Mohon tunggu...
Lestari Ningsih
Lestari Ningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis; menulis apa yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakan. Memberi inspirasi dan manfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kiriman Terakhir

10 April 2020   16:30 Diperbarui: 10 April 2020   16:24 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Aku harus mengirim tepak makan ini, setelah selesai aku  balik!”, suara berat kaku. Aku harus menyelesaikan kiriman makan siang ini walau sengat fajar menghalau. Hingga derau angin tidak aku hirau. Berkejaran waktu lintang pukang petang menyapa. Kabar tentang pagebluk merebah menyebar kemana-mana. Mulai dari kota sampai ke kampung-kampung. Dari gunung turun ke laut. Kabar terakhir pekik kematian ibu-ibu di atas kapal, karena 3 ABK terkena wabah mematikan. Demi menyelamatkan diri mereka berhamburan terjun ke laut lepas. Tangis beriring selisip hujan mengantar iba.

Menjelang petang menjemput malam. Kampung sudah senyap tak berpenghuni. Setangkup sunyi berteman udara menjerat leher merengkut setiap nyawa. Pintu-pintu rumah tutup rapat. Tak satupun terlihat bayang berkelebat. Kulirik sharlock bergerak berbelok ke kanan. Gerbang terbuka menyapa ramah. Barisan  trembesi bersanding lampu temaram di kanan kiri. Daun-daunnya rekah langit membuka jalan sinar bulan. “Halo! Kiriman sudah datang, Mbak Wina?”, WA call terdengar lembut mengiyakan. Gadis ramping keluar dari balik pintu kayu nan gagah. Teras joglo nan luas ini  mengayomi siapa saja yang ada di bawahnya. Sambil lempar senyum dari balik masker hijau prussi. Aku mencium aroma kekosongan tergambar di matanya.

Berbincang dalam diam. Mata kami salim menyampaikan. Termasuk ketika dia menanyakan namaku apa sesuai dengan yang aplikasi. Malam merambat sunyi. Saing kekeh berdiri mepatung pada posisi masing-masing. Kami masih jaga jarak. Keinginan berpamitan urung karena mata sanyunya memintaku untuk tetap bertahan. Memintaku untuk tetap pada lingkaran bayang di bawah lampu di atas joglo kokoh nan luas ini. Seraya menyampaikan bahasa mata dan anggukannya. Please tunggu sebentar! Aku mengiyakan dengan bahasa mataku pula. Punggung kecil nan langsing hilang di balik pintu kayu itu.

Tak apa dong jika aku bergeser ke sana ke mari. Aku tidak akan menentuh apapu kok, balasku. Di kanan kiri pintu kayu terdapat dua pot besar. Kedua pot itu ditanami melati air. Sepetinya sedang merekah. Menyapaku dari kejauhan. Selamat datang di kegelapan anak muda?

Di kejauhan suara orang-orang berteriak semakin mendekat. Suaranya lintang pukang berkejaran bersama api. Mendekatiku menbuyarkan pertemuan malam itu. Mereka mendorong dan menyingkirkan kami yang bercengkramah menikmati perkenalan. Entah dari mana datangnya kobaran api itu. Begitu cepat menyambar tiang-tiang penyangga joglo nan luas. Guguran api dari bangunan kayu-kayu berjatuhan. Merambat menyambar bangunan hingga batu bertaburan menimpa apa saja yang ada disekitarnya. Aku tak tahu kiriman apa yang kubawa untuknya. Mungkinkan kiriman yang merenggut nyawa? Hingga kesadaranku menyapa. Wina kau dimana?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun