Bekerja di area pasca bencana tentu membutuhkan dokumentasi yang memadai.Â
Dokumentasi berupa foto, video, dan catatan dapat mendukung kerja lapang dalam beberapa hal. Foto dapat dipakai sebagai bagian dari alat pelaporan kepada publik.Â
Foto dapat menjadi rekaman untuk mengajak donatur dan relawan memberikan dukungan. Foto dapat merekam proses dukungan kepada penyintas, sebagai bahan pembelajaran.Â
Pada saat yang sama, kehati-hatian dalam mengambil foto dan mendiseminasikannya perlu mendapat perhatian. Akhir-akhir ini, banyak komentar ditujukan kepada beberapa orang narsis yang berfoto di tengah korban bencana Tsunami Selat Sunda. Tujuannya tentu dapat diduga popularitas via media sosial.Â
Suatu saat, tim dokter relawan kami di lapangan mendapati kondisi penyintas lansia yang sangat mengenaskan. Tubuh kurus berbalut kulit. Tidak mampu bergerak karena penyakit asam urat akut. Dan masih tinggal di tenda yang ala kadarnya.Â
Untuk konsumsi media, foto ini sangatlah 'menjual'. Namun, kami sangat berhati hati. Foto tetap kami simpan. Foto hanya kami bagi kepada pejabat yang seharusnya membuat tindak lanjut.Â
Sementara, di hadapan publik, kami hanya membagi foto lansia tersebut ketika ia sudah lebih sehat dan berada di hunian sementara yang memadai. Tentu kami perlu bekerja merealisasikan huntara tersebut.Â
Seringkali kita melihat foto rekaman puing puing dan terdapat boneka atau sepeda anak di antara puing. Mungkin foto semacam ini menyentuh dan membawa  'drama'. Tetapi, sebagai pelaku kerja kemanusiaan, hal semacam ini adalah 'menjual' bencana. Juga, foto anak kecil ingusan bertelanjang dada berlarian di antara puing.Â
Mungkin saja foto semacam ini akan mengingatkan kita pada foto pemenang Pulitzer di masa Perang Vietnam. Namun, hal ini kembali berpulang kepada apa tujuan kita. Pada prinsipnya, penyintas sudah menderita. Tak perlu mereka dijual.Â
Saya bersyukur hal ini menjadi nilai bersama dengan tim yang luar biasa, Gema Alam NTB, dan juga relawan Sahabat Gema Alam. Dan, pas sekali, relawan fotografer, Zulkarnaen Syri Lokesywara memiliki visi yang sama. Foto yang memberdayakan.Â
Pak Lokes yang sehari harinya adalah Bapak Guru di SMAN di Klaten, mengajar mata pelajaran geografi, dan pernah pula mengajar sosiologi dan antropologi rasanya pas betul untuk memotret perstiwa pasca bencana. Â Ketika Pak Lokes menyepakati hari dan tanggal untuk bergabung sebagai relawan, saya bungah. Ijin Bapak Kepala Sekolahpun diperoleh. Dan, foto foto cantik yang memberdayakan banyak kami dapatkan.Â
Tentu foto foto tersebut tidak akan indah dan natural tanpa disertai kerja nyata pelaku kerja kemanusiaan. Pada saat yang sama, rekaman kegiatan foto yang terlalu berfokus pada kerja juga dapat diartikan propaganda atas kegiatan semata. Keseimbangan itu dapat ditakar, namun hati nurani yang bicara.Â
Tim Gema Alam NTB dan Sahabat Gema Alam menjaga untuk tidak bekerja secara narsistik. Ibaratnya, kami tidak akan menayangkan foto relawan menggotong 1 box Indomie dan mengklaim seakan sudah bekerja keras dan sudah menjadi dermawan. Itu bukan jalan hidup kami.
Kembali ke soal etiket memotret di kala pasca bencana, kami sebetulnya tidak memiliki pakem aturan tertentu. Beberapa referensi membantu kami mengerucutkan beberapa aspek etiket utama saja.
Pertama, fotografer tidak menjadi pusat perhatian. Fotografer sebagai kawan dan peserta dalam peristiwa.Â
Kedua, meminta ijin untuk memotret dan meminta ijin untuk membaginya. 'Candid' photo memang lebih natural. Namun, meminta ijin tetaplah utama. Terutama ketika yang kita foto adalah anak anak, mintalah ijin kepada orang tuanya.Â
Ketiga, rekamlah kegiatan dan peristiwa. Bukan merekam atau memotret manusia sebagai obyek lemah yang dibuat dramatis untuk suatu tujuan fotografi semata.Â
Etika etika lain tentu akan mengular. Namun, tiga yang utama tadi bisa menjadi patokan kami.Â
Berdayakan penyintas yang telah menderita dan kehilangan keluarga dan harta serta pekerjaannya.Â
Selamat mengabadikan pasca bencana untuk kemanusiaan dengan etiket dan yang memberdayakan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H