Mohon tunggu...
Dharsono
Dharsono Mohon Tunggu... -

yen ing tawang ono lintang, cah ayu.. aku ngenteni sliramu...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jebakan "Injury Time" Sudirman Said Ke Ganjar

7 Juni 2018   09:06 Diperbarui: 7 Juni 2018   11:09 3548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudirman Said. sumber foto : Nasional Kompas

"Mungkin KPK tak Akan Terbentuk Kalau tak Ada Sudirman Said"

(Chandra Hamzah, Senin 27 Oktober 2014)

Ucapan Chandra Hamzah yang kemudian banyak dimuat di media online soal peranan Sudirman Said dalam pendirian KPK, sekaligus juga secara implisit pengaruh kuat Sudirman Said di KPK, menjadikan persoalan pilkada Jateng 2018 tak lepas dari bagaimana KPK (yang digerakkan oleh oknum koneksi Sudirman Said) menjadi alat pertaruhan politik Sudirman Said dalam 'memukuli' Ganjar, dan bisa jadi menjadi 'gacoan' paling akhir dalam serangan politik terhadap Ganjar.

Sebuah "langkah putus asa" namun diharapkan kubu Sudirman bisa berpotensi membalikkan hal yang tak mungkin. Dari ucapan Chandra Hamzah inilah bisa dijelaskan secara gamblang, bagaimana "Peristiwa Purbalingga" dijadikan pintu masuk menjebak Ganjar Pranowo di situasi Injury Time Pilkada Jateng 2018. Tentunya tak lepas dari pengaruh koneksi Sudirman Said di KPK.

Sudirman Said tak bisa dipisahkan dari bagian perlawanan "orang-orang pecatan" yang digerakkan oleh Jusuf Kalla untuk membungkam kantong-kantong politik Jokowi di Pulau Jawa, setelah kemenangan Pilkada DKI oleh kelompok JK, maka sasaran kemudian adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dalam kasus Jawa Tengah, Sudirman Said menjadi operatornya maka Jawa Timur adalah Khofifah menjadi operator perebutan wilayah Jatim ke tangan JK.

Baik Anies Baswedan dan Sudirman Said dibina oleh JK sejak mereka menguasai Universitas Paramadina pada tahun 2007. Sementara Khofifah menjadi pilihan JK sebagai representasi kekuatan JK di wilayah kantong NU Jatim dan jadi bagian hubungan persekutuan antara JK dengan SBY sekaligus merontokkan kantong kantong politik Jokowi di Jatim. Pada tahun 2018 wilayah Jateng dan Jatim adalah pertaruhan terbesar untuk menghadang kekuatan Jokowi. 

Awalnya Sudirman Said masuk ke Jateng dengan perhitungan politik yang mudah, saat itu masih eforia tinggi sekali soal keberhasilan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam mengalahkan Ahok dan Djarot di DKI Jakarta. Bagaimanapun juga DKI Jakarta adalah basis PDI Perjuangan, dengan mengalahkan Ahok, langkah selanjutnya bagi lawan-lawan politik Jokowi adalah "menguasai" basis PDI Perjuangan lainnya yaitu : Jawa Tengah. Ada dua hal yang bisa dilakukan oleh Sudirman Said, menggunakan 'cara-cara Pilkada DKI" dan "Kasus E-KTP".

Dalam banyak pertemuan-pertemuan politik, seperti di Hyatt Yogyakarta pada akhir Nopember 2017 dimana beberapa operator politik Sudirman Said baik dari Jakarta ataupun kelompok Semarang berkumpul, Sudirman Said mendapatkan banyak masukan oleh para pendukung gerakan politiknya, bahwa menaklukkan Jawa Tengah sangat mudah, dengan memanfaatkan kasus E-KTP dan melabur nama besar PDI Perjuangan seperti "Menghancurkan kesan Jateng sebagai "Kandang Banteng" dengan banyak persepsi negatifnya.

Awalnya Sudirman Said merasa senang dengan konsep kampanye seperti itu, tapi ternyata kenyataan di lapangan gerakannya mengalami kegagalan yang memalukan.

Bahkan Prabowo pada bulan April 2018 sampai memanggil Sudirman Said dan bertanya ada apa dengan Jawa Tengah?, beberapa kali laporan survey internal yang dibawa oleh Ferry Juliantono, menunjukkan bahwa hasil survey Sudirman Said dan Ida Fauziah, secara memalukan kalah telak dengan Ganjar-Yasin.

Bahkan survey Kompas yang kerap menjadi rujukan banyak pengamat politik menunjukkan bahwa Ganjar menguasai 76,6%, dan Sudirman Said hanya meraup suara andai Pilkada diadakan pada hari tersebut,  Pilkada dipilih pada hari itu sebesar 15%. Atas dasar fakta politik itulah kemudian Prabowo melakukan pidato politik ke khalayak Jawa Tengah, bahwa agar pemilih dirinya memihak pada Sudirman Said.

Sikap emosional Prabowo justru membangkitkan warga Jateng bahwa "Jateng jangan disamakan dengan DKI Jakarta", terbukti dengan dibantu pidato Prabowo sekalipun dimana secara gamblang Prabowo meminta warga Jateng yang bersimpati pada dirinya memilih Sudirman Said, setelah pidato itu survey internal dari pihak Gerindra masih saja melaporkan bahwa Ganjar Pranowo masih unggul keras.

Hal inilah yang kemudian membuat Gerindra melemparkan masalah sepenuhnya pada Sudirman Said sendiri akhirnya setelah mendapatkan situasi kuldesak, Sudirman Said terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya yaitu : "Pemanggilan KPK" atas saksi kasus E-KTP, pemanggilan ini harus menunggangi kasus yang akan diblow up KPK jelang lebaran, maka dilakukanlah operasi yang disebut "Operasi Purbalingga" disini kemudian jadi pintu masuk untuk menjeblokkan elektabilitas Ganjar .

Ganjar sudah melakukan politik pemihakan dengan tegas, bahwa wilayah Jawa Tengah adalah "wilayah yang harus menjaga elektabilitas Jokowi", ucapan ini tegaskan dalam sebuah acara debat Pilkada Jateng 2018 dalam menjawab pertanyaan penanya "Prabowo atau Jokowi" dengan nada penuh gojekan tapi serius Ganjar menyahut "Ya Jokowi dong". Ucapan Ganjar ini sangat serius secara politis, karena sudah menunjukkan wilayah Jawa Tengah harus dijaga sebagai "lumbung suara politik Jokowi".

Jebakan Injury Time di tengah Gagalnya Operasi Senyap Sudirman Said

Permainan serius Sudirman Said dalam menghadang Ganjar Pranowo, sebenarnya dimulai dari kasus Setya Novanto di awal Maret 2018. Beberapa koneksi Sudirman Said di KPK membidik nama Puan Maharani dan Pramono Anung, bidikan itu sangat keras dan merupakan bagian dari permainan diam-diam dengan menjadikan Novanto sebagai "sasaran pertaruhan" justice collaborator, namun akhirnya Novanto dibohongin untuk dijadikan "JC" setelah operasi politik koneksi KPK Sudirman Said gagal menuding Puan dan Pram.

Sementara JK masih sibuk soal penenggelaman Novanto, ia tidak mau memperluas medan perang dengan Puan Maharani. JK malah menyatakan tuduhan pada Puan Maharani tidak berdasar, dan ini membuat langkah Sudirman Said surut ke belakang. Tuduhan pada Puan oleh "klik Sudirman Said" ternyata gagal karena pihak Sudirman Said sudah membaca kasus lama-nya di Aceh akan terungkap.

Setelah kegagalan kasus Puan, Sudirman Said mencari cara lain untuk menghajar Ganjar Pranowo. Lalu ia mencoba peruntungan dengan menggunakan "Cara Cara Jakarta", sebelumnya Sudirman Said dalam pengondisian kasus DKI Jakarta pergi umroh untuk menemui Habib Rizieq, disini Sudirman mau mencoba kekuatan massa bisa digalang di Jateng dan kemudian muncul video Sugik Nur di Solo dengan bahasa bahasa kasar membangkitkan emosi massa, namun kemudian lagi-lagi ia tidak bisa membakar massa rakyat Jateng, karena warga Jateng sudah mengerti bahwa Sudirman Said adalah representasi kasus DKI Jakarta dimana Ahok menjadi korban "permainan politik identitas".

Eksperimen politik "Strategi Pilkada DKI 2017"  hancur total dan Sudirman Said nampaknya belum punya nyali untuk mencoba menggalang massa dan melakukan gerakan gerakan massa riil di lapangan. Warga Jateng yang melek media sosial juga sudah melihat betapa Jakarta sedemikian berantakannya setelah dipegang duo sohib Sudirman Said : Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, berantakannya Jakarta ramai difoto di media sosial, sungai sungai kotor dan bau, trotoar berantakan dan birokrasi yang semakin gelap arahnya.

Disinilah kemudian banyak warga Jateng menjaga bahwa Ganjar harus dipertahankan agar Jateng tidak bernasib seperti DKI Jakarta, dan memang di Jateng adalah basis dukungan politik Jokowi di tingkat nasional.

Beberapa kasus seperti "penyebaran berita hoax melalui koran yang mirip cara cara obor rakyat" di Pati Jateng,  sampai pada pengondisian Ganjar di "Ahok"-kan lewat kasus puisi Gus Mus, berhasil dipatahkan oleh tim advokasi Ganjar dengan cara cepat dan tidak menyebar.

Posisi berbalik dimana operator-operator politik Sudirman Said ditingkat bawah dikejar oleh tuntutan hukum, sehingga ketika operasi politik sudah gagal ditingkat bawah, maka komando di tingkat atasnya sama sekali tidak berbunyi, bahkan politisasi kasus Ambulans Gerindra yang ditolak sebuah keluarga dan memilih menandu jenasah karena bersikap netral dalam Pilkada 2018, bisa menjadi bumerang keras bagi Sudirman Said.

Jelas seluruh operasi politik Sudirman Said terhadap Ganjar Pranowo gagal total, sementara Ganjar sendiri tidak menyerang Sudirman Said, dia hanya bersikap jenaka seperti layaknya di debat Pilkada 2018, dimana Sudirman Said sangat serius dan berwajah tegang, sementara Ganjar kebanyakan ketawa, dan Ganjar tau tanpa adanya tsunami politik, kekuatan Banteng tidak bisa dikalahkan di Jawa Tengah, walaupun diserang oleh susupan-susupan yang memanfaatkan kasus Kendeng, juga beberapa gerakan sporadis buatan Sudirman Said di beberapa wilayah 'panas' namun bisa diredam, praktis wilayah Jateng aman.

Bahkan kedatangan Sandiaga Uno ke Brebes dan menjanjikan soal macam-macam saluran produksi ke Jakarta gagal menaikkan elektabilitas Sudirman Said.

Waktu bergerak cepat, tanggal 27 Juni 2018 di depan mata, sementara tingkat elektabilitas Sudirman Said payah sekali, bahkan bisa dikatakan tingkat elektabilitas Sudirman Said paling rendah dibandingkan dengan kandidat para petarung Pilkada di seluruh Indonesia pada tahun 2018, maka apalagi yang bisa dilakukan Sudirman Said selain mengeluarkan amunisi peluru politik setelah strategi Pilkada DKI gagal dilakukan di Jateng selain menggunakan koneksi-koneksinya di KPK.

Lalu Sudirman Said tahu bahwa ada operasi khusus penangkapan Bupati Purbalingga, Operasi Penangkapan ini harus segera cepat ditunggangi, dengan "pemanggilan Ganjar Pranowo", kasus pemanggilan Ganjar Pranowo oleh KPK, di tengah 'situasi genting Kampanye' jelas tidak punya fatsoen dalam berpolitik, sekaligus menjelaskan pada kita betapa kuat pengaruh koneksi Sudirman Said di KPK. Inilah yang harus diketahui para pemain politik di Kubu Ganjar, bahkan langkah pemanggilan tersebut bukan lagi 'wilayah hukum' tapi sudah menjadi 'bahasa politik'.

Memang ada kamuflase yaitu dipanggilnya anggota-anggota DPR lainnya, namun sekali lagi Sudirman Said masih bisa berharap dengan pemanggilan ini akan menaikkan elektabilitasnya, dia juga menggunakan kampanye politik survey NCID (Nurjaman Centre For Indonesian Democracy) untuk mempublish keunggulan Sudirman-Ida ketimbang Ganjar Pranowo-Taj Yassin, jelaslah kubu Prabowo yang memang suka menggunakan survey sesukanya seperti kasus Pilpres 2014 sampai Prabowo sujud syukur mengklaim kemenangan karena survey bodong, ternyata digunakan juga oleh Sudirman Said untuk memanipulasi persepsi publik, survey dikeluarkan hampir bersamaan dengan pemanggilan Ganjar Pranowo.

Seperti diuraikan dalam prolog tulisan ini, ucapan Chandra Hamzah sebenarnya sangat serius dalam kasus KPK dan Pilkada Jateng : ""Mungkin KPK tak Akan Terbentuk Kalau tak Ada Sudirman Said" ucapan ini menjadi pegangan bagi para pelaku-pelaku politik di Jawa Tengah, apabila memang Ganjar dipaksa untuk mondar mandir KPK di saat waktu injury time, maka ini adalah permainan politik Sudirman Said yang melibatkan koneksi-koneksinya di KPK.

Sementara tim khusus advokasi hukum, dan para Partai Pendukung Ganjar sudah seharusnya melakukan taktik penghadangan dari oknum-oknum koneksi Sudirman Said di internal KPK yang ingin melakukan pemanggilan Ganjar sebagai strategi akhir di Pilkada Jateng 2018.  Para pendukung Ganjar harus membuat kecurigaan akan adanya barisan koneksi Sudirman Said di KPK, karena pemanggilan ini jelas merupakan bahasa politik, dan tudingan KPK terhadap Ganjar di menit-menit terakhir bisa dikatakan Ad captandum vulgus, sebuah tudingan hukum yang hanya bertujuan "mengambil perhatian rakyat" bukan sebagai sebuah langkah substansi.

hal ini harusnya digugat dulu oleh pihak advokasi tim sukses Ganjar Pranowo. Bila ternyata memang terbukti bahwa pemanggilan itu hanya untuk memancing elektabilitas Sudirman Said dengan tujuan tujuan politiknya, sudah seharusnya ada pembersihan di internal KPK yang terkait dengan "jaringan gelap Sudirman Said" di dalam gedung KPK dan para alumnus KPK yang terkoneksi dengan Sudirman Said dalam upayanya merebut kekuasaan di wilayah Jawa Tengah dan kemungkinan berpeluang untuk bermain pada Pilpres 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun