Sambil diterangkan oleh Patura (orangtua) Pdt. Alex Relmasira, "Bahwa dulu kami bersekolah di Layeni. Pulang sekolah kami harus berjalan sejauh ini dan dalam perjalanan ketika lapar dan haus kami berhenti dan memanjat kelapa, sambil makan kelapa muda tetapi juga kadang berenang."
Dapat dibayangkan kehidupan alamiah ketika tanpa kendaraan dan hingga hari inipun daya jangkau ke Layeni harus dengan speedboat. Kalaupun berjalan kaki sejauh 3 km dan bisa meyusur pantai air sepanjang pasir putih dari Mesa menuju Layeni.
Layeni termasuk kampung yang memiliki pantai pasir putih terpanjang. Tempat pertama yang diabadikan adalah lokasi pantainya dan juga gapura kampung.
Di depan kampung terdapat sebuah perigi atau sumur dan terdapat juga sebuah monumen yang tertulis "Pembawa injil Masuk Negeri Layaeni Pdt. Z Latuharhari tanggal 10 Desember 1893". Sesuai catatan sejarah Gereja Protestan Maluku (GPM) maka sehari sebelumnya injil masuk ke Mesa tanggal 9 Desember 1893.
Rombongan melanjutkan perjalanan memasuki kampung dan tampak rumah-rumah warga. Hunian atau rumah warga Layeni lebih banyak dari Kampung Mesa yang hanya memiliki 8 buah rumah.
Kami bertamu di Keluarga Tewernussa yang kebetulan juga sementara tinggal Kepala Pemerintahan Negeri (KPN) Layeni dari Waipia Yanes Tewernussa yang ikut menghadiri acara peresmian. Senangnya warga kampung ketika dikunjungi apalagi hal ini jarang terjadi. Setelah menyampaikan maksud kedatangan, berbincang-bincang sambil disuguhkan teh dan pisang goreng oleh tuan rumah.
Kemudian kami harus kembali karena langit tampak mendung, pertanda hujan dan memang mulai terasa rintik mengenai badan. Sebelum meninggalkan Layeni, penulis membuat beberapa dokumentasi sebagai kenangan yang dapat dibagikan bagi mereka yang merindukan tanah asal kampung kelahirannya.
Tampak dari kejauhan Gereja "Beth Eden" Layeni yang dibangun pada tahun 1958 masih digunakan untuk tempat peribadatan warga walaupun terlihat perlu adanya perbaikan.