Uplera Nortarita , Pulau dan Laut
Dalam budaya kehidupan masyarakat Pulau Teon Nila Serua Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku, kami mengenal istilah Uplera Nortarita. Apabila diartikan 2 suku kata ini, Uplera mengandung pengertian Sang Pencipta, Sang Khalik, Tuhan Yang Maha Kuasa. Sedangkan Nortarita berarti bersama kita. Sehingga kedua frasa ini, Uplera Nortarita mengandung pengertian Tuhan Sang Pencipta bersama kita dengan kuasa dan berkatNya, sehingga kita tidak perlu takut.
Berkat dari Tuhan ini berupa pemeliharaan, perlindungan Tuhan yang diberikan kepada ketiga pulau vulkanik dan berada di salah satu cincin api di wilayah Maluku. Dimana dalam pemahaman umum kondisi ketiga pulau sangat berbahaya. Demi kelangsungan hidup masyarakat di pulau maka patut disyukuri dalam berbagai upacara kegiatan keagamaan khususnya yang mayoritas Kristen. Untuk itu sesuatu yang direncanakan bersama, harus dimaknai sebagai ucapan syukur oleh setiap masyarakat dalam hidup setiap harinya.
Hidup bergantung pada Tuhan atau “Uplera” itulah hakiki masyarakat Teon Nila Serua (TNS) yang berdiam di atas 3 pulau tersebut.
Memaknai kebergantungan hidup pada Uplera, penulis bisa pahami ketika menghadiri Acara Peresmian Gereja Imanuel Mesa Pulau Teon pada bulan November 2021.
Sebenarnya rangkaian Kepulauan TNS terdiri dari 7 pulau dimana 3 diantaranya berpenghuni yaitu Pulau Teon, Pulau Nila, Pulau Serua, sedangkan sisanya Pulau Kekih Besar, Pulau Kekih Kecil, Pulau Kari dan Pulau “Atol” Nusafnu tidak berpenghuni.
Untuk ukuran di Peta Provinsi Maluku, pulau-pulau ini tampak setitik nohkta hitam - saking kecilnya. Sehingga dapat dibayangkan ketika berada di pulau-pulau vulkanik tersebut bagaikan berada di atas seonggok tanah pijakan kesunyian, jauh dari hiruk pikuk kota, di tengah laut dalam - hanya terdengar bunyi angin, deburan ombak dan siulan burung ataupun suara kodok diwaktu malam.
Yang menjadi tontonan dari darat ke laut, hanyalah lintasan kapal pencari ikan, kapal lainnya pada malam hari karena adanya cahaya lampu. Ataupun ketika kapal Sabuk Nusantara tiba dalam pelayaran perintisnya dengan rute Serua-Nila- Teon. Pada siang hari terlihat aktivitas warga kampung nelayan mencari ikan atau mandi berenang dan kegiatan lainnya.
Menurut sumber wikipedia.org maka pulau berpenghuni terluas yaitu Pulau Nila seluas 20,54 km2 disusul Pulau Teon seluas 14.18 km2 dan paling terkecil yaitu Pulau Serua seluas 6.52 km2.
Semula visi yang terbangun melalui rangkaian acara ini tertuang dalam sebuah spanduk diawal tulisan “ Creating the future From Mesa to Indonesia”. Sebuah gerakan kebangkitan yang dalam tutur orang Maluku mengatakan “kalau bukan katong sapa lae yang mo bangun ini Maluku” (kalau bukan kita, siapa lagi yang mau bangun ini Maluku!)
Dalam prespektif ini maka penulis boleh berbangga, lagu Himne “Sio TNS Tanah Airku” yang dicipta oleh almarhum Joro Tewernussa, tampak jelas motivasi “membela nusa dan bangsa sekalipun dirantai dibunuh” sudah dipahami sejak puluhan tahun sebagai warisan para orang tua TNS. Jangan tanya bela negara bagi masyarakat TNS.
Mungkin ada baiknya penulis membagikan syair lagu ini pada bagian penutup tulisan bersambung. Lagu ini telah diangkat menjadi Himne Organisasi Kemasyarakatan Perkumpulan Keluarga Besar Teon Nila Serua yang selanjutnya di singkat IKB TNS dengan Nomor SK. Kemenkumham RI : AHU-0007230.AH.01.07 Tahun 2017 tanggal 28 April 2017. Lagu ini dinyanyikan pada saat peresmian Gereja Imanuel Mesa maupun dalam acara Pemberkatan Laut dan Darat yang akan diceritakan dibawah ini.
Sumber : kanal You Tube BPW IKB TNS Provinsi DKI Jakarta
Lagu : "SIO TNS TANAH AIRKU "( Ciptaan Joro Tewernussa)
- Sio TNS, tanah airku
- Yang kupuja pada siang dan malam
- Karena engkau ku sengsara
- Meninggalkan ibu bapa saudara
- Biar dirantai dibunuh
- Beta t’ra lupa sejarahmu
- Kuserahkan tenagaku
- Untuk membela nusa dan bangsaku.
Pemberkatan Laut dan Darat
Sore itu semua masyarakat memasuki arena di tepi pantai yang telah dihiasi umbul-umbul dan lainnya. Di bagian tengah arena dipasang 3 obor serta 1 obor utama yang akan dinyalakan oleh Pendeta Jemaat GPM Mesa Febby Picaulima.
Semua warga masyarakat di pulau bersama tamu yang datang dari Kampung Layeni dan Kampung Isu dengan khidmat, siap untuk berbakti dan menyembah Sang Uplera.
Masyarakat membentuk barisan huruf “U” ke arah laut dan mulailah ritual peribadatan. Bersama-sama hadir 5 orang pendeta dengan menggunakan toga ( pakaian hitam kependetaan) yaitu Pdt. Febby Picaulima, S.Si - Pimpinan Harian Majelis Jemaat Gereja Protestan Maluku Mesa (PHM GPM Mesa), Pdt. Em. Drs. Alexander Relmasira, MSi (GPM), Pdt. Maryon Hukom – Gereja Pentakosta Di Indonesia Mesa ( GPDI Mesa ), Pdt. Oscar Yalmaf, STh - Gereja Kristen Reformasi Indonesia Mesa (GKRIA Mesa) dan Pdt. Decky Wurlianty ( LPMI).
Penulis mengikuti satu per satu agenda acara dimana memberi suasana hati dan diri yang merinding. Sambil bertanya dalam hati, mengapa alam yang begitu kaya tetapi kemiskinan terus melilit masyarakat dan jikalau dilihat secara nasional pun, Provinsi Maluku dalam urutan keempat terbawah dalam skala kemiskinan.
Kita harus berubah dan harus melakukan sesuatu!. Mulai dari tempat ini.
Mesa Bergerak, Nustratelu Bangkit !
Acara dibuka dengan sebuah lagu penyambutan yang dinyanyikan sendiri oleh penciptanya Morgan “Setiawan” Mose dengan judul Patura Ramufaly yang artinya orangtua, basudara.
Ada sesi pembacaan sekapur sirih oleh Ketua Panitia Peresmian Ronny Rijoly. Isi sekapur sirih buah karya Patura (orangtua) Mesa Pdt. Alex Relmasira. Di dalamnya lebih berupa pengungkapan isi hati dan rasa syukur serta harapan menyongsong masa depan dengan optimis dalam pimpinan Uplera.
Selanjutnya di dalam kesunyian tanpa dipedulikan, Patura Mesa Pdt. Alex menaikan doa syafaat. Dalam doanya beliau bagaikan mengadu pada Uplera, minta ampun dan memohon kekuatan dan spirit baru – kebangkitan bagi generasi muda penerus agar dapat mengelola pulau dan laut dengan penuh tanggungjawab.
Saatnya obor kebangkitan itu dinyalakan oleh pendeta jemaat. Nyala api akan dibagikan pada 3 orang yang mewakili 3 pulau, yang turut hadir dalam rombongan.Setelah dinyalakan, semua obor ditanam di beberapa titik arena acara.
Untuk Pulau Teon diwakili Emes Rijoly ( Kepala Dusun/Kampung Mesa Pulau Teon) untuk Pulau Nila diwakili Buce Serpara dan untuk Pulau Serua diwakili Poppy Talaksoru. Sebaliknya pada masing-masing warga ketika memasuki tempat acara telah dibagikan bulpen senter yang turut dinyalakan setelah obor di hidupkan.
Ritual seperti ini memang terasa sangat berbeda bagi penulis yang datang dari Jakarta. Kekhusukkan acara di bawah terang bulan dan nyala obor sekalipun dipasang lampu sorot dibeberapa titik yang diarahkan ke arena acara.
Penulis merasakan menyatu dalam pergumulan bersama masyarakat Mesa.
Kita harus bangkit, api kebangkitan itu sudah dipantik dan harus menggerakkan ketiga pulau bahkan ke seluruh tanah air.
Tiba saatnya pemberkatan laut dan darat. Adapun kedua pendeta masuk ke laut yaitu Pdt. Maryon Hukom dan Pdt. Decky Wurlianty berdiri menghadap ke darat dengan tangan terangkat untuk memberkati pulau. Sedangkan 3 pendeta lainnya ( Pdt. Febby Picaulima, Pdt. Alex Relmasira dan Pdt. Oscar Yalmaf) menghadap ke laut untuk penumpangan tangan ke arah laut sebagai tanda memberkati laut.
Doa Berkat atas Pulau dan Laut oleh Pdt. Febby Picaulima ( dokumentasi Buce Serpara)
Wouw ! dalam hati penulis berkata pemberkatan ini sekaligus memberi makna bahwa kita sebagai penghuni, anak cucu Mesa loyasatomay bertanggungjawab kepada Uplera untuk mengusahakan baik laut dan darat demi kesejahteraan bersama.
Harus menjaga lumbung laut dan darat yang Uplera titipkan guna keberlanjutan kehidupan dalam bingkai NKRI.
Seluruh rangkaian acara ditutup dengan doa oleh Pdt.Decky Wurlianty, sementara masyarakat membentuk lingkaran sambil bergandeng tangan dan menyanyikan lagu “Hanyalah Dia” dan disusul lagu “Gandong e”.
Warga menyanyikan lagu "Hanyalah Dia" (dokumentasi Buce Serpara)
Obor kebangkitan itu telah dinyalakan, api Mesa Bergerak Nustratelu Bangkit sudah dibagikan, tibalah pada penghujung acara pemberkatan laut dan darat yaitu pelepasan lampion terbang.
Dari Jakarta, penulis membawa lampion terbang yang dapat dinyalakan dengan sumbu lilin malam sebanyak 50 buah. Bergegas masyarakat ke tepi pantai menyalakan lampion terbang dan menerbangkannya.
Simbolisasi ini seolah berkata bahwa api itu sudah menyala dan kami siap membawa keluar pulau.
Semoga lampion terbang itu dapat dilihat juga oleh warga masyarakat di kampung lain Pulau Teon bahkan mereka yang menetap di Pulau Nila dan Pulau Serua.
Pada akhirnya, udara dingin angin laut tidak menepis masyarakat yang masih bertahan di tepian pantai, saling bercengkerama dan berfoto bersama, mengabdikan sebuah peristiwa kebangkitan tekad bersama. Sebuah memori yang tak terlupakan!
Betapa syukur tak terhingga atas berkat Tuhan bagi ketiga pulau ini untuk kehidupan yang sangat diberkati Uplera.
Di pulau terpencil, berbahaya dan terancam bukan cuma laut dan daratnya terberkati, tetapi terlebih manusianya. Ada ketekunan, kerja keras, penuh perjuangan dari para pendahulu yang membuahkan hasil generasi yang dapat meraih cita-cita dan berguna bagi banyak orang.Tuhan bersama kita!
Penulis teringat sebuah lagu rohani, “berkat Tuhan mari hitunglah, kau kan kagum oleh kasihNya”.
Berkat Tuhan atas limpahan hasil pertanian dan laut. Berkat Tuhan atas limpahan persatuan dan kebersamaan baik masyarakat di pulau , di wilayah relokasi maupun masyarakat diaspora.
Berkat Tuhan atas perjuangan dan kerja keras masyarakat di pulau yang terwujud dalam pencapaian pendidikan, jabatan pelayan masyarakat, berkontribusi kepada masyarakat luas dll.
Inilah yang membuat dalam perkumpulan masyarakat TNS dimanapun berada, selalu ditandai dengan hadirnya kerinduan bersekutu dalam ibadah dan pilihan pekerjaan banyak yang memilih menjadi pendeta.
Hidup bergantung kepada Uplera dimaknai turun temurun dari generasi ke generasi.
Lagu “Gandong e” pada Penutupan Acara Pemberkatan Pulau dan Laut (dokumentasi Buce Serpara)
Partisipasi dan Aksi
Pengalaman acara pemberkatan laut dan darat memberi sebuah perenungan pada istilah “kalau bukan katong sapa lae” yang artinya kalau bukan kita siapa lagi!.
Tanggungjawab pembangunan harus melibatkan semua komponen bukan cuma pemerintah tetapi juga kompenen keagamaan dan masyakarat, yang di dalamnya ada ketokohan lokal atau disebut juga informal leader.
Tidak asing lagi di Maluku dikenal istilah 3 ( tiga) Batu Tungku yaitu Pemerintah, Masyarakat dan Tokoh Keagamaan.
Mungkin malam ini menjadi evaluasi dan inspirasi bagi Pemerintah Pusat, Provinsi , Kabupaten bahkan Kecamatan dan Pemerintah Negeri bahwa pola partisipasi semua komponen kunci untuk menggerakkan perubahan dalam pembangunan demi mencapai tujuan bersama.
Memang sangat disayangkan, adapun rombongan VIP telah kembali setelah selesai peresmian tanggal 15 November 2021 pada dini hari. Sehingga acara pemberkatan laut dan darat ini, tidak dihadiri Wakil Gubernur Maluku dan istri, Ketua DPRD Maluku dan istri, Camat TNS dan Penjabat Negeri Mesa. Turut pulang juga Ketua 1 Sinode GPM, Ketua Klasis GPM Kota Masohi dan Danramil 1502-11/ Waipia.
Mesti demikian warga masyarakat bersyukur karena masih ada basudara dari Kampung Layeni dan Watludan. Begitu pula Kepala Pemerintahan Negeri Layeni dan Kepala Urusan Pembangunan Negeri Isu yang belum kembali ke Waipia sehingga bisa bersama-sama warga Mesa.
Bagaimana bermimpi mengukir masa depan Indonesia? Jangan melupakan kondisi geografis Provinsi Maluku bahwa daerah ini terdiri dari ribuan pulau.
Membangun dari pulau adalah butuh komitmen bersama !.
Mesa Bergerak, Nustratelu Bangkit adalah spirit kebangkitan dari forgotten island.
Mari mengukir masa depan dari Mesa untuk Indonesia.
Bukankah Laut Masa Depan Kita?
Uplera Nortarita (Tuhan bersama kita). Selesai. LL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H