Mohon tunggu...
Lewi Ronauli Sianturi
Lewi Ronauli Sianturi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Gegar Budaya Masyarakat Batak Di Cikarang

6 Januari 2025   17:15 Diperbarui: 6 Januari 2025   17:01 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

By: Lewi Ronauli Sianturi

   Hidup di perantauan tidak selalu mudah, terutama bagi masyarakat Batak yang tinggal di kota seperti Cikarang. Kehidupan kota yang sibuk, makanan yang berbeda, hingga adat istiadat yang bertolak belakang dengan budaya Batak menjadi tantangan tersendiri. Namun, di balik itu, terdapat beberapa orang batak yang memiliki usaha untuk tetap mempertahankan identitas budaya dan tradisi di tengah modernitas.

Cikarang 
Cikarang 

 Santi Marbun, seorang perantau asal Sumatera Utara, dia berumur 23 tahun dan sudah menetap di sana sejak 2017. Ia berbagi kisah tentang bagaimana ia beradaptasi dengan lingkungan baru sambil tetap mempertahankan tradisi dan nilai-nilai budaya yang diwariskan. “Saya lebih sering masak sendiri,” ujar Santi. Makanan khas Batak seperti mie gomak dan rendang babi, dll, sudah seperti jembatan yang menghubungkan hati dan kampung halaman. Walau bahan-bahannya sulit ditemukan, setiap rasa yang tercipta adalah kenangan yang menghidupkan kembali masa lalu. Namun, ia mengakui bahwa mencari bahan khas seperti andaliman tidaklah mudah. Ketika stok bahan habis, ia harus mengolah bumbu makanan yang diracik  agar memiliki cita rasa yang khas walau dengan bahan pengganti seperti, cabai rawit dan lada untuk menghadirkan rasa pedas di lidah. Selain soal makanan, Santi juga merasakan perbedaan dalam adat istiadat. “Di Batak, pernikahan itu penuh ritual adat. Kalau di sini, lebih sederhana, cukup resepsi,” jelasnya. Namun, ia merasa adat Batak memiliki kekayaan yang hidup, yang membuatnya tetap ingin menikah dengan sesama orang Batak agar tradisi terus terjaga. Meski demikian, hidup di Cikarang memberikan pengalaman baru. Dalam lingkungan kerja, ia belajar beradaptasi dengan gaya komunikasi yang berbeda. “Awalnya sulit karena logat saya dianggap lucu, tapi lama-lama saya mulai terbiasa,” katanya. Namun, ia juga mengungkapkan bahwa disekitarnya solidaritas komunitas Batak di perantauan mulai memudar. Melalui masakan, tradisi, dan cara hidup, Santi berusaha menjaga identitas Bataknya di tengah perubahan.

Kisah Santi ini mencerminkan perjuangan dia dalam beradaptasi dikota Cikarang ini.Tidak hanya Santi, pengalaman serupa juga dirasakan oleh Paulus David dan Yuliana Sinambela, yang menghadapi tantangan Culture Shock yang serupa dalam beradaptasi di Cikarang.

Paulus David, adalah seorang warga Batak yang tinggal di Cikarang selama 20 tahun, mengungkapkan bahwa perbedaan budaya sangat terasa. "Budaya Sunda itu lebih santai, apalagi soal makanan. Saya suka lalapan, tapi tetap lebih kangen sama saksang dan makanan khas Batak lainnya," ujarnya. Yuliana Sinambela, warga Batak lainnya, menambahkan, "Di sini, makanannya lebih manis, jadi kadang sulit beradaptasi. Solusinya, ya masak sendiri makanan khas Batak seperti arsik." Keduanya memiliki pengalaman yang sama dalam menghadapi perbedaan ini. begitu pula dengan perbedaan komunikasi, juga menjadi tantangan tersendiri bagi mereka. Bapak David berbagi cerita, "Waktu saya balik kampung dan pakai bahasa gaul Jakarta, saya malah dikatain jangan pakai bahasa koran. Tapi di Cikarang, saya harus menyesuaikan dan menghindari logat Batak supaya mudah diterima." Yuliana, yang berasal dari Bangka sebelum ke Cikarang, merasa perbedaan komunikasi tidak terlalu sulit karena sudah terbiasa dengan bahasa Indonesia sehari-hari.

Dalam Adat Batak, terutama dalam pernikahan, sering kali menjadi tantangan di perantauan. Yuliana menjelaskan bahwa pernikahan adat Batak harus dilakukan secara meriah dan lengkap agar diakui secara adat. "Kalau pernikahan tidak memakai adat, nenek moyang kami tidak akan mengesahkan pernikahan itu," katanya. Pak David, yang belum melaksanakan pernikahan adat, mengaku terkendala biaya. "Adat Batak itu biayanya besar. Kalau belum terkumpul, saya belum bisa melaksanakannya. Tapi nanti kalau sudah cukup, pasti saya lakukan," ungkapnya.

Dalam rintangan yang mereka hadapi, mereka memiliki solusi dan hadapan. Kehidupan di Cikarang memberikan banyak pelajaran bagi masyarakat Batak. Dari bekerja, menikah, hingga menjaga tradisi, semuanya membutuhkan adaptasi dan kompromi. "Yang penting, kita tetap ingat akar budaya kita. Walaupun sulit, tradisi itu harus dijaga," ujar Yuliana. Melalui tantangan ini, masyarakat Batak di Cikarang tidak hanya belajar menyesuaikan diri, tetapi juga menjaga tradisi mereka tetap hidup di tengah modernitas kota.

Meskipun menghadapi banyak perbedaan budaya, bagi masyarakat Batak di Cikarang, menjaga tradisi bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang merayakan identitas mereka. Walaupun terkadang merasa terkejut dan kesulitan beradaptasi dengan kebiasaan baru, mereka tetap berusaha untuk menjaga akar budaya mereka, menghadapi culture shock, dan menemukan cara agar tetap menjadi diri sendiri di tengah.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun