksturnya berbeda. Unik. Lebih jarang jarang seratnya. Inaq Sri menyebut tenun itu Rerempek. Saya Tanya apa arti Rerempek dan maknanya.
Inaq Sri menolehkan wajahnya ke sesama penenun, Inaq Neli, dan menjawab "Rerempek artinya sisa, mbak. Itu adalah terbuat dari benang benang sisa. Dikerjakan oleh penenun tua. Kelompok muda tidak terlalu bisa. Saat ini hanya ada sekitar dua orang Inaq tua yang mengerjakannya".Â
Saya penasaran dan bertanya lagi mengapa sulit dibuat. Inaq Sri menjawab bahwa bahan dari tenun Rerempek itu adalah dikerjakan dengan tenaga lebih kuat. Ditarik dan ujungnya dipelentir. Saya tetap penasaran, mengapa sesuatu yang lebih sulit dan melelahkan dikerjakan oleh orang tua, yang diasumsikan lebih lemah, kemudian hanya dihargai begitu murah. Â
Inaq Sri berdiskusi dengan Inaq Neli dalam bahasa Sasak dan akhirnya menjawab "Jarang yang mau lakukan penenunan sisa benang, mbak. Selain sulit membuatnya, dan memakan waktu lebih lama. Dijual murah karena tidak dianggap barang berkualitaska. Kan dari benang sisa". Rasanya ada yang tidak pas.