Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indana dan "Ecoprint", Mencari Jejak Bumi

9 Januari 2019   22:17 Diperbarui: 10 Januari 2019   10:19 2788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selalu ingin menyimpan daun dari pohon yang tumbang (Indana Laazulva)

Sejak akhir abad 19, pewarna sintetis berkembang cepat, mengikuti Revolusi Industri dan 'demokratisasi' pakaian. Demokratisasi pakaian mengijinkan siapapun menggunakan warna yang mereka suka. Tanpa membedakan strata. Pewarna alam makin sirna.  

Baju hijau pertama yang diciptakan pada sekitar 1778 yang disimpan di Museum Sepatu Bata. Gaun ini menggunakan pewarna dari bahan arsenik atau warangan. Photo: Roberto Machado Noa/Getty
Baju hijau pertama yang diciptakan pada sekitar 1778 yang disimpan di Museum Sepatu Bata. Gaun ini menggunakan pewarna dari bahan arsenik atau warangan. Photo: Roberto Machado Noa/Getty
Back-to-Nature

Akhir akhir ini, terdapat peningkatan keinginan masyarakat untuk kembali ke pewarna alam. Hal ini sejalan dengan semangat mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam dan juga melindungi kelestariannya. 'Back-to- nature' menjadi semangat baru. Dan, ini artinya banyak tanaman atau tetumbuhan akan dimanfaatkan kembali menjad pewarna alam.

Dunia perdagangan juga memberikan insentif bagi produk tekstil yang menggunakan pewarna alam untuk masuk ke pasar tertentu. Harga produk tekstil dengan pewarna alam dihargai tinggi. Bahkan beberapa Negara melarang masuknya kain dengan pewarna buatan. Bukan hanya soal warna. upaya untuk menghidupkan kembali teknik tradisional menciptakan tekstil juga mengemuka.

Dengan pengalaman memburuknya kualitas lingkungan setelah masa revolusi industri hingga kini, upaya untuk membangun pasar dunia yang memayungi penjual dan pembeli yang bertanggung jawab menjadi suatu kebutuhan. Sejarah berubah.

Dedaunan yang bagus untuk 'ecoprint' (Indana Laazulva)
Dedaunan yang bagus untuk 'ecoprint' (Indana Laazulva)
Indana 

Membicarakan pewarna alam, saya jadi ingat kawan dekat saya. Dik Indana. 

Indana Laazulva, nama lengkapnya. Saya mengenalnya sekitar 2 tahun ini. Perkenalan berawal dari kerja kami di suatu lembaga yang sama di Jakarta. Ia berurusan dengan proyek jamban dan gizi. Sementara saya berurusan dengan proyek pembangunan hijau.

Semasa kerja itu, obrolan kami lebih pada obrolan ringan dan guyon receh.  Makan siang bersama. Saling menanyakan kondisi keluarga. Atau menghabiskan waktu untuk piknik bersama. Hampir tidak pernah kami bertukar info soal pekerjaan. 

Paling paling, karena kami sama sama tinggal di area Yogya -- Magelang, pembicaraan kami seputar transportasi Yogya ke Jakarta atau sebaliknya. Pembicaraan 'commuter'. 

Ia lahir di Surabaya. Lulusan S1 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan lulus S2 dengan gelar Master of Public Health Universitas Gajah Mada (UGM). Ia memiliki paket komplit. Cerdas. Cantik. Murah Senyum.  Yang istimewa, ia punya ketulusan dan keihlasan yang tak biasa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun