Sikap emosional Prabowo justru membangkitkan warga Jateng bahwa "Jateng jangan disamakan dengan DKI Jakarta", terbukti dengan dibantu pidato Prabowo sekalipun dimana secara gamblang Prabowo meminta warga Jateng yang bersimpati pada dirinya memilih Sudirman Said, setelah pidato itu survey internal dari pihak Gerindra masih saja melaporkan bahwa Ganjar Pranowo masih unggul keras.
Hal inilah yang kemudian membuat Gerindra melemparkan masalah sepenuhnya pada Sudirman Said sendiri akhirnya setelah mendapatkan situasi kuldesak, Sudirman Said terpaksa menggunakan senjata pamungkasnya yaitu : "Pemanggilan KPK" atas saksi kasus E-KTP, pemanggilan ini harus menunggangi kasus yang akan diblow up KPK jelang lebaran, maka dilakukanlah operasi yang disebut "Operasi Purbalingga" disini kemudian jadi pintu masuk untuk menjeblokkan elektabilitas Ganjar .
Ganjar sudah melakukan politik pemihakan dengan tegas, bahwa wilayah Jawa Tengah adalah "wilayah yang harus menjaga elektabilitas Jokowi", ucapan ini tegaskan dalam sebuah acara debat Pilkada Jateng 2018 dalam menjawab pertanyaan penanya "Prabowo atau Jokowi" dengan nada penuh gojekan tapi serius Ganjar menyahut "Ya Jokowi dong". Ucapan Ganjar ini sangat serius secara politis, karena sudah menunjukkan wilayah Jawa Tengah harus dijaga sebagai "lumbung suara politik Jokowi".
Jebakan Injury Time di tengah Gagalnya Operasi Senyap Sudirman Said
Permainan serius Sudirman Said dalam menghadang Ganjar Pranowo, sebenarnya dimulai dari kasus Setya Novanto di awal Maret 2018. Beberapa koneksi Sudirman Said di KPK membidik nama Puan Maharani dan Pramono Anung, bidikan itu sangat keras dan merupakan bagian dari permainan diam-diam dengan menjadikan Novanto sebagai "sasaran pertaruhan" justice collaborator, namun akhirnya Novanto dibohongin untuk dijadikan "JC" setelah operasi politik koneksi KPK Sudirman Said gagal menuding Puan dan Pram.
Sementara JK masih sibuk soal penenggelaman Novanto, ia tidak mau memperluas medan perang dengan Puan Maharani. JK malah menyatakan tuduhan pada Puan Maharani tidak berdasar, dan ini membuat langkah Sudirman Said surut ke belakang. Tuduhan pada Puan oleh "klik Sudirman Said" ternyata gagal karena pihak Sudirman Said sudah membaca kasus lama-nya di Aceh akan terungkap.
Setelah kegagalan kasus Puan, Sudirman Said mencari cara lain untuk menghajar Ganjar Pranowo. Lalu ia mencoba peruntungan dengan menggunakan "Cara Cara Jakarta", sebelumnya Sudirman Said dalam pengondisian kasus DKI Jakarta pergi umroh untuk menemui Habib Rizieq, disini Sudirman mau mencoba kekuatan massa bisa digalang di Jateng dan kemudian muncul video Sugik Nur di Solo dengan bahasa bahasa kasar membangkitkan emosi massa, namun kemudian lagi-lagi ia tidak bisa membakar massa rakyat Jateng, karena warga Jateng sudah mengerti bahwa Sudirman Said adalah representasi kasus DKI Jakarta dimana Ahok menjadi korban "permainan politik identitas".
Eksperimen politik "Strategi Pilkada DKI 2017" Â hancur total dan Sudirman Said nampaknya belum punya nyali untuk mencoba menggalang massa dan melakukan gerakan gerakan massa riil di lapangan. Warga Jateng yang melek media sosial juga sudah melihat betapa Jakarta sedemikian berantakannya setelah dipegang duo sohib Sudirman Said : Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, berantakannya Jakarta ramai difoto di media sosial, sungai sungai kotor dan bau, trotoar berantakan dan birokrasi yang semakin gelap arahnya.
Disinilah kemudian banyak warga Jateng menjaga bahwa Ganjar harus dipertahankan agar Jateng tidak bernasib seperti DKI Jakarta, dan memang di Jateng adalah basis dukungan politik Jokowi di tingkat nasional.
Beberapa kasus seperti "penyebaran berita hoax melalui koran yang mirip cara cara obor rakyat" di Pati Jateng, Â sampai pada pengondisian Ganjar di "Ahok"-kan lewat kasus puisi Gus Mus, berhasil dipatahkan oleh tim advokasi Ganjar dengan cara cepat dan tidak menyebar.
Posisi berbalik dimana operator-operator politik Sudirman Said ditingkat bawah dikejar oleh tuntutan hukum, sehingga ketika operasi politik sudah gagal ditingkat bawah, maka komando di tingkat atasnya sama sekali tidak berbunyi, bahkan politisasi kasus Ambulans Gerindra yang ditolak sebuah keluarga dan memilih menandu jenasah karena bersikap netral dalam Pilkada 2018, bisa menjadi bumerang keras bagi Sudirman Said.