Program Vaksinasi Covid-19 di Indonesia sudah mulai dilakukan oleh pemerintah sejak awal tahun 2021. Mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/ Menkes/12758/2020 tentang Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19, setidaknya terdapat tujuh jenis vaksin Covid-19 yang digunakan di Indonesia, yaitu Vaksin Sinovac, PT Bio Farma, Novavax, AstraZeneca, Pfizer, Moderna, dan Sinopharm.
Sampai saat ini, sudah lebih dari 34 juta rakyat Indonesia yang menerima vaksinasi secara lengkap. Namun, masih terdapat sebuah kendala terkait vaksinasi di Indonesia yang menjadi perbincangan khalayak umum, yakni mengenai urusan administrasi yang dianggap beberapa pihak terlalu ‘ribet dan kaku’. Akhirnya timbul pertanyaan, seberapa penting peran data administrasi dalam proses vaksinasi?
Administrasi Vaksin Ribet?
Ketua Umum Palang Merah Indonesia, Jusuf Kalla, sebelumnya memberikan kritik kepada Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin perihal proses administrasi vaksinasi Covid-19 yang di nilainya rumit. JK menyarankan agar proses administrasi saat pelaksanaan vaksinasi ini bisa dipermudah dengan cukup membawa kartu identitas dan langsung disuntik, berbeda dengan praktik di Indonesia, dimana kita perlu melakukan pendaftaran secara online, diperiksa, direkap, lalu baru dipanggil (Detiknews, 2021).
Lebih lanjut, JK berpendapat bahwa berbeda dengan pembagian sembako, tidak ada orang yang mau disuntik dua kali dalam satu hari. Oleh karena itu, tidak diperlukan verifikasi berlebihan ketika ingin melakukan vaksinasi (Detiknews, 2021).
Selain itu, terdapat juga permasalahan lain dalam urusan administrasi. Salah satunya, dialami oleh Mbak Anies, seorang asisten rumah tangga yang bertempat tinggal Jakarta Barat yang memiliki KTP berdomisili Tegal dan kebetulan belum diperbaharui menjadi e-KTP. Kendala ini membuatnya tidak dapat mendapatkan vaksin dengan alasan bahwa KTP yang ia miliki belum diubah menjadi e-KTP, sehingga Nomor Induk Kependudukannya (NIK) tidak tercatat dalam sistem.
Ketika bertanya dengan petugas vaksin di wilayah Jakarta Barat, terdapat solusi yang diberikan oleh petugas setempat adalah untuk Mbak Anies pulang ke Tegal dan menyelesaikan permasalahan administratifnya agar mendapatkan vaksinasi. Namun sayangnya, solusi yang diberikan oleh petugas vaksin tersebut justru mendatangkan masalah baru. Pasalnya, bila Mbak Anies harus pulang ke Tegal, dibutuhkan sertifikat vaksin guna menaiki kendaraan umum sebagai transportasi mobilitas dari Jakarta. Hal ini tentunya menimbulkan sebuah tumpang tindih masalah administratif vaksinasi di Indonesia.
Melihat kedua kasus ini, terlihat bahwa dalam pelaksanaan vaksinasi terdapat sebuah unsur yang menjadi perhatian utama pemerintah, yakni data administratif. Hal ini membuat kami menjadi penasaran, sebenarnya seberapa penting sih data administratif dalam pelaksanaan vaksinasi dan apakah permasalahan data administratif dapat membuat seseorang tidak mendapatkan vaksinasi?
Apa itu Data Administrasi?
Untuk memahami konteks mengenai data administrasi, kami memutuskan untuk menanyakan langsung kepada Dr. Harsanto Nursadi, S.H., M.Si. selaku dosen dan ahli hukum administrasi negara di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Harsanto menjelaskan bahwa banyak sekali orang yang menyepelekan urusan administrasi negara karena dianggap ribet dan kaku. Padahal, lanjut beliau, aktivitas administratif itu sangat mempengaruhi keseluruhan hidup kita.
Beliau memaparkan lebih lanjut perihal pentingnya urusan administratif di Indonesia. Contohnya saja, mulai dari kita lahir dan keluar dari rumah sakit, kita akan membuat akta kelahiran. Akta inilah yang akan menjadi titik awal aktivitas administratif kita. Bayangkan saja jika kita tidak memiliki akta kelahiran, mungkin saja kita tidak dapat mendaftar untuk menjadi murid di Taman Kanak-Kanak karena kebanyakan sekolah sekarang akan meminta akta sebagai data administrasi calon muridnya.
“Okelah jika tidak masuk ke TK dan memilih untuk homeschooling agar tidak perlu menyerahkan akta, namun permasalahan yang sama akan datang ketika ingin mendaftar SD, SMP, SMA dan bahkan ketika nanti ingin menikah. Permasalahan ini akan timbul hanya karena seseorang tidak mengurus data administrasinya dengan baik.” Lanjut Harsanto.
Oleh karena itu, beliau menegaskan bahwa urusan administrasi, khususnya NIK sudah mutlak sifatnya dan akan mempengaruhi seluruh kehidupan kita. Selanjutnya mengenai urgensi dari data administrasi ini dalam pelaksanaan vaksinasi, Harsanto menambahkan bahwasannya Indonesia memiliki jumlah penduduk diatas 250 juta jiwa yang perlu untuk divaksinasi sedangkan Indonesia belum mampu untuk memproduksi vaksin sendiri sehingga harus memesan dari luar negeri.
Akibat dari ketimpangan ini adalah pemerintah perlu dengan seksama memastikan bahwa distribusi vaksin dilakukan dengan baik. Satu-satunya cara untuk melakukan hal ini adalah dengan melakukan verifikasi data administrasi saat proses vaksinasi. Hal ini dilakukan juga agar tidak ada oknum yang secara sengaja mengambil vaksin lebih dari ketentuan, yaitu dua dosis. Selain itu, hal ini dilakukan juga untuk memastikan agar hanya warga negara Indonesia yang mendapatkan vaksin karena sejauh ini pemerintah belum menyediakan vaksin untuk warga negara asing.
Keadilan Administratif dalam Pelaksanaan Vaksinasi
Selanjutnya, Harsanto menjelaskan kepada kami mengenai konsep administrative justice. Pada dasarnya administrasi sendiri memiliki proses yang sangat panjang dari input hingga outcome. Jika penduduk tertib dalam melakukan administrasi tersebut, salah satunya dengan mendaftarkan NIK, maka secara hukum sudah dipastikan bahwa ia akan mendapatkan seluruh jaminan administrasi dalam kehidupannya—terlepas hambatan dalam praktiknya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pendaftaran NIK merupakan sebuah administrative justice yang lahir dari tindakan administrasi itu sendiri. Dengan memiliki NIK, penduduk dapat dengan leluasa membuat KTP, mendaftar sekolah, mendapatkan bantuan sosial, serta kemudahan lainnya dalam hal yang membutuhkan data administratif.
Bila berkaca pada kasus Mbak Anies, perlu ada pemecahan lain dalam masalah kealpaan dalam kepemilikan NIK dengan vaksinasi. Jika Mbak Anies yang tidak memiliki NIK tetap melaksanakan vaksinasi, ditinjau dari tiga fungsi hukum, yakni keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, sudah dipastikan menimbulkan sebuah kemanfaatan. Namun apakah keadilan dan kepastian sudah tercapai? Keadilan dan kepastian akan sulit tercapai sebab terdapat suatu kondisi di mana Mbak Anies abai dengan administrasinya. Hal ini akhirnya yang menjadi benang merah bahwa keadilan dan kepastian administratif atau administrative justice dalam vaksinasi hanya akan didapatkan jika penduduk tidak abai akan fungsi administrasinya.
Harsanto kemudian memberikan pandangannya mengenai jalan keluar yang dapat diambil. Beliau berpendapat bahwa memang seyogyanya pengurusan catatan sipil ini dapat di sentralisasi di Jakarta oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Dengan demikian, maka permasalahan seperti yang dialami oleh Mbak Anies dapat diselesaikan di Ibukota Negara tanpa perlu pulang ke kampung. Kendati demikian, masih diperlukan pertimbangan yang matang jika ingin mengambil kebijakan ini karena akan berdampak kepada banyak sektor.
Kesimpulan
Pada intinya, sebenarnya negara tentu saja ingin melayani rakyat dengan sebaik-baiknya. Namun, sebagaimana jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyak, tentu saja pemerintah akan kesulitan jika tidak menggunakan sistem administrasi yang baik dan terintegrasi di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, e-KTP dan NIK menjadi hal yang sangat penting dan harus diperhatikan oleh setiap orang. Ketika kita dengan baik menaruh perhatian kepada urusan administrasi, pastinya kita akan mendapatkan layanan dan bantuan dari negara. Sebaliknya, jika kita abai dengan urusan administrasi, kita akan kesulitan untuk memperoleh layanan ini. Hal inilah yang dinamakan dengan konsep administrative justice.
Oleh karena itu, membahas kasus Mbak Anies, jalan keluar yang bisa diambil adalah dengan menunggu kebijakan PPKM sudah dilonggarkan sehingga dapat kembali ke kampung untuk memperbaiki data administrasi-nya. Selain itu, kami juga mendapatkan informasi bahwasannya Mbak Anies dapat mendapatkan vaksin dengan membuat surat keterangan domisili dari RT setempat. Namun, ternyata RT setempat tidak pernah muncul dan melayani warga setempat sehingga surat keterangan domisili tidak dapat keluar. Kasus ini membenarkan pernyataan Harsanto di awal, bahwa kita tidak boleh meremehkan urusan administrasi karena sangat berdampak kepada kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H