Mohon tunggu...
Lesterina Purba
Lesterina Purba Mohon Tunggu... Guru - Penulis

Hidup hanya sebentar perbanyaklah kebaikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terima Kasih Guruku

10 Juni 2024   13:39 Diperbarui: 10 Juni 2024   16:04 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar dokri 

 

Terima Kasih Guruku

Dunia ini tidak ada rasa nyaman, sungguh aku muak dan benci. Sudah mau dua tahun aku duduk di bangku SMA. Seringkali aku meratapi nasib. Semenjak ayah tiada, ibuku kerja banting tulang. Ditinggal ayah hidup ini semakin morat-marit. 

Sebagai anak paling besar , anak pertama  dan laki-laki. Beban ayah ada di pundakku. Kedua adikku adalah tanggung jawab yang harus kupikul.  Dari kelas 3 SD, ayah sudah mendaftarkan aku les musik yang memang sudah hobi dari kecil. Dan ternyata sekarang manfaatnya. Berkat ayah aku bisa mencari uang melalui musik keyboard. Sepulang sekolah aku mengajar les privat anak tetangga. Lumayanlah menambah uang saku. 

Dan aku juga pelayanan di gereja, seringkali mendapat tip dari paraorang tua di sana. Mereka merasa prihatin terhadap kehidupan kami. Meskipun susah ibu, aku dan adik-adik selalu rajin ibadah dan melayani. Namun saat itu kehidupan mulai berat. Masuk sekolah SMA Tugas-tugasnya menumpuk. Sehingga aku muak dan tanpa sadar sumpah serapah keluar dari mulut.


Aku menyumpahi guruku yang pincang. Beberapa bulan sebelumnya dia kecelakaan. Dan masih pemulihan. Guru itu sering memberikan tugas sangat banyak menurutku, sebab sebelumnya semasa SMP sekolahku tergolong santai. Begitu masuk SMA aku kaget. Dan menemukan guru-guru yang suka memberikan tugas. Salah satu guru pincang tadi. Aku semakin membencinya. Guru itu hanya duduk di depan, kemudian diberikan tugas setelah penjelasan sebentar.  Hanya sekali-kali dia berjalan,  itupun sangat payah dan sebentar. Sebenarnya aku sedikit merasa kasihan. Namun rasa kasihan itu hilang disebabkan banyak tugas darinya. 

Aku bersama teman kelompok menyumpahinya. Berharap dia pincang selamanya. Tugas kelompok tidak selesai,  hari berikutnya dikoreksi dan dinilai. Kelompok kami terpaksa maju dan dinasehati olehnya. Rasa benci semakin bertambah. 

"Kenapa tidak mengerjakan tugas? Masalahnya dimana? " Guru tersebut yang biasa dipanggil  Bu Ratih mulai marah.

"Saya sudah mengerjakan bagian A yang lain juga sudah, Bu tinggal menunggu Doni yang belum,"Leli menjelaskan alasannya.
"Kenapa Doni tidak mengerjakan tugasnya?" Bu Ratih bertanya sambil memandangku , wajahnya mulai bengis. Dan menambah tingkat kebencian di dalam dada.
"Aku banyak pekerjaan di rumah Bu, dan tidak sempat mengerjakannya. "Aku mengutarakan alasan kenapa tidak mengerjakan tugas.

"Lho, kan banyak jedanya, Sabtu,Minggu libur."
"Aku pelayanan di gereja dari Sabtu sampai hari Minggu dan itupun pulangnya malam." Aku dengan berani memandang Bu Ratih.
"Seharusnya kamu kerjakan dulu tugasnya sebentar,  atau di sini setelah pulang sekolah kerjakan bersama kelompokmu," ujar Bu Ratih. Aku hanya terdiam dan mengumpat dalam hati.

"Sekarang kerjakan dulu,  selesaikan dengan cepat!"
"Baik Bu!" Dengan terpaksa aku mengerjakan tugasnya. Dan teman-teman maju ke bab berikutnya. Belum selesai tugas sebelumnya bab berikutnya sudah ada tugas. Semakin menumpuklah tugasnya. Semakin subur rasa benci di dada.

Kelas sepuluh hari terberat bagiku dan tugas sering ngadat. Nilai hanya 2 di atas KKM, Sungguh aku tak merasa bersalah menyumpahinya setiap saat.

Naik ke kelas XI, berharap Bu Ratih tidak mengajar lagi di kelas . Namun doaku tidak terkabul. Sumpah serapah yang ada di hati berbalik. Bu Ratih semakin pulih dan berjalan sudah mulai normal kembali. Aku tetap menyumpahinya.

Suatu hari,  Bu Ratih memberikan tugas lagi dan aku meminta penawaran dan aku sms dia melalui Whatshapp. Dibalas tapi tetap disuruh mengerjakan. 

Tidak ada keringanan padahal sudah aku buat alasannya. Karena aku gondok dan kesal ditambah lagi capek kerja sambil sekolah. Malamnya aku meneror nomor handphone dengan nomor tanpa identitas. Stiker kebencian aku kirim,  serta sumpah serapah. Bu Ratih hanya membacanya. Keesokan harinya heboh, nomorku banyak chat masuk. Aku masih membalasnya dengan sumpah serapah. 

Ternyata apa yang aku lakukan itu tak berarti. Bu Ratih tetap baik dan ramah meskipun aku tahu dia marah dan kesal. Aku diam saja diceramahi olehnya. Tetap saja doaku yang jelek kepadanya. 

"Apa yang kamu lakukan itu, sumpah serapah dan aku tulus mengajar kalian etika,  tata krama. Itu berbalik ke kamu, doamu itu menjadikan ibu semakin sehat. Sekarang memang kamu tidak suka,  menggerutu dengan tugas yang saya berikan, tapi nanti ketika kalian lulus dan melanjutkan ke universitas pasti lebih banyak dari sini tugas yang kamu dapatkan. Nah, pada saat itulah kamu mengucapkan terima kasih sebab sudah terbiasa mengerjakan tugas."Bu Ratih menasihati kami panjang lebar, bahkan seluruh kelas yang diampunya.

Kejadian itu sudah berlalu 5 tahun yang lalu,  aku baru menyadarinya betapa bersalahnya aku kepada Bu Ratih. Tata krama yang sering diucapkan dan dilatih yang dulu aku anggap Bu Ratih gila hormat sekarang aku rasakan. Ternyata tata krama itu sangat perlu dan itu membuat aku mudah mendapatkan kerja selain cekatan sebab sudah dilatih oleh guruku terbaik.

Terima kasih guruku
Apa yang salah yang aku lakukan
Tetap kamu ampuni dan doakan
Kemarahanmu adalah cambuk
Menjadikan aku lebih baik
Dulu aku begitu benci dan menganggapmu gila hormat
Setelah beberapa tahun
Ternyata semua itu tidaklah benar
Aku mulai menyadarinya
Maafkan aku guru
Meskipun terlambat
Doa yang terbaik bagimu. 

Bekasi, 25112025

Sudah ditulis di Opinia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun