Ketika saya mendengar bahwa ibu Profesor Doktor Dwikorita Karnawati diangkat menjadi Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), saya bangga bahwa satu lagi perempuan Indonesia ada di deretan perempuan istimewa di Kementrian dan Badan di Kabinet RI. Â Sudah ada Ibu Sri Mulyani di Kementrian Keuangan. Ada pula Ibu Susi di Kementrian Perikanan. Ibu Penny di BPOM. Masih ada beberapa perempuan istimewa lain. Lalu masuklah Ibu Dwikorita di BPMG.Â
Pernah bertemu di suatu acara di Universitas Gajah Mada di tahun 2015 dan mendengar beliau berpidato. Mendengar dari televisi ketika beliau menjadi moderator debat Cawapres putaran ke 4 di tahun 2014. Kesan secara umum adalah tegas, lantang dan cerdas. Â
Walaupun tak kenal secara pribadi, saya kagum pada rekam jejaknya. Kagum di sini, tentu bukan berarti saya membenarkan semua pernyataan beliau. Â
Penetapannya sebagai Rektor melalui sidang pleno antar waktu tentu bukan kebetulan. Meski digoyang beberapa berita tidak mengenakkan, ia tetap tegar. Soal komentarnya pada demo mahasiswa UGM Â yang disebut di media sebagai simulasi. Soal apa yang dikatakan di media bahwa ia melempar pernyataan sexist atas tuduhannya pada soal demonstran yang disebut mendorongnya.Â
Pada saat yang sama, saya catat semasa jabatannya sebagai Rektor UGM, Dwikorita memperjuangkan agar tidak terjadi putus kuliah di antara mahasiswanya, karena alasan tak ada biaya. Mahasiswa cerdas harus terus berkuliah. Untuk itu, ia mengupayakan berbagai beasiswa bagi mahasiswanya.
Capaian opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberikan kepada BMKG adalah opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Ini adalah opini baik terkait akuntabilitas keuangan lembaga. Di tahun 2017, BMKG juga dianggap sukses berprestasi di dunia international. BMKG menjadi Centre of Excellence untuk program pendidikan Taruna MKG. Artinya, BMKG menjaga akuntabilitas dan kinerjanya. Namun diakui, tugas BMKG tidak ringan.Â
Pertama, potensi bencana yang disebabkan oleh kegiatan gunung vulkanis aktif, misalnya, adalah tinggi. Indonesia adalah satu dari Negara Negara yang memiliki gunug berapi aktif. Lempengan Eurasia, lempengan Pasifik dan Lempengan Indo Australia adalah zona yang mempengaruhi kerja vulkanik di Indonesia. Indonesia dicatat terdapat setidaknya 129 Â gunung berapi aktif yang dipantai oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.Â
Juga, sekitar 5 juta penduduk hidup dan bekerja di zona vulkanik ini. Setiap tahunnya, diperkirakan terjadi 1 erupsi vulkanik. Sementara, setidaknya sekali setiap 15 sampai 20 tahun, wilayah Indonesia digoyang oleh gempa vulkanik yang besar. Gunung Merapi, Kelud, Galunggung, Krakatau dan Tambora adalah sebagian dari yang paling aktif.Â
Kedua, persoalan anggaran untuk tanggap bencana yang sampai saat ini masih mengikuti perencanaan dan prosedur anggaran pembangunan biasa. Menurut saya, diperlukan mata anggaran kebencanaan yang selalu siap siaga dalam jumlah tertentu dan dapat dicairkan tanpa menunggu proses penganggaran. Kan ini untuk siap siaga. Kalau siap siaga mesti tersandung dokumen perencanaan, apakah bisa dikata kita siap siaga? Mungkin ini baru siap rencana? Tapi, mungkinkan itu?Â
Ketiga, tantangan terbesar terkait kesiapsiagaan bencana. Tsunami di Palu dan Selat Sunda terjadi. Wawancara media dengan Dwikorita setelah terjadi tsunami Selat Sunda menunjukkan ada beberapa hal kritis.Â
Dwikorita mencatat adanya erupsi Anak Gunung Krakatau yang terjadi 20 menit sebelum tsunami terjadi. Dwikorita menyebutkan soal 20 menit 'golden time' antara erupsi gunung Anak Krakatau dengan peristiwa Tsunami. Namun, karena deteksi dini erupsi tidak mampu menangkap situasi dan deteksi dini adanya tsunami tidak bekerja, maka terjadilah.
Sayang sekali, mayoritas alat pendeteksi Tsunami yang kita miliki banyak yang rusak. Dan, penyebab kerusakan ini semestinya diteliti. Apakah memang terdapat kerusakan karena usia peralatan. Atau terdapat persoalan lain pada saat pengadaannya. Atau apa? alasan kerusakan kerusakan alat deteksi dini tidak pernah dibicarakan atau dipertanyakan. Ini aneh.Â
Walaupun gempa karena gunung berapi secara umum dapat dikelola, tantangan klasik soal evakuasi masyarakat di wilayah gunung berapi juga berbagai. Satu di antaranya adalah keengganan masyarakat untuk berpindah dari rumahnya.Â
Keempat, aspek pendidikan masyarakat terkait kesiapsiagaan bencana dicatat oleh BPMG sebagai suatu keterbatasan. Saya setuju soal ini. Ketika beredar beberapa panduan kesiapsiagaan bencana melalui WA dan media sosial, siapa di antara kita yang membacanya dengan cermat? Boleh saya tahu? Apakah kita telah juga mempersiapkan diri? Siapa di antara kita yang merasa perlu adanya literasi kebencanaan?Â
Apakah kita siap bila ada bencana di rumah? Apakah kita siap bila ada bencana di tempat kerja? Apakah kita siap bila ada bencana di tempat publik lainnya? Ketika BPMG, melalui bu Dwikorita hari ini menyampaikan kekuatirannya soal situasi Anak Krakatau yang Siaga 3 dan dicatat adanya kemungkinan erupsi dalam waktu dekat, apa yang kita sudah lakukan?Â
Persoalan kesiapsiagaan bencana bukan hanya persoalan Dwikorita, atau BMKG atau lembaga pemerintah saja.Â
Betul, bahwa kerja dari mereka yang punya tanggung jawab sebagai pemegang mandat urusan kebencanaan haruslah purna. Namun, masyarakatpun perlu pula memiliki literasi dan  kesiapsiagaan bencana.
Bila BMKG menyatakan bahwa terdapat sekitar 100 juta penduduk Indonesia yang rentan dengan bencana, artinya, 2 dari 5 di antara kita adalah mereka. Mestinya kitapun perlu reflektif dan menjadi bagian dari solusi. Semestinya, kitapun  perlu mencari tahu dan mendidik diri terkait kesiapsiagaan bencana. Â
Dwikorita baru baru ini sempat menyampaikan melalui media soal kegagalannya. Yaitu, kegagalannya meyakinkan para pihak dan DPR untuk menyetujui usulan pendanaan dan pengadaan alat deteksi dini tsunami. Itu dia sesali sekali.Â
Di luar masalah masalah di atas dan  sorotan media soal kesalahan pernyataan Dwikorita terkait gerhana bulan pada 3 Januari 2018 serta tudingan beberapa pihak soal salah prediksi BMKG terkait tsunami Palu dan Selat Sunda, tugas BMKG memang tidak mudah. Tugas BMKG berat, khususnya dalam situasi dan kondisi serta konteks yang ada.  Banyak bencana, miskin anggaran, kontestasi kepentingan, sejarah tata kelola alat deteksi dini tsunami, dan rendahnya literasi.Â
Deretan bencana yang terjadi, bahkan berentet sejak hari pertama di tahun 2019, tentu tak membuat Dwikorita dan timnya di BMKG tidur nyenyak. Saya pikir, siapapun yang menjadi Kepala BMKG punya tugas yang tidak mudah. Bahkan sulit. Â
Apa yang kita harus lakukan sebagai warga masyarakat, agar kitapun memiliki literasi kebencanaan yang memadai agar dapat turut memitigasi bencana?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H