Selain itu, banyak kawan-kawan Bunda yang sering kali dilempari kotoran oleh sekelompok orang. Sehingga mereka merasa harga dirinya diinjak-injak hanya karena mereka terlihat berbeda bagi sekelompok orang tersebut. Namun, setelah beberapa tahun kemudian, jurang pemisah itu mulai tidak terlalu terasa walaupun mungkin kasus diskriminasi masih ditemukan di beberapa tempat.Â
Dilihat dari sudut pandang historis, sebenarnya tidak ada suatu sumber yang mampu menentukan perbedaan yang jelas antara laki-laki dengan perempuan, atau dengan mereka yang kemudian dikenal transgender di lingkup masyarakat.Â
Menurut Bunda, pengelompokan orang yang berbeda atau penyebutan kaum yang bukan heteroseksual seperti LGBTQ+-lah yang kemudian membuat jarak antara kaum heteroseksual dengan yang bukan menjadi semakin jelas. Baginya seharusnya hal seperti ini tidak perlu dilafalkan karena seharusnya seseorang dilihat sebagai seorang individu, tidak kemudian dikelompokkan dengan kriteria yang subjektif.Â
Tidak berhenti pada perlakuan masyarakat yang melakukan tindakan kekerasan kepada kelompok LGBTQ+, pemberitaan di media sosial juga cenderung melebih-lebihkan stigma negatif terhadap kelompok LGBTQ+ dalam menggiring opini publik. Padahal pandangan publik tersebut sangat berperan penting terhadap eksistensi kelompok LGBTQ+.Â
Oleh karenanya, menurut Bunda Merlyn, apabila diskriminasi yang diterima oleh kaum LGBTQ+ masih marak terjadi, tidak bisa dimungkiri bahwa salah satu faktornya adalah perilaku diskriminatif media melalui media sosial.
Pada tahun 2018, Bunda Merlyn sempat diundang ke program acara Indonesia Lawyers Club yang diselenggarakan oleh salah satu stasiun TV terkenal. Program acara saat itu mengangkat topik tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang secara spesifik membahas perihal perluasan pasal yang mengatur tentang perzinaan dan tindak kriminal kelompok LGBTQ+
. Dalam program acara itu, Bunda menyatakan ketidaksetujuannya mengenai perluasan pasal dalam RUU KUHP tersebut. Bunda menyatakan bahwa tidak semua individu dalam kelompok LGBTQ+ dapat disamaratakan sebagai pelaku tindak pidana.Â
Beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya dia percaya bahwa sangat banyak orang yang peduli terhadap kaum minoritas misalnya kelompok LGBTQ+. Namun, sayangnya sikap memperjuangkan hak-hak minoritas tidak semudah itu. Pada perjalanannya, kita menemui hambatan untuk menyuarakan pendapat atau opini misalnya karena terbentur oleh sistem yang ada.Â
Atau apabila seseorang mencoba untuk bersuara, maka timbul kemungkinan seseorang itu tidak dapat hidup secara tenang karena terseret ke dalam sikap diskriminatif oleh masyarakat. Sehingga beberapa orang memilih untuk tetap berada di zona amannya sebab beberapa orang itu tidak memiliki privilege yang cukup sehingga untuk bersuara pun belum tentu sanggup.
Oleh karenanya, atas alasan bahwa Bunda Merlyn terlahir dengan privilege yang cukup, disinilah beliau berada. Berusaha memperjuangkan hak-hak minoritas dengan membuka yayasan dengan tujuan untuk memberdayakan potensi dalam diri banyak orang. Serta tidak terbatas hanya untuk mereka yang merupakan bagian dari kelompok LGBTQ+ tetapi terbuka pula bagi mereka yang membutuhkan tempat untuk belajar serta mengembangkan potensinya walaupun memiliki keterbatasan finansial.
Bunda Merlyn mengatakan bahwa kita tidak bisa dengan mudah mengubah stigma masyarakat terhadap kelompok LGBTQ+ yang telah mengakar selama lebih dari puluhan tahun, terutama dari pemberitaan di media sosial.Â