Mohon tunggu...
LEXPress
LEXPress Mohon Tunggu... Mahasiswa - Biro Jurnalistik LK2

Biro Jurnalistik merupakan biro dari Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang bergerak dalam kegiatan meliput dan menyampaikan berita hukum terkini.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Pelangi" di Zamrud Khatulistiwa: Selangkah Lebih Dekat Bersama Merlyn Sopjan

7 September 2021   18:25 Diperbarui: 17 September 2021   14:55 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bulan April 2020 lalu, diberitakan di media massa bahwa seorang transpuan bernama Mira, dibakar hidup-hidup hingga tewas karena dituduh telah melakukan pencurian sebuah ponsel milik seorang sopir truk di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Dalam menanggapi peristiwa tersebut, berbagai kelompok masyarakat di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) seperti Jaringan Masyarakat Sipil Semarang dan Sandya Institute serta lembaga yang memperjuangkan kesetaraan gender seperti Arus Pelangi, menyatakan bahwa kasus ini bukan hanya karena didasarkan pada perilaku Mira yang melakukan pencurian belaka. Namun, kasus ini juga merupakan bukti masih terdapatnya perilaku diskriminatif masyarakat terhadap kaum minoritas seperti Mira yang merupakan bagian dari kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan lainnya (LGBTQ+).

Banyak orang yang sesungguhnya mengamini bahwa penerimaan masyarakat terhadap kaum minoritas masih jauh dari kata adil. Mira, transpuan yang diceritakan di atas, hanyalah satu dari sekian banyak kelompok LGBTQ+ yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Perlakuan itu tidak hanya berasal dari orang disekitarnya melainkan juga dari kalangan aparat penegak hukum. Melansir data dari catatan Arus Pelangi, selama 2006--2018, ada sekitar kurang lebih 1.850 kasus persekusi waria dan transpuan yang tidak diselesaikan aparat.

Atas dasar alasan tersebut, tim Biro Jurnalistik LK2 FHUI kemudian berinisiatif untuk mewawancarai salah satu narasumber yang dapat memberikan pengalaman dan pendapatnya selaku representasi dari kelompok LGBTQ+. Pengalaman beliau bukan terbatas tentang perlakuan diskriminatif apa saja yang telah diterimanya, melainkan juga mengenai kisahnya dalam berjuang untuk hidup selama ini di tengah tekanan masyarakat yang masih kurang menoleransi identitas beliau.

Beliau adalah Merlyn Sopjan, yang kemudian akrab disapa sebagai Bunda Merlyn. Lahir dengan nama Ario Pamungkas, Bunda Merlyn adalah seorang aktivis yang baru-baru ini bersama dengan teman-temannya mendirikan yayasan bernama Intan, singkatan dari Inklusi Transpuan Indonesia sejak Agustus 2021. 

Selain melakukan kegiatannya sebagai seorang aktivis dan mengurus yayasan, Bunda Merlyn juga sudah menerbitkan beberapa buku dengan judul Jangan Lihat Kelaminku (2005), Perempuan Tanpa V (2006), dan Wo(W)man: Tuhan Tidak Membuat Rencana yang Tak Sempurna (2016). 

Bunda Merlyn bercerita bahwa menjadi dirinya yang sekarang bukan hanya perihal fisik tetapi juga jiwa. Beliau menyadari sejak ia berumur 4 (empat) tahun, beliau secara alamiah mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang wanita. 

Sebab, tidak ada seorangpun yang memaksa beliau untuk menjadi siapa sejak kecil, termasuk orang tua Merlyn yang selama ini tidak pernah mengarahkan dia untuk menjadi seorang laki-laki pada umumnya. Bahkan orang tua Bunda juga tidak memintanya untuk hanya menyukai lawan jenis karena menurutnya menyukai lawan jenis fenomena naluriah seseorang yang normal terjadi. 

Maka dari itu, Bunda Merlyn sedari kecil berusaha untuk menjadi dirinya sendiri terutama dalam hal berpikir dan bertindak. Menurut Bunda Merlyn, keadaan beliau yang secara fisik adalah seorang laki-laki dibalik jiwanya yang feminim, merupakan bukti bahwa Tuhan sedang berusaha menunjukkan kekuasaan dan kebesaran-Nya. 

Seperti Tuhan yang telah menciptakan seorang laki-laki dan wanita secara sempurna, baik secara mental maupun psikis, seseorang yang terlihat "berbeda" pun juga diciptakan Tuhan dengan tujuannya tersendiri. 

Perihal bagaimana masyarakat sekarang memandang beliau dan teman-temannya, mengingatkan Bunda Merlyn saat ia masih seorang remaja ketika beberapa tahun sebelum memasuki era orde baru. 

Menurutnya, dibandingkan dengan sekarang, perlakuan masyarakat dan lingkungan terhadap kaum marginal seperti LGBTQ+ jauh lebih buruk daripada sekarang. Buktinya, banyak bagian dari kelompok LGBTQ+ yang dipukuli dan bahkan dibakar sampai mati. Tindakan keji tersebut telah mencoreng HAM dan sangat mencederai sejarah kemanusiaan.

Selain itu, banyak kawan-kawan Bunda yang sering kali dilempari kotoran oleh sekelompok orang. Sehingga mereka merasa harga dirinya diinjak-injak hanya karena mereka terlihat berbeda bagi sekelompok orang tersebut. Namun, setelah beberapa tahun kemudian, jurang pemisah itu mulai tidak terlalu terasa walaupun mungkin kasus diskriminasi masih ditemukan di beberapa tempat. 

Dilihat dari sudut pandang historis, sebenarnya tidak ada suatu sumber yang mampu menentukan perbedaan yang jelas antara laki-laki dengan perempuan, atau dengan mereka yang kemudian dikenal transgender di lingkup masyarakat. 

Menurut Bunda, pengelompokan orang yang berbeda atau penyebutan kaum yang bukan heteroseksual seperti LGBTQ+-lah yang kemudian membuat jarak antara kaum heteroseksual dengan yang bukan menjadi semakin jelas. Baginya seharusnya hal seperti ini tidak perlu dilafalkan karena seharusnya seseorang dilihat sebagai seorang individu, tidak kemudian dikelompokkan dengan kriteria yang subjektif. 

Tidak berhenti pada perlakuan masyarakat yang melakukan tindakan kekerasan kepada kelompok LGBTQ+, pemberitaan di media sosial juga cenderung melebih-lebihkan stigma negatif terhadap kelompok LGBTQ+ dalam menggiring opini publik. Padahal pandangan publik tersebut sangat berperan penting terhadap eksistensi kelompok LGBTQ+. 

Oleh karenanya, menurut Bunda Merlyn, apabila diskriminasi yang diterima oleh kaum LGBTQ+ masih marak terjadi, tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu faktornya adalah perilaku diskriminatif media melalui media sosial.

Pada tahun 2018, Bunda Merlyn sempat diundang ke program acara Indonesia Lawyers Club yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun TV terkenal. Program acara saat itu mengangkat topik tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang secara spesifik membahas perihal perluasan pasal yang mengatur tentang perzinaan dan tindak kriminal kelompok LGBTQ+

. Dalam program acara itu, Bunda menyatakan ketidaksetujuannya mengenai perluasan pasal dalam RUU KUHP tersebut. Bunda menyatakan bahwa tidak semua individu dalam kelompok LGBTQ+ dapat disamaratakan sebagai pelaku tindak pidana. 

Beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya dia percaya bahwa sangat banyak orang yang peduli terhadap kaum minoritas misalnya kelompok LGBTQ+. Namun, sayangnya sikap memperjuangkan hak-hak minoritas tidak semudah itu. Pada perjalanannya, kita menemui hambatan untuk menyuarakan pendapat atau opini misalnya karena terbentur oleh sistem yang ada. 

Atau apabila seseorang mencoba untuk bersuara, maka timbul kemungkinan seseorang itu tidak dapat hidup secara tenang karena terseret ke dalam sikap diskriminatif oleh masyarakat. Sehingga beberapa orang memilih untuk tetap berada di zona amannya sebab beberapa orang itu tidak memiliki privilege yang cukup sehingga untuk bersuara pun belum tentu sanggup.

Oleh karenanya, atas alasan bahwa Bunda Merlyn terlahir dengan privilege yang cukup, disinilah beliau berada. Berusaha memperjuangkan hak-hak minoritas dengan membuka yayasan dengan tujuan untuk memberdayakan potensi dalam diri banyak orang. Serta tidak terbatas hanya untuk mereka yang merupakan bagian dari kelompok LGBTQ+ tetapi terbuka pula bagi mereka yang membutuhkan tempat untuk belajar serta mengembangkan potensinya walaupun memiliki keterbatasan finansial.

Bunda Merlyn mengatakan bahwa kita tidak bisa dengan mudah mengubah stigma masyarakat terhadap kelompok LGBTQ+ yang telah mengakar selama lebih dari puluhan tahun, terutama dari pemberitaan di media sosial. 

Beliau juga sangat menghormati bahwa akan ada selalu seseorang yang memiliki pendapat yang berseberangan, yang jelas tidak dapat disamaratakan dengan pandangan yang kita inginkan. Komentar negatif tersebut bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dikendalikan. 

Sebagai seorang transpuan, sikap yang bisa Bunda Merlyn lakukan saat ini adalah tidak merasa malu dan takut saat menjadi dirinya sendiri.  Meskipun sempat merasakan masa-masa sulit ketika lingkungannya tidak bersahabat terhadap identitas Bunda Merlyn, beliau selalu bangga dan tidak pernah mengeluh sedikit pun terhadap identitas yang beliau miliki. 

Bunda berharap kepada mahasiswa yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa, agar dapat belajar dengan tidak sebatas apa yang diajarkan oleh dosen ataupun bahan bacaan. 

Melainkan mahasiswa juga sepatutnya mempelajari pengalaman, peristiwa, dan hal-hal lainnya yang didapat langsung dari realita kehidupan sekitar. Sikap tersebut berguna untuk menyadarkan kita bahwa pada hakikatnya setiap insan akan memiliki perbedaan baik karakteristik maupun pandangan dengan yang lainnya. 

Supaya kita dapat mampu menghormati perbedaan itu, maka kita harus menjadi individu yang mampu memanusiakan manusia lain dengan menggunakan segenap hati dan nurani yang dimiliki. Sehingga tidak terulang lagi kejadian-kejadian pahit yang dialami oleh kaum minoritas yang menyebabkan tercederainya kemanusiaan sebagaimana yang dirasakan oleh Bunda Merlyn. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun