Tentang Provokator, Si Otak Minor

Ada satu cerita menarik tentang koloni semut.  

Ratusan semut hitam dan semut merah di dalam sebuah botol diam menurut.  

Ketika botol diguncangkan, mereka menjadi kalut, 

       mereka saling serang dan saling sikut. 

 

Itulah dahsyatnya sebuah provokasi.  

Perbedaan yang sebenarnya menguatkan malah dijadikan senjata untuk saling mencurigai.  

Membuat orang tak lagi saling menghargai, 

       membuat orang tak saling menghormati.  

Orang merasa harus menyerang atau mereka yang harus mati.

 

Ironisnya di negeri kita, 

       orang yang suka memprovokasi semakin merajalela.  

Tanpa pandang bulu apa jabatannya, 

       dari tokoh politik bahkan sampai pemuka agama.  

Tanpa pandang bulu strata pendidikannya, 

       dari yang bersekolah biasa saja sampai yang lulusan sarjana.  

Bagi mereka, kekuasaan adalah segalanya.  

Mereka mungkin lupa apa itu neraka atau surga, 

       karena bagi mereka itu urusan nomor dua.

Yang terpenting bagaimana mereka hidup senang di dunia.

 

Ketika mereka melihat anak bangsa saling menghasut dan saling mencurigai, 

       sang provokator tertawa melihat kekacauan ini.  

Mereka seakan sudah tak mau lagi mendengarkan hati nurani.  

Yang ada di kepala mereka hanyalah ambisi.  

Ambisi untuk menguasai negeri, 

       ambisi untuk mengumpulkan materi,

       ambisi untuk memperkaya pribadi dan para kroni.

 

Bagiku orang-orang seperti itu kuanggap sampah.  

Mereka hidup tak punya faedah, 

       dan hanya menimbulkan masalah.  

Mereka hidup hanya mau memfitnah 

       dan membuat ulah. 

Kalau boleh berdoa yang nakal, aku berharap mereka disingkirkan dan segera musnah, 

       agar negeriku menjadi adil, sejahtera dengan rakyat yang sehat jasmani dan rohaniah.  

Tapi aku diingatkan bahwa berdoa tak boleh dengan amarah 

       karena nantinya tak akan jadi berkah.