Lelaki itu mengecupkan kedua bibirnya satu sama lain.
Begitu istrinya memutuskan sambungan, ia langsung menekan tombol bicara yang meng-hubungkannya dengan sekretarisnya.
"Saya, Pak?"
"Laksmi, kita enggak jadi makan siang bareng. Bagaimana kalau makan malam? Atau, kamu sudah ada janji?"
"Tidak, Pak. Tidak ada janji."
"Okey, aku pesankan taksi buat menjemput kamu pukul tujuh nanti. Kita ketemu di tempat biasa."
Lalu lelaki itu kembali menulis.
KEKASIHKU, perempuanku, cintaku,
Rupanya aku telah menabung kesepian sejak kita berlpisah 30 tahun yang lalu. Sejak kau pergi dari sisiku dan aku pergi dari sisimu, tak ada apa atau siapa yang bisa membantuku melawan kesendirian. Beberapa tahun kemudian aku memang menikah. Mulanya aku mengira rumah tangga adalah sorga, seperti keluarga kakek-nenek kita di desa dulu. Tapi lama-lama aku tahu, di kota macam ini pernikahan adalah jalan kecil dan licin di antara sorga dan neraka menuju ke entah. Jika tergelincir, kita segera jatuh ke neraka. Maka aku mencari apa pun atau siapa pun yang bisa mengalahkan kesepianku di mana saja: pub-pub, kamar-kamar hotel, taman-taman kota. Dan, kau tahu, tak ada.
Begitulah, sampai hari ini aku masih mencari, bahkan ke dalam mimpi. Tapi mimpi-mimpiku selalu hanya berupa sisa-sisa catatan seorang wartawan yang tak sempat dipublikasikan: detil data tentang konspirasi di balik kerusuhan-kerusuhan, caci-maki seorang kiyai, perkawinan gelap seorang menteri, pengakuan gadis keturunan yang diperkosa delapan ten.... Ya, seperti itulah mimpi-mimpiku. Hal-ihwal yang sangat bagus dan berarti bagi seorang wartawan, tapi yang bagiku sekarang sungguh-sungguh memuakkan. Barangkali sudah waktunya aku pensiun. Aku ingin menulis perkara-perkara yang sederhana. Aku akan menulis bagaimana alam mengatur letak batu-batu di sungai kecil di desa sehingga gemericik air itu begitu enak di telinga dan riak-riaknya begitu sedap di mata. Aku akan menulis tentang prasangka jangan-jangan warna laut yang coklat kehitam-hitaman di pantai-pantai kota kita dapat menimbulkan persepsi estetis baru, sensasi baru. Dan tentu saja aku akan menulis puisi seperti dulu, mencuri-curi sisa-sisa aksara yang belum ternoda.
LELAKI itu berhenti menulis. Diteguknya kopi yang mulai dingin pada cangkir keramik biru abu-abu itu. Disulutnya sebatang rokok. Lalu tangannya meraih remote-control dan menyalakan televisi. Gambar-gambar bergerak di depan layar kaca itu: film India. Ia mendengus. Dari mulutnya keluar semacam umpatan dengan suara yang tak teramat jelas, "Huh, pagi-pagi sudah film India."
Hampir saja ia mematikan televisi itu ketika di layar seorang perempuan membuka pintu kamar pelan-pelan. Paras perempuan India itu, juga caranya membuka pintu, mengingatkannya pada seseorang.
Setelah gambar berganti, ia baru menekan tombol power-off pada remote-control di tangan kirinya. Memori otaknya bekerja membuka file dengan nama tempat dan tanggal: New Delhi, 25 Desember 1995. Ia, bersama seorang perempuan muda asal Pakistan, berbicara di sebuah simposium tentang Jurnalisme dan Feminisme. Lalu di antara mereka terjadi per-kenalan. Lalu semacam keintiman. File-file lain pun terbuka dan tertutup silih berganti di benaknya, tentang pertemuan-pertemuan, tetapi bukan simposium.