“Kenapa sih?”
Terlalu banyak jawaban untuk pertanyaan sesingkat itu, yang keluar dari mulut Ikal, kekasihku. Aku sendiri ga tau harus mulai dari kata apa, kalimat apa yang nantinya bisa membuat Ikal mengerti apa yang sedang menggumuli pikiranku dan membuat resah perasaanku.
“Ada yang salah?”
Ada, banyak. Ada begitu banyak yang salah dalam kehidupan ini. Tentang aku, kamu, kita.
Banyak Ikal, sangat banyak.
“Ngomong dong. Buat apa kita ketemu kalo dari tadi kamu cuman liatin aku doang”
Mimik wajah Ikal sudah semakin tidak nyaman untuk dilihat.
“Kamu ga ngerti” hanya kalimat itu yang saat ini berani untuk aku ucapkan.
“Apa yang mesti aku ngertiin dari diem-nya kamu?”
Haahhh, rasanya aku hanya ingin segera terlelap tidur saat ini dan bangun semauku ketika semuanya terlupakan dan akhirnya tak ada lagi yang harus dipermasalahkan.
Andai saja cinta dapat dimengerti tanpa harus dijelaskan, dapat dirasakan tanpa harus disampaikan, dapat selalu hadir tanpa tuntutan.
“Kan diem lagi” Ikal menggeleng-gelengkan kepalanya dan kemudian menutup wajahnya dengan kedua tangannya, menutup pemandangan yang selama ini selalu membuatku nyaman.
Aku sadar dan aku tau bahwa aku ga bisa terus-terusan diem kaya gini, aku harus bicara.
Kalung salib yang bergoyang manis dihadapan dadanya membuat perasaanku semakin tak tentu, namun membantuku untuk tau apa yang akan lebih dulu aku ucapkan.
Aku menarik kedua tangan Ikal yang menempel di wajahnya, kedua tangan kami saling bertemu dan dengan kuat aku menggenggam tangan yang selama ini menuntunku dengan lembut.
“Ikal aku sayang kamu, aku juga sayang keluargaku” ucapan yang aku keluarkan membuat Ikal terlihat langsung mengerti maksudku ke mana. Tanpa melepas genggamanku aku terus menatap Ikal yang juga menatapku. “Aku udah sering kan bilang sama kamu kalo aku takut, Ikal” betapa beraninya sekarang aku bicara. “Aku takut kalo sosialisasi aku sama keluargaku berantakan, aku takut papah marah dan ngomong yang ga karuan, aku takut mamah harus disalahkan.” Kini Ikal yang diam dan justru aku lebih banyak bicara, tapi kalimat-kalimat sialan itu menyerang dan membobol pintu yang sudah lama aku kunci ini.
“Aku juga udah pernah minta bantuan kamu buat lawan rasa takut itu, tapi kamu sama sekali ga ngelakuin apa-apa” semakin terasa kalimat yang keluar dari mulutku semakin kejam. “Tapi aku ngerti, aku sendiri ga tau harus ngelakuin apa, mungkin karna kita terlalu nyaman, mungkin karna kita terlalu senang” air mata mulai keluar dari mataku.
Aku sangat benci dengan sifat duniawi dan kehidupan yang membuat cinta terasa sulit. Adakah yang dapat membuat mereka mengerti bahwa mereka telah menjadi terjal bagi kami, bahwa mereka telah menjadi air yang mengalir sangat deras bagi kami. Adakah yang dapat membuat mereka mengerti bahwa cinta ini milik kami. Adakah?
Adakah yang bisa membuat mereka mengerti apa yang sedang kami rasakan, apa yang kami inginkan, apa yang menjadi niat kami. Adakah?
Adakah yang bisa membuat mereka mengerti bahwa hal yang sangat teramat sulit untuk melepas kenyamanan, kebahagian, kasih sayang. Adakah?
Adakah yang bisa membuat semuanya paham bahwa kami butuh bahagia tanpa harus sepaham dengan logika dan realita. Adakah?
“Ica. Bisa ga kita lupain ini, jangan bahas ini, kita seneng-seneng kaya biasanya”
Kami sama-sama ada pada titik egois, pada titik sama-sama tak tau harus melakukan apa mengenai masalah ini. Aku juga inginnya begitu Ikal. Aku menangis lagi sambil menundukan kepalaku dan menutup wajahku dengan kedua tanganku. Dapat kurasakan tangan hangat yang sangat kukenal ini mengelus lembut kepalaku yang berkerudung ini.
Bimbang. Aku sama sekali tak mau melepas Ikal, aku juga tak mau jika harus disudutkan. Tapi sungguh aku tak mau mengakhiri kebersamaanku dengan Ikal, aku tak mau karna aku tau, aku ga akan pernah bisa nemuin Ikal di tubuh yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H