Data terakhir dari Kementerian Agama menunjukkan bahwa angka poligami mencapai 643 kasus pada tahun 2016. Sejak tahun 2012, terdapat penurunan angka poligami secara signifikan, diawali dengan 995 total kasus pada tahun tersebut. Secara berturut-turut jumlah tersebut menurun menjadi 794 pada 2013, 691 (2014), dan  689 (2015) (Kementerian Agama, 2016). Meski demikian, perlu diingat bahwa angka tersebut hanya merepresentasikan segelintir pernikahan poligami yang terdaftar melalui Pengadilan Agama, masih banyak pernikahan poligami yang tidak terdaftar secara hukum terutama di daerah-daerah. Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi yang menghadirkan akses program mentoring poligami berbayar terhadap masyarakat luas, isu poligami kini kian membutuhkan perhatian agar tidak terjadi pelanggaran hukum di balik kedok poligami.Â
Poligami dapat menjadi sarana tindakan kekerasan terhadap perempuan lantaran apabila pernikahan poligami tidak terdaftar secara resmi, maka akan sangat sulit bagi istri untuk menuntut hak-haknya apabila terjadi perceraian. Anak hasil pernikahan poligami yang tidak tercatat juga secara otomatis tidak tercatat dan digolongkan sebagai Anak Luar Kawinyang kemudian akan menimbulkan perbedaan juga dalam hal pembagian harta warisan. Bahkan apabila tidak terjadi perceraian sekalipun, akan sulit untuk menjaga keadilan dan menjamin hak-hak bagi istri untuk mendapatkan nafkah dan perlindungan sebagaimana yang diatur didalam UU Perkawinan dan KHI.Â
Pencegahan terjadinya hilangnya hak-hak istri sebenarnya dengan mudah dapat dilakukan dengan menegakkan Pasal 5 UU Perkawinan yang merincikan syarat melakukan poligami, sehingga seseorang baru diperbolehkan untuk melakukan poligami apabila sudah terbukti memenuhi empat syarat yang telah disebutkan dalam pasal terkait.Â
Selain tindakan preventif, juga dibutuhkan juga sensitivitas gender dari aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan akibat poligami. Hal ini dapat diwujudkan penyelenggaraan mekanisme perlindungan bagi saksi dan korban serta koordinasi dalam pemenuhan hak korban dengan perspektif gender yang merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung No.03 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Dalam liputan viral yang sedang hangat diperbincangkan, Hafidin mengklaim bahwa poligami akan semakin semarak di masa yang akan datang. Terlepas dari apa yang akan terjadi maupun pandangan pro dan kontra dari berbagai kalangan, yang sudah pasti diharapkan adalah semakin maraknya diskursus mengenai kekerasan terhadap perempuan yang kerap kali berkelindan dengan tindakan poligami itu  sendiri. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai poligami yang berkaitan erat dengan kekerasan terhadap perempuan, diharapkan poligami tidak lagi menjadi suatu ancaman diskriminasi terhadap perempuan dalam keluarga sebagai unit terkecil masyarakat.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H