Mohon tunggu...
Laeli Fajriyah
Laeli Fajriyah Mohon Tunggu... -

jiwaku karang.. dan engkau adalah samudra...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sebuah Penantian di Ujung Musim Semi

3 April 2011   06:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:10 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hujan di Indonesia, bagaimana di sana hari ini? masihkah sisa2 bencana itu menghantui batinmu? kuharap tidak.. sebab kita sedang menanti musim semi awal bulan nanti. Pagi-pagi sekali, kita akan menghadiri hanami, duduk bersila sambil menikmati sake dan dango, di bawah pohon sakura. Kita seolah dikerudungi payung berwarna ping. Ditemani hangatnya terik mentari, dan harum mekar sakura. Salju yang sendu telah berlalu. Ombak-ombak besar di lautan sekarang telah menjinak. Dan kau tak akan mengeluh tentang betapa tanganmu mulai kaku karena dingin. Jeritan ketakutan itu juga perlahan sirna. Bukankah, setiap insan harus bangkit dan mulai menatap harapan yang terbit? *** Aku masih ingat, ketika saat itu, kau bilang, sedang berdiri di balkon, dan memandang keluar, “saat ini, momoji berganti yuki.  samui benar2 menyelimuti hatiku, aku hanya bisa merapatkan tubuhku pada sehelai selimut tebal. Mungkin, musim dingin ini akan terasa lebih lama.” Aku bahkan bisa merasakan betapa kau bersusah payah mengeluarkan banyak kata dalam terpaan dingin. Meski hanya bisa mendengarmu dari ujung telpon, tapi.. “tapi aku senang, bisa melihat salju turun, hanya rintik-rintik saja, lihat! Ada kristal-kristal kecil es di telapak tanganku.. ” Ada tawa kecil dari ujung sana. “mana?” “di sini Ukht.. ” “di foto donk..” “hanya sebentar, kalo di sini, salju turun hanya sebentar, paling, tidak ada satu jam. Kecil-kecil” “makanya difoto, untuk kenang-kenangan. Ayo difotho..” “yaaaah… salju sudah berhenti Ukhti, afwan ya… lain kali kalo turun lagi..ana fotho dah.. ” “yaaaa.. ” aku sedikit kecewa. Tapi .. “eh, teman ana ada yang sempat ngrekam salju yang turun tadi. Tenang saja Ukht… hehe..” Dan aku tersenyum, memandang wajah bebintang di atas langit sana, yang mengerling genit dari celah jendela kamar, *** Sekarang, musim dingin hampir usai, dan masa haru pun siap menyambang.. aku tidak akan mendengarmu berbisik, “Koko de totemo samui desu...” Sungguh indah, ketika sakura dipadu warna biru langit. Hanya uraian takjub penuh pesona, begitu Maha Dahsyatnya Allah Ta’ala, menciptakan semua anugerah ini. Saat senja, Sinar perak matahari membayang dari balik bunga, sekali lagi terlihat siluet sakura berpadu dengan kuning langit. Tapi beberapa hari lalu, gempa menghancurkan paras indah negeri Jepang. Gedung2 mewah itu luruh oleh gempa dan tsunami. Dan sejak hari itu, aku tidak lagi mendengar cerita dan tawamu. Cemas, menanti apa yang bisa kudapat tentang keadaanmu saat itu. Setiap hari, aku selalu siap di depan layar televisi, mengharap agar kota tempat tinggalmu di sana aman dan baik-baik saja. Tp mengingat kota itu sangat dekat dengan laut, hatiku jadi koyak. “..kau sedang apa saat kejadian itu berlangsung? ” wajahku pucat, air mataku tumpah, dan aku merasa lunglai. Tidak berdaya. Setiap berita itu memunculkan peristiwa naas di Jepang, tiap kali itu pula ku pasang pendengaranku baik-baik. Aku sangat berharap, kau segera memberi kabar. Tapi semua itu telah 2 minggu lebih berlalu. Tidak ada 24 jam, kau sudah menelponku lagi dan memberitahuku bahwa kau baik-baik saja. Sungguh, aku senang. Meskipun katamu gempa masih sesekali mengguncang. “Tapi tenanglah, isnyaAllah, tidak akan ada apa2.. Allah akan menjagaku dengan baik” Saat itu di sini sedang sangat cerah-cerahnya. Matahari menyapa begitu ramah dan bersinar elok. “do’akan ana yah Ukht, smoga kami di sini baik2 saja.” “yah, insyaAllah, pasti Ukhti do’akan, ogenki de ne” *** Aku menatap selembar pic. Ada seorang berdiri mematung dengan senyum khas dan tangan melambai, memakai kaos cokelat dan jaket hitam serta syal di leher. Jauh di belakangnya, fujiyama tampak gagah menjulang, lebih dekat lagi, pohon-pohon sakura yang mulai rontok terlihat miring tertiup angin. “senyummu seperti bunga sakura di musim semi, indah..” Telah tiga kali aku berjumpa dengan musim haru di kota ini. Dan aku tak menemukan jejakmu sama sekali. Ketika untaian kelopak sakura jatuh di tepian jalan setapak ini, aku memungutnya perlahan. Mendengus dalam sesal. “Patutkah aku memutuskan asaku? Sedang aku masih memegang janji untuk menunggu. Dan aku datang, bersama riuh rindu yang bergemuruh.” Aku diterima sebagai mahasiswa S2 di Universitas Tokyo Japan. Di kota Chiba, untuk pertama kalinya ku injakkan kaki ini. Saat itu, aku menghirup udara musim dingin. Tidak banyak salju yang turun, tapi terasa begitu menggigil memang. Aku bisa membayangkan, dulu, kau merasa sedingin ini. Dan hari ini, aku memilih duduk di atas kursi kecil di bawah pohon sakura yang rindang. Aku melihat banyak anak-anak kecil bermain riang. Bersama sanak keluarga menikmati jamuan di pesta hanami. Kesendirian hati yang mencekik. Tapi aku senang, bisa mengunjungi kotamu dulu. Meskipun kau seolah menghilang, tapi aku yakin.. kau bersama jiwa-jiwa yang tenang dalam keindahan bunga-bunga sakura yang menawan. Entah dimana.. Perjumpaanku denganmu mungkin ditakdirkan bukan di sini. Karena telah 4 tahun aku menunggu, tak satu pun privat number yang masuk darimu. Bahkan kau tak jua mengetuk pintu rumahku, seperti ucapmu empat tahun lalu, “..insyaAllah.. menawi diparingi umur panjang, saking Gusti Allah, kulo ajeng silaturahmi teng gene Ukhti, ngenjang menawi sampun wangsul saking Jepang..” Langit masih cerah, ketika matahari hampir temaram. Sayup-sayup desiran angin memainkan jilbabku. Kupaksa tubuhku untuk beranjak. Tp naluri ini seolah ingin tetap tinggal, mungkin hingga malam menurunkan tirainya.. sejenak saja. Menunggu seseorang datang, mungkin kau.. atau orang yang mengenalmu.. tapi awan telah berubah menjadi jingga. Waktu maghrib pun sudah tiba. Aku harus segera kembali. Maka ku putuskan untuk mengeluarkan sebuah buku, menyobek satu helaian kertas dari dalamnya, memungut pensil dan menulis sesuatu. Ku letakkan di atas bangku kecil di bawah pohon sakura yang setengah rantingnya telah tanpa bunga. Kemudian bangkit, dan berlalu pergi. Jiwaku tunduk dalam kepekatan. Laraku menyepuhkan nanah kegetiran. Tersungkur dalam buai kesenyapan. Hitam bayangku berwujud ketakutan. Dan jeritku seolah nyanyian malam yang berbias kengerian. Ada kerikil-kerikil kecil yang menengadah gundah dalam batin. Kau, aksara yg mati di antara syair2 para pujangga. Kau bak kaktus yang bercermin di wajah sang purnama. “al ‘afwu ana aidhon. Waqtu lihadzihil hiwar. Uridu an istarooha. Ila liqo waqtal akhor.. laillatassa’idah, barokallahifiki. Wassalamu’alaikum Ukht..” kata-kata terakhir itu, masih terngiang merdu...

28 Maret 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun