Dapat dibayangkan beta riuhnya rumah dalam usia - usia pertumbuhan karena kami berjarak dekat antar satu saudara dengan yang lainnya. Tapi lebih hebohnya jika natal tiba dimana orangtua kami harus membeli baju baru atau istilah orang Ambon, beli baju natal.
Nah, karena kami berenam perempuan terkadang pakaian itu menjadi baju turunan, artinya baju sang kakak ketika sudah sesak ukurannya akan diwariskan ke adik dibawahnya demikian seterusnya hingga yang bungsu.
Ayah kami seorang sarjana muda pendidikan jasmani jebolan IKIP Surabaya dan sisa hidup diabadikan bagi pendidikan guru olahraga di Maluku. Pada masa mudanya menjadi seorang atlit. Selanjutnya menjadi pelatih/coach dari sejumlah cabang olahraga ( cabor) di Maluku. Akhirnya papie, biasanya kami panggil menjadi salah satu tokoh olahraga di Maluku dan selalu membawa kontingen Provinsi Maluku ke ajang Pekan Olahraga Nasional (PON) di berbagai kota di Indonesia.
Tak jarang kami sudah diarahkan sejak anak-anak untuk menjadi atlit dan kelak menjadi seorang olahragawan berprestasi. Disamping ada klub yang dibangun di rumah seperti Sasana Tinju Amaci (Air Mata Cina), juga ada Pelatihan Anggar dll.
Masih teringat beberapa nama yang sangat terekam dan hari ini ada di panggung politik dan Pemerintahan di Provinsi Maluku seperti alm. Evert Kermite (Mantan Anggota DPRD Maluku dari PDIP ) juga Abraham Malioi ( Mantan Anggota DPRD Maluku dari Golkar) , Lutfi Mual, Daan Talanila mereka adalah petinju yang sempat dilatih papie di Sasana Tinju Amaci di Kompleks SPG Ambon tempat kami tinggal.
Dari kakak tertua hingga bungsu, sejak kecil kami sudah diarahkan untuk menekuni salah satu bidang olahraga prestasi. Sebagai seorang pelatih beliau tahu persis bagaimana karakter dan fisik tiap anak. Kakak tertua kami diarahkan ke atletik, satu-satunya saudara lelaki kami diarahkan berlatih anggar, dan saudara-saudara lainnya juga diarahkan untuk menekuni berbagai cabang olahraga, ada yang memilih tenis meja, berenang, sepeda balap dan basket.
Bagi penulis sendiri maka sejumlah cabang olahraga dicoba untuk ditemukan bakatnya oleh papie. Mulai dengan cabang atletik, hal ini pada masa remaja penulis berperawakan kurus, pikir papie cocok untuk pelari (sprinter). Namun tidak berapa lama, kelihatan penulis tidak memiliki minat dan daya tahan berlatih lari dalam panas di lapangan, cukup menantang!.
Merasa tidak cocok, selanjutnya papie memanggil pelatih pencak silat ke rumah untuk melatih secara privat. Masih ingat betul saat itu, Ros Likumahua adalah jebolan kejurnas silat yang merupakan salah salah satu murid Sekolah Guru Olahraga (SGO) binaannya. Pikir papie, silat sedikit soft dan ada estetika gerakannya, paling tidak saya bisa menyukai bahkan menekuni.
Ternyata bukan hal yang mudah karena silat termasuk kategori olahraga bela diri maka latihan terberat adalah latihan “kuda- kuda” ( kekuatan kaki). Dalam beladiri kita harus kokoh berdiri ketika bertanding dengan pijakan kaki yang kuat di lantai sehingga tidak dapat dirobohkan lawan.
Akh! kelihatannya latihan privat, kurang seru! menjelang SMA, kembali penulis berpindah minat ke olahraga basket kebetulan ada ekstra kurikuler di SMA Negeri 1 Ambon. Lebih ramai ada temannya , karena bermain dalam tim.
Saat itu penulis nekat melakukan latihan pada pagi hari jika bersekolah siang. Dan latihannya dilakukan di Lapangan Segitiga Merdeka ataupun sesekali di Lapangan Sekolah Tinggi Theologia (STT) Ambon di Tanah Lapang Kecil ( Talake).