Sejarah Warna Cita
Sejak masa Raja Tutankhamen di jaman Mesir kuno sampai kini, manusia meramaikan busana mereka dengan warna. Baik warna yang diproses melalui pewarnaan alam maupun buatan.Â
Warna warna itu diciptakan dari berbagai bahan. Dari tanaman, akar akaran, pohon, serangga, jamur, lumpur, maupun bahan logam, seperti emas, perak, dan perunggu. Warna ungu, musalnya dibuat dari kulit kerang ungu dari pantai Mediteranian. Karena langkanya bahan itu, menjadikan harga pewarna ungu ini mahal. Hanya keluarga kerajaan yang mampu membeli atau membuatnya. Warna ungu yang mahal ini disebut pula di salah satu injil, yaitu Lydia the Seller of Purple atau  Lydia si Penjual Warna Ungu.
Jadi, warna menjadi penengara siapa pemakainya. Laki laki atau perempuan. Kaya atau miskin. Atau apakah ia penganut ajaran agama tertentu.
Pada abad ke 18. ketika Ratu Victoria berkuasa di Inggris, warna hijau adalah warna yang sulit diperoleh. Warna hijau menjadi lambang rejeki dan kemakmuran.Â
Pada 1814, suatu perusahaan di Schweinfurt Jerman bernama Wilhelm Dye and White Lead menciptakan warna hijau yang baru. Berkilau bagai permata. Hijau jamrut, namanya. Â Warna ini nampak lebih bercahaya dari warna hijau yang pernah ada. Apalagi saat itu lampu gas baru saja diperkenalkan, menggantikan lampu lilin.Â
Kala itu, perempuan bangsawan selalu ingin nampak paling bercahaya ketika memasuki ruang pesta. Ingin nampak paling indah.Â
Namun, seorang bangsawan perempuan yang membeli sepasang sarung tangan dengan warna hijau itu menjadi histeris setelah memakainya. Tangannya putus dan penuh luka. Terbetiklah bahwa kaos tangan itu terbuat dari pewarna berbahan arsenik atau warangan, dalam bahasa Jawa. Bahan pewarna yang beracun mematikan.Â
Jadi, alasan mengapa warna hijau itu begitu bercahaya adalah, karena ia berbahan pewarna arsenik!!.Â
Itulah sejarah warna hijau. Sejarah warna hijau  yang mematikan. Gaun pertama dengan warna hijau dari bahan arsenik saat ini terpajang di Museum Sepatu Bata, di Toronto, Kanada.Â
Hal ini yang menyebabkan seorang ahli kimia WH Perkin menciptakan pewarna buatan pada tahun 1853. Warna ungu, misalnya, ia ciptakan dari struktur molekul bensin.
Sejak akhir abad 19, pewarna sintetis berkembang cepat, mengikuti Revolusi Industri dan 'demokratisasi' pakaian. Demokratisasi pakaian mengijinkan siapapun menggunakan warna yang mereka suka. Tanpa membedakan strata. Pewarna alam makin sirna. Â
Akhir akhir ini, terdapat peningkatan keinginan masyarakat untuk kembali ke pewarna alam. Hal ini sejalan dengan semangat mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam dan juga melindungi kelestariannya. 'Back-to- nature' menjadi semangat baru. Dan, ini artinya banyak tanaman atau tetumbuhan akan dimanfaatkan kembali menjad pewarna alam.
Dunia perdagangan juga memberikan insentif bagi produk tekstil yang menggunakan pewarna alam untuk masuk ke pasar tertentu. Harga produk tekstil dengan pewarna alam dihargai tinggi. Bahkan beberapa Negara melarang masuknya kain dengan pewarna buatan. Bukan hanya soal warna. upaya untuk menghidupkan kembali teknik tradisional menciptakan tekstil juga mengemuka.
Dengan pengalaman memburuknya kualitas lingkungan setelah masa revolusi industri hingga kini, upaya untuk membangun pasar dunia yang memayungi penjual dan pembeli yang bertanggung jawab menjadi suatu kebutuhan. Sejarah berubah.
Membicarakan pewarna alam, saya jadi ingat kawan dekat saya. Dik Indana.Â
Indana Laazulva, nama lengkapnya. Saya mengenalnya sekitar 2 tahun ini. Perkenalan berawal dari kerja kami di suatu lembaga yang sama di Jakarta. Ia berurusan dengan proyek jamban dan gizi. Sementara saya berurusan dengan proyek pembangunan hijau.
Semasa kerja itu, obrolan kami lebih pada obrolan ringan dan guyon receh. Â Makan siang bersama. Saling menanyakan kondisi keluarga. Atau menghabiskan waktu untuk piknik bersama. Hampir tidak pernah kami bertukar info soal pekerjaan.Â
Paling paling, karena kami sama sama tinggal di area Yogya -- Magelang, pembicaraan kami seputar transportasi Yogya ke Jakarta atau sebaliknya. Pembicaraan 'commuter'.Â
Ia lahir di Surabaya. Lulusan S1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan lulus S2 dengan gelar Master of Public Health Universitas Gajah Mada (UGM). Ia memiliki paket komplit. Cerdas. Cantik. Murah Senyum. Â Yang istimewa, ia punya ketulusan dan keihlasan yang tak biasa.Â
Sekitar satu setengah tahun yang lalu, kami mendengar kabar bahwa suami dik Indana, mas Pariawan Lutfi Ghazali, atau mas Lutfi, menerima cobaan dariNya. Mas Lutfi, yang sehari harinya adalah dokter dan menjadi pengajar di Fakultas Kedokter Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta mengalami keterbatasan untuk dapat menelan makanan dan meludah, sering sebut disfagia, setelah stroke yang dialaminya.Â
Mas Lutfi memerlukan bantuan pipa makan atau sonde atau 'nasogastric tube' (NGT) yang dipasangkan melalui rongga hidung ke saluran pencernaan untuk memasok makanan dan gizi ke dalam tubuhnya. Tentu ini memerlukan kesabaran. Sementara itu, proses pengobatan dan perawatanpun masih berjalan hingga kini. Hal ini merubah keseharian keluarga dik Indana. Baik mas Lutfi, dik Indana dan kedua putranya yang masih bersekolah di Sekolah Dasar.
Dik Indana diperlukan untuk dekat dengan mas Lutfi. Dik Indana diperlukan untuk mendampingi mas Lutfi untuk membantu memberikan asupan makanan dan minuman, setidaknya 3 kali sehari melalui sonde. Juga, dik Indana diperlukan untuk mendampingi mas Lutfi untuk cek dokter secara teratur. Artinya, dik Indana tidak bisa jauh dari mas Lutfi. Secara umum, mas Lutif sudah kembali sehat seperti semula. Dan, mas Lutfi memang gantenh. Hanya saja, selama satu setengah tahun ini, mas Lutfi masih harus menggunakan Sonde untuk makan dan minum, karena fungsi telannya belum pulih. Â Hal ini menyebabkan Mas Lutif juga terpaksa membatasi untuk tidak banyak berbicara. Sebagai dosen, hal ini tidaklah mudah.Â
Dalam komunikasi WA kami, kami selalu optimis. Mas Lutfi akan segera pulih seperti sediakala. Dan kami percaya itu. Aamiin YRA.Â
Selama beberapa bulan di awal tahun 2018, kami hanya berkomunikasi dengan WA atau saling menyapa melalui Instagram. Saya memahami kesibukan dik Indana yang menjadi pendukung keluarga. Selama beberapa bulan di 2018, saya tidak terlalu mengikuti kegiatan dik Indana.
Namun di sekitar bulan Mei 2018, saya saksikan wajah gembira dik Indana terpampang di media sosial, Facebook dan Instagram dengan karya eco printnya. Dik Indana rmengikuti kelas ecoprint yang diadakan alumni UGM. Ia ikuti kelas dasar sampai dengan tingkat advance.Â
Pada awal belajar ecoprint, karyanya cenderung dari bahan kain putih dengan ecoprint berwarna hijau muda dan warna kecoklatan natural.Â
Waktu berjalan, dan selanjutnya saya saksikan warna warna cerah keunguan, kemerahan, hijau terang, kekuningan, atau campuran dari kesemua warna tersebut ada di karyanya. Ia bercerita bahwa untuk warna merah, ia dapatkan dari kayu secang. Warna coklat dari kayu Tingi,Mahoni, Jambal. Sementara Tegeren dan kunyit memberi warna kuning. Untuk warna hijau, ia dapatkan dari Jolawe dan daun Mangga. Untuk warna salem, ia gunakan kulit manggis.
Dik Indana menemukan kegairahan mencari daun, menemukenali daun, memanfaatkan daun yang terbuang, menanam bibit pepohonan untuk bahan pewarna alam. Dan ia terus mencari dan membagi. Pohon dan bibit yang ia miliki, ia bagikan kepada teman temannya. Termasuk bibit Pohon Kalpataru yang ia bagikan kepada 14 kawan kawannya.Â
"Daun dan kayu yang sama bisa hasilkan warna dan kepekatan yang berbeda. Apalagi daun dan kayu yang berbeda. Saya belajar banyak tentang tanaman dan warna', kata dik Indana. Dik Indana juga makin mengenal daun daun yang bisa atau cantik digunakan untuk ecoprint.Â
Selalu ada bahagia.  Minggu ini, dik Indana menulis di halaman Facebook dan Instagramnya "Paska libur panjang off produksi ecoprint, hari ini kami bertiga semangat 45 produksi kain ecoprint di tempat yang  kami sepakati sebagai pabrik. Sambil nunggu kukusan 5 lontongan yang masih ngepul di atas kompor maka kami menikmati hasil ecoprint kloter kukusan pertama. Kali ini ada tamu baru yaitu daun Tabebuya dan Bunga Waru yg meramaikan motif ecoprint"
Langkah 1. Siapkan kain. Gunakan bahan sutera atau kain katun.
Untuk kain katun dan non sutera  lakukan 'premordant', yaitu kain direbus 1 jam dengan tawas dan direndam 24 jam dengan air bersih, untuk menghilangkan sisa sisa bahan kimia pabrik. Ini juga untuk membuka pori pori kain supaya bisa menyerap pewarna alam. Keringkan dengan dijemur atau diangin angin. Untuk sutera, kain di "scouring"atau direndam dengan cuka selama 1 jam da kemudian dicuci bersih juga dan diangin anginkan.
Langkah 2. Pemilihan daun dan bunga yang akan telah dipilih untuk bahan pewarna kain. Sebaiknya daun atau bunga diambil pada saat musim panas karena warna daun atau bunga akan cepat pudar setelah terkena hujan.
Langkah 3. Mordan in, kain dibasahi cairan tawas sampai lembab.
Langkah 4. Ecoprint, letakkan daun atau bunga pada bagian kain yang Anda inginkan. Gulunglah tapat dan buatlah bundel yang ketat. Ikat erat bundelan dengan benang katun atau benang kasur.
Langkah 5. Pencetakan. Jika Anda menginginkan proses yang lebih singkat, Anda bisa merebus atau mengukus bundelan kain yang sudah dibuat. Proses ini biasanya membutuhkan waktu antara 30 menit sampai 6 jam. Warna daun atau bunga akan mulai masuk ke dalam kain. Warna daun atau bunga tertentu akan mulai pudar jika proses ini dilakukan dalam waktu yang terlalu lama. Maka periksalah secara teratur dan tambahkan air jika diperlukan.
Langkah 6. Keluarkan dan dinginkan. Setelah itu, keluarkan buntelan, gunting benang benang agar bisadibuka. Biiarkan hingga dingin atau kering. Proses ini bisa beberapa jam, atau perlu waktu lebih.
Langkah 7. Fiksasi. Fiksasi dengan air tawas (untuk efek warna lebih cerah) baru bisa dilakukan setelah 1 minggu.Â
Rupanya perlu waktu untuk membuat ecoprint.Â
Suatu saat, dik Indana menawarkan dirinya untuk bergabung menjadi relawan untuk membantu penyintas gempa Lombok, ketika dik Indana mengetahui bahwa saya sedang bergiat dengan penyintas gempa Lombok. Alhasil, dik Indana akhirnya mengajari penyintas untuk membuat ecoprint, membuat bolu motif tenun dan juga sosialisasi kesehatan reproduksi bagi perempuan. Ini dilakukannya di 2 desa di Lombok Timur. Semuanya tanpa bayaran.
"Mbak, terima kasih ya saya telah diberi kesempatan untuk melakukan ini. Saya bisa berganti udara mbak. Supaya tidak selalu di Yogya". Haru saya mendengarnya.Â
Pada kesempatan lain, dik Indana turut serta dalam pameran penggalangan dana untuk penyintas gempa Lombok. Alhasil, karyanya laris manis. Terlebih, satu karya ecoprint dik Indana yang akhirnya kami lelang dengan harga cukup baik. Sangat bahagia wajahnya. "Mbak, saya sengaja nabung bahan. Saya siapkan sutera untuk membuat ecoprint. Semua hasil penjualan untuk bantu penyintas ya. Untuk nambah bangun Hunian Sementara - Huntara ".Â
Astaga.Â
Mendengar semua ini, mata saya basah.Â
Dik Indana bahkan tidak menyisakan hasil jual ecoprint untuk dirinya sendiri. "Seneng banget saya bisa lakukan ini. Saya senang bertemu dengan ibu ibu penenun dan penyintas gempa.".
Cinta dik Indana pada ecoprint, Â pada keluarganya, dan pada sesama jadi satu. Ikhlas.
Di saat tanpa pekerjaan tetappun, semua yang ia lakukan adalah untuk sesama.Â
Ketika saya tanya apa mimpi dan rencananya ke depan dengan ecoprint nya, ia menjawab "Apa yang saya lakukan dengan ecoprint mengalir tanpa rencana. Hanya mengikuti kata hati. Namun, saya sekarang menyadarinya. Apa yang saya lakukan bukan semata untuk saya. Bukan semata untuk healing. Bukan hanya untuk membahagiakan diri sendiri. Saya ingin memperkenalkan ecoprint kepada lebih banyak komunitas, khususnya mereka yang terpinggirkan. Dalam waktu dekat, saya ingin memperkenalkan ecoprint kepada komunitas waria dan orang dengan HIV/AIDs(ODHA). Juga komunitas 'girli' (pinggir kali) di Jakarta. Produk mereka bisa dijual dan dititipkan ke agen wisata. Turis bisa datang pula ke rumah singgah. Kelompok  kelompok yang selama ini terpinggirkan ini bisa menikmati hasil penjualan ecoprint untuk memperbaiki hidup mereka. Untuk keberdayaan mereka. Obrolan ini membuat saya ingin lebih bersemangat untuk berbuat baik sesering mungkin". Mulia sekali.Â
Dik Indana akan terus mencari daun. Â Mencari pohon. Mencari ranting. Mencari jejak bumi.Â
Untuk kain kainnya -untuk cita. Juga untuk cintanya. Untuk mas Lutfi. Dan anak anak. Untuk keluarga. Untuk kelompok ODHA. Untuk kelompok Girli. Untuk sesama.Â
Semoga penuh berkah ya, dik Indana. Semoga mas Lutfi cepat pulih. Â Happy Anniversary. Peluk erat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H