"Wah segar banget nih udara," Roby  menghirup sebanyak-banyaknya udara lewat hidungnya kemudian mengeluarkan dari mulutnya.
"Gunungnya sudah memanggil kita untuk melihat sunrise besok pagi," ujar Syam.
"Ciptaan Tuhan yang sangat menakjubkan,"ujar Winda cewek tomboi yang sangat suka haiking.
"Hati-hati ya diperjalanan jangan bicara sembarangan, pikiran jangan kosong tetap berserah kepada Allah," Roby sebagai ketua rombongan mengingatkan teman-temannya.Â
Rombongan menapaki jalanan setapak menuju puncak Gunung Ceremai. Angin malam mulai menyapa dan udara sudah mulai dingin. Senja perlahan-lahan ditelan malam.
Ikhlas mengeluarkan senter dari tas ranselnya. Teman-teman yang lain juga mengeluarkan senternya. Malam mulai hitam pekat, di sekeliling hutan gelap gulita menambah suasana jadi kelam.Â
Kelompok Roby berjalan terus menyusuri jalan setapak, ayunan daun-daunan seolah-olah seperti mata mengintai perjalanan mereka. Udara dingin menusuk tulang, jika  jalan berhenti sangat terasa dingin makanya tetap dibawa jalan.
Kaki terasa lelah, kaki sudah pegal-pegal setelah melewati kuburan kuda suasana semakin merinding, jam menunjukkan pukul satu dini hari.Â
Winda, Yuli, dan Rina, berada paling tengah, Lilis nomor dua paling terakhir sebelum Agung, cewek paling tomboi dan berani.
Yuli melihat sekeliling semua gelap, dia memikirkan hal-hal mistis.
Tanpa sadar Yuli memberikan ruang untuk mahluk dedemit. Yuli mengoceh tidak jelas.
"Lihat badannya besar, hitam matanya melotot, mulutnya menyeringai." Yuli bicara tak henti- henti, tak jelas apa yang dia bicarakan. Badannya gemetaran, menggigil. Matanya kosong. Agung menyorot senter ke mata Yuli, benar-benar seperti ciri-ciri orang kesurupan.
Keadaan Yuli seperti ini membuat perjalanan menuju puncak berhenti, sekalian Roby memutuskan untuk berhenti istirahat sebentar.