Ada baiknya kita tilik apa itu resiliensi. Resiliensi adalah kapasitas individu dan kelompok untuk menavigasi cara cara mereka mengelola sumber daya sosial, budaya, fisik dan psikhis untuk dapat membangun dan memastikan keberlanjutan hidup (Ungar 2013).Â
Adalah menarik bahwa pada pasca bencana gempa Lombok, individu dan kelompok bekerja bersama untuk merespons kerentanan yang mereka alami, yaitu kerentanan dari rubuh dan hancurnya rumah mereka serta kerentanan karena kehilangan pekerjaan.Â
Kerentanan dari hidup di bawah tenda pengungsian massal yang terbuat dari terpal yang berlarut dirasakan pengungi. Penularan beberapa penyakit  massal, suhu yang panas di siang hari dan suhu dingin di malam hari, gigitan serangga, dan kebanjiran di musim hujan, dan potensi kerentanan adanya bentuk bentuk kekerasan seksual adalah sebagian yang ada. Hal ini membawa sekelompok masyarakat bergerak.Â
Di Mapaki, Sembalun, Lombok Timur, misalnya, Pak Ri (Rijali Sembapala) mengorganisir 10 orang untuk merespons undangan Gema Alam NTB dan Sahabat Gema Alam terkait gagasan hunian sementara (Huntara) secara gotong royong. Sore di awal bulan September, Pak Ri mengorganisir pertemuan dengan masyarakat yang tertarik membangun Huntara. Diskusi dan presentasi tim Gema Alam NTB dan Sahabat Gema Alam tentang desain dan mekanisme kerja pembangunan Huntara dilakukan.Â
Kesepakatan cepat dibuat. Masyarakat tertarik dan mendukung ide gotong royong. Gotong royong yang dimaksud tidak hanya pada pengelolaan tenaga yang mengerjakan huntara, tetapi pada upaya pengadaan pendanaannya.Â
Sebagai permulaan, pengidentifikasian 5 huntara prioritaspun dilakukan oleh Pak Rijali beserta tetangga terdekatnya. Huntara pertama adalah diperuntukkan bagi Inaq Rey. Ia seorang ibu hamil tua yang rumahnya hancur. Â Karena Inaq Rey tidak memiliki tanah, ia dibantu tetangganya, Inaq Ispil yang meminjamkan lahannya untuk dibangun Huntara di atasnya.Â
Dari sisi pendanaan, penggalangan dana cepat dilakukan oleh Sahabat Gema Alam. Untuk masyarakat yang berniat membangun huntara, disediakan  dukungan sebesar Rp 3.000.000 per huntara. Sementara keluarga yang menerima manfaat huntara melakukan swadaya, sejumlah antara Rp 1 juta sd Rp 3 juta. Swadaya masyarakat dilakukan tergantung dari kemampuan masing masing.Â
Di Lendang Luar, Sembalun Lawang, masih di Lombok Timur, beberapa perempuan, Inaq Ogi dan Inaq Jeni, 2 ibu menyusui yang rumahnya hancur menarik untuk dicatat. Mereka mengajak beberapa perempuan hamil dan menyusui di sekitarnya untuk bersama sama memikirkan pembangunan huntara mereka.Â
Perempuan perempuan ini bergerak cepat. Mereka membersihkan dan mempersiapkan sendiri lahan di bekas reruntuhan rumahnya. Â Lima huntarapun segera berdiri. Lebih menarik lagi, Inaq Ogi selanjutnya menawarkan Huntaranya untuk menjadi pos kerja dokter relawan Sahabat Gema Alam memeriksa penyintas. Ibu hamil dan menyusui, lansia dan difabel yang ada di sekitar rumahnya berdatangan untuk memeriksakan kesehatannya.Â
Suatu kegotongroyongan yang memperkuat ketangguhan atau resiliensi bertahan sejak paska gempa ini tensu saja hanya sedikit contoh dari apa yang terjadi pada pasca bencana Lombok. Apa yang dilakukan oleh Gema Alam NTB untuk memfasilitasi resiliensi di antara kelompok rentan dampingannya dilakukan melalui dukungan dan pendampingan serius. Mereka bekerja dengan berbekal kekuatan swadaya dan sumber daya ala kadarnya dari Gema Alam NTB sendiri dan dari dermawan dan relawan Sahabat Gema Alam.Â
Sudah semestinya modal sosial semacam ini perlu direkognisi dan disuburkan. Dan bukan malah dibiarkan atau 'dicuekin'. Membiarkan masyarakat penyintas bekerja sendiri melawan kerentanannya tidaklah adil. Â Membiarkan masyarakat penyintas bekerja sendiri juga tidak selayaknya ada, karena mekanisme pendanaan pasca bencana sebetulnya telah ada. Kecepatan dan efektivitas dari mekanisme itu yang perlu ditingkatkan.Â
Selain perlu rekognisi pada  upaya baik, pemerintah dan lembaga terkait serta swasta perlu pula melihat keterbatasan yang dimiliki masyarakat penyintas.  Upaya swadaya penyintas tentu akan berdampak terbatas pula.Â
Untuk itu, pemerintah dan para pihak yang bekerja pada isu kebencanaan perlu secara serius menanggapi dan mendukung apa yang telah dilakukan oleh penyintas di masa pasca bencana. Resiliendi di antara masyarakat perlu didukung agar lebih subut dan dibangun dengan lebih sistematis. Kepercayaan penyintas pada pemerintah dan lembaga yang bekerja pada isu kebencanaan  akan membangun rasa percaya diri penyintas untuk mampu bangkit dari dampak bencana yang mereka hadapi.
Piagam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menilai resiliensi penyintas dan upaya upaya yang menyertainya adalah modal sosial yang tidak boleh diabaikan. Resiliensi menyumbang kebangkitan penyintas. SDGs mensyaratkan negara memprioritaskan pada perhatian terkait upaya upaya dan pengetahuan lokal yang berbagai, dan termasuk pada pengetahuan yang berbagai dari kelompok perempuan.Â
Pemahaman pada kerentanan yang berbeda yang dihadapi penyintas, perempuan dan laki laki, yang akan menghasilkan pengetahuan lokal yang berbeda. Kekayaan pengetahuan untuk merespons bencana akan berkontribusi pada keberlanjutan upaya upaya rekonstruksi pembangunan jangka panjang. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H