Menurut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (DPD HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, ketentuan-ketentuan dalam RUU KIA tersebut akan memberi peluang bagi pengusaha untuk menggunakan sistem kontrak bagi pekerja, menurunkan produktivitas perusahaan dan UMKM, serta kesulitan upah (Firdhayanti, 2022).
"Pelaku usaha berharap agar pemerintah dan DPR melakukan kajian dan evaluasi yang mendalam dan komprehensif sebelum menetapkan UU tersebut karena menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha," kata Sarman.
Komnas Perempuan juga mengkhawatirkan bahwa dalam jangka panjang RUU KIA akan berpotensi menghambat hak bekerja perempuan. Oleh karena itu, Komnas Perempuan menekankan kepada pemerintah untuk dapat memastikan tidak adanya praktik pembatasan kesempatan kerja pada masa rekrutmen atau mempengaruhi kesempatan pengembangan karir perempuan (Komnas Perempuan, 2022).
Dalam pernyataan sikapnya terkait RUU KIA, Komnas Perempuan juga menyebutkan bahwa penerapan RUU ini membutuhkan alokasi anggaran yang cukup dan mensyaratkan pengawasan yang ketat. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengantisipasi pengalokasian anggaran jika ada tempat kerja yang tidak sanggup, meskipun bersedia untuk melaksanakannya (Komnas Perempuan, 2022).
Oleh karena itu, walaupun di satu sisi RUU KIA memiliki tujuan yang baik dan merupakan angin segar bagi para perempuan pekerja. Namun, di sisi lain RUU KIA masih meninggalkan sejumlah ancaman yang dapat menjebloskan perempuan ke dalam feminisasi kemiskinan, kesenjangan upah, bahkan mendomestikasi perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H