Hari itu, Ignasius harus bergegas kembali ke pedalaman Asmat, tepatnya di suatu kampung terpencil yang bernama Er. Sebuah kampung kecil di tengah pedalaman hutan Asmat.Â
Sebuah kampung yang menjadi alasan dan saksi setiap perjuangan Ignasius bersama istri dan empat orang temannya. Perjuangan untuk menegakkan kedaulatan pangan bagi penduduk pedalaman di sebuah tempat terpencil di bumi cendrawasih ini.
Hari itu adalah hari yang tak akan dilupakannya, menjadi hari dimana dia harus rela berpisah untuk sementara waktu lamanya dengan orang yang sangat dia sayangi.Â
Ignasius baru saja mengantarkan istri dan anak semata wayangnya yang baru berusia 8 bulan itu untuk pulang ke kampung halaman istri tercintanya jauh dari tanah Papua ke Sumatera Utara, setelah sekian lama sang istri menemani dia dalam perjuangan menjadi pahlawan pangan dan juga pahlawan gizi ditengah pedalaman Suku Asmat.
Istri Ignasius Bria yang bernama Elsita Sinaga harus berpisah sementara waktu dengan sang suami setelah hampir 2 tahun menemani suami tercinta menjadi volunteer pertanian di pedalaman Asmat.Â
Sampai tulisan ini ditulis, hampir 4 tahun sudah pria berhati mulia ini berketetapan mengikuti panggilan hati menjadi volunteer pertanian di pedalaman Asmat, Papua.Â
Semua orang tahu bahwa tanah Papua adalah tanah yang kaya. Namun tak banyak yang tahu, bahwa di kampung ini, untuk mencari makan saja mereka harus mencarinya di hutan rimba.
Penyakit campak, malaria, busung lapar, dan gizi buruk menjadi ancaman bagi anak-anak yang tinggal di pedalaman hutan Asmat ini.Â
Tidak pernah terlupakan oleh Ignasius, ketika ditahun 2018 yang silam, di harus menyaksikan sendiri ratusan anak-anak meninggal dunia akibat campak, malaria, busung lapar dan gizi buruk.