Sekitar satu setengah tahun yang lalu, kami mendengar kabar bahwa suami dik Indana, mas Pariawan Lutfi Ghazali, atau mas Lutfi, menerima cobaan dariNya. Mas Lutfi, yang sehari harinya adalah dokter dan menjadi pengajar di Fakultas Kedokter Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta mengalami keterbatasan untuk dapat menelan makanan dan meludah, sering sebut disfagia, setelah stroke yang dialaminya.Â
Mas Lutfi memerlukan bantuan pipa makan atau sonde atau 'nasogastric tube' (NGT) yang dipasangkan melalui rongga hidung ke saluran pencernaan untuk memasok makanan dan gizi ke dalam tubuhnya. Tentu ini memerlukan kesabaran. Sementara itu, proses pengobatan dan perawatanpun masih berjalan hingga kini. Hal ini merubah keseharian keluarga dik Indana. Baik mas Lutfi, dik Indana dan kedua putranya yang masih bersekolah di Sekolah Dasar.
Dik Indana diperlukan untuk dekat dengan mas Lutfi. Dik Indana diperlukan untuk mendampingi mas Lutfi untuk membantu memberikan asupan makanan dan minuman, setidaknya 3 kali sehari melalui sonde. Juga, dik Indana diperlukan untuk mendampingi mas Lutfi untuk cek dokter secara teratur. Artinya, dik Indana tidak bisa jauh dari mas Lutfi. Secara umum, mas Lutif sudah kembali sehat seperti semula. Dan, mas Lutfi memang gantenh. Hanya saja, selama satu setengah tahun ini, mas Lutfi masih harus menggunakan Sonde untuk makan dan minum, karena fungsi telannya belum pulih. Â Hal ini menyebabkan Mas Lutif juga terpaksa membatasi untuk tidak banyak berbicara. Sebagai dosen, hal ini tidaklah mudah.Â
Dalam komunikasi WA kami, kami selalu optimis. Mas Lutfi akan segera pulih seperti sediakala. Dan kami percaya itu. Aamiin YRA.Â
Selama beberapa bulan di awal tahun 2018, kami hanya berkomunikasi dengan WA atau saling menyapa melalui Instagram. Saya memahami kesibukan dik Indana yang menjadi pendukung keluarga. Selama beberapa bulan di 2018, saya tidak terlalu mengikuti kegiatan dik Indana.
Namun di sekitar bulan Mei 2018, saya saksikan wajah gembira dik Indana terpampang di media sosial, Facebook dan Instagram dengan karya eco printnya. Dik Indana rmengikuti kelas ecoprint yang diadakan alumni UGM. Ia ikuti kelas dasar sampai dengan tingkat advance.Â
Pada awal belajar ecoprint, karyanya cenderung dari bahan kain putih dengan ecoprint berwarna hijau muda dan warna kecoklatan natural.Â
Waktu berjalan, dan selanjutnya saya saksikan warna warna cerah keunguan, kemerahan, hijau terang, kekuningan, atau campuran dari kesemua warna tersebut ada di karyanya. Ia bercerita bahwa untuk warna merah, ia dapatkan dari kayu secang. Warna coklat dari kayu Tingi,Mahoni, Jambal. Sementara Tegeren dan kunyit memberi warna kuning. Untuk warna hijau, ia dapatkan dari Jolawe dan daun Mangga. Untuk warna salem, ia gunakan kulit manggis.
Dik Indana menemukan kegairahan mencari daun, menemukenali daun, memanfaatkan daun yang terbuang, menanam bibit pepohonan untuk bahan pewarna alam. Dan ia terus mencari dan membagi. Pohon dan bibit yang ia miliki, ia bagikan kepada teman temannya. Termasuk bibit Pohon Kalpataru yang ia bagikan kepada 14 kawan kawannya.Â