Mutiara Kehidupan Keluarga #1 : "Berkat dan Bersyukur"
Kedua orang tua penulis adalah pendidik dan kami hidup dalam kesederhanaan dengan didikan yang penuh nilai-nilai leluhur, nilai agama dan budaya. Pada kenyataannya keberadaan orangtua penulis ternyata juga hidup dan mewarisi nilai-nilai pendahulunya yang juga mengandung nilai budaya dan agama.
Cara mendidik kedua orang tua bukan hanya melalui ucapan tetapi yang sangat membekas adalah tingkatan mengajar untuk mengerjakan berbagai hal dengan memberi contoh atau bahasa lainnya leading by example.
Pada bagian pertama tulisan berseri ini penulis mengangkat judul terkait dengan berkat dan bersyukur. Kata berkat atau sebutan lain berkah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki 4 pengertian yaitu : 1) karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia, 2) doa restu dan pengaruh baik (yang mendatangkan selamat dan bahagia) dari orang yang dihormati atau dianggap suci (keramat), seperti orang tua, guru, pemuka agama, 3) makanan dan sebagainya yang dibawa pulang sehabis kenduri, 4) mendatangkan kebaikan, bermanfaat; berkah.
Berkat dalam keyakinan kami di ajarkan dengan jelas dalam Ulangan 28: 1-14. Sebagai sebuah bentuk sikap hidup untuk merespon pemberian karunia Tuhan Yang Maha Kuasa, Sang Pencipta Alam Semesta dengan selalu bersyukur dalam segala hal begitupun dalam berbagai situasi dan kondisi.
Ada hal menarik yang sering di katakan mamie ( sapaan panggilan bagi ibu) pada kondisi tertentu dengan ucapan “berkat tu ana e”. Sebuah kalimat dalam dialek Ambon yang arti padanannya “berkat itu, anakku”.
Alkisah kami selalu berangkat sekolah dengan perut yang terisi, sesuai ajaran papie ( sebutan bagi ayah) sebagai seorang guru pendidikan jasmani bahwa ke sekolah harus dengan perut yang kenyang, sehingga dapat berkonsentrasi mengikuti pelajaran sepanjang hari. Hal ini cukup untuk mengganjal perut sehingga tidak perlu jajan di sekolah. Tidak ada aturan diberi uang jajan untuk di belanjakan di sekolah bagi setiap anak.
Apa sebenarnya menu di pagi hari sebelum ke sekolah?. Masih ingat betul setiap pagi tersaji roti 4 (empat) tangkap dan segelas susu di meja makan. Kami harus menghabiskan sebagai syarat kecukupan gisi empat sehat lima sempurna , tandas ayah kami.
Kebiasaan sarapan roti ini mengalami perubahan ketika penulis kuliah di Surabaya dimana cara sarapan di wilayah Jawa adalah dengan menyantap nasi diwaktu pagi.
Setelah jam sekolah usai maka kami bergegas pulang ke rumah. Yang teringat benar dalam benak penulis ketika tudung saji di meja makan diangkat untuk melihat menu makan siang, terkadang kurang selera dan langsung air muka mengkerut atau cemberut.