Langit mulai cerah, embun perlahan-lahan luruh ke bumi, bangun tidur, cuci muka tanpa mandi. Pak Kusno sudah bergegas ke kedai minum yang terletak di ujung jalan menuju rumahnya. Â Sudah seperti tradisi di kampung Singge atau sekitarnya. Bapak-bapak seperti suatu keharusan sarapan di kedai kopi. Jarang mereka minum atau sarapan di rumah. Jika minum dan mengobrol di warung rasanya baru apdol melewati hari berlalu. Tak hanya pagi hari.
Sore hari juga kedai kopi selalu ramai hanya sampai jam 17.00 WIB. Kemudian  kedai tuak untuk selanjutnya yang selalu ramai pada malam hari.
Pak Kusno sudah sampai di warung, setiap Sabtu adalah hari libur jadi ada waktu untuk bercengkrama dengan warga kampung. Seperti biasa mereka bermain catur untuk menghabiskan waktu. Sekitar jam 9.00 WIB baru pada hengkang menuju kegiatan masing-masing. Kebiasaan menikmati hidup. Setelah minum dan sarapan di kedai kopi baru kemudian beranjak ke ladang atau ada yang pergi ke tempat lain.
Pagi  yang cerah, Pak Kusno sedang asyik bermain catur. Tak berapa lama anaknya yang nomor dua datang sambil membawa sepatunya yang robek.
"Pak, belikan sepatuku, "Johan sambil menenteng sepatu yang sobek dan menunjukkannya ke hadapan Pak Kusno.
"Lho kenapa kau tawarkan ke Bapak, sepatumu yang sobek."Pak Kusno menjawab perintah anaknya dengan wajah serius padahal teman-teman sebelahnya yang lagi pada asyik menikmati permainan catur sambil menunggu kopi dingin sudah mulai tertawa.
"Sedangkan yang baru saja yang kau tawarkan belum tentu aku mau beli,"Pak Kusno masih berseloroh. Sebenarnya dia tahu keinginan anaknya.
"Ihh Bapak, sepatuku sudah sobek belikan yang baru. Jika musim hujan, kaos kaki dan kakiku basah dan bahkan menjadi bau dan gatal."Johan dengan wajah memelas, sepatu sobeknya masih ada di tangannya.
"Oh sepatumu yang sobek, bilang dong dari tadi,"Pak Kusno tak merasa bersalah.