Mohon tunggu...
Lestari Ningsih
Lestari Ningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis; menulis apa yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakan. Memberi inspirasi dan manfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

“Oemar Bakri”

4 April 2020   11:16 Diperbarui: 4 April 2020   11:34 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Oemar Bakri....Oemar Bakri pegawai negeri... Oemar Bakri 40 tahun mengabdi

Jadi guru jujur berbakti memang makan hati
Oemar Bakri... Oemar Bakri banyak ciptakan menteri
Oemar Bakri... Profesor dokter insinyur pun jadi
Tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri seperti dikebiri...”

Reffrein lagu yang diulang  Iwan Fals setia bersuara di radio portable CR-4250 milik bapak. Radio ukuran 21 cm X 12 cm hiburan satu-satunya buat bapak. Menikmati seusai seharian mendengarkan manja dan gayutan anak-anak di sekolah.

Sepeda ontel bapak juga setia. Uban bapak juga setia. Hampir semua kepala bapak sudah tumbuh benang sari jambu air. Kulit halus tapi berlipat kemilau. Keseringan berjemur 1 jam dua kali setiap hari. Hujan telah memadatkan kembali pori-porinya. Tulangnya kokoh, tetapi tak besar. Lebih pada kurus berisi.

“Pagi Pak Guru”, sapaan tiap pagi dan sore dari setiap orang yang bertemu.

“Ini putrinya, ya Pak Guru?”. Pertanyaan yang selalu dibalas dengan anggukan. Anggukan sekaligus doa hingga takdir yang sama buatku.

*****

“Bu kelas online, memakai clasroom saja lebih asyik”, permintaan yang menyedot pulsa bagi yang miskin pulsa. Masalah besar. Bisa-bisa pembulian. Kimiskinan masih saja kutemukan. Dari dulu. Aku dibonceng bapak menuju sekolah, masih ada beberapa dari mereka masih memakai sandal. Tidak bisa membeli sepatu dan pulsa sama-sama potensi perundungan.

Semua alasan kutampung agar tak menggunakan clasroom. Masih saja ejekan dari lambe turah mereka yang sok berduit atau memang benar-benar berduit.

“Hari gini tidak punya pulsaa?”.

“Mau tak teatring, a?”

“Hospot, nih!”

“Ke workop, saja!”

“Bu, maaf saya belum bisa beli paketan!”, japri Guritno.

“Mboten nopo-nopo kok, umpami nilai kulo minim”, melas Welas disela kesibukannya membantu si mbah jualan ketan bumbu dan kopi di pasar. Ah, seperti aku dulu. Jadi ingat Mbok Nah.

*****

“Mboten usah kuliah, Pak. Pensiun e Bapak mboten cukup”. Kuliah butuh biaya dan bayar SPP harus tepat waktu. Tidak terpikirkan. Ikut jualan nasi pecel di pasar sama Mbok Nah saja sudah cukup.

*****

Ibu meninggal dunia sudah tiga tahun yang lalu. Kebutuhan rumah nerkurang satu. Pensiun bapak 250 ribu per bulan dengan golongan IIb di masa itu sudah sangat lumayan. Tapi karena moneter memporak-porandakan ekonomi, sehingga berapapun bendapatan tetap saja harus ‘diputer-puter’.

“Kuliah itu penting, Nduk. Bapak pingin kamu mewarisi cara Bapak mengabdi buat mereka”. Selalu saja menyampaikan keinginannya disaat aku usai mengerjakan PR di malam hari. Terkadang aku pertanya tentang pelajaran sejarah yang sulit aku pahami. Menemaniku sambil nyetel ‘warta berita’ dari radio RRI Surabaya.

*****

“Sudah tahun ini kamu harus kuliah!”. Perintahnya tidak dapat ditawar lagi. Mbok Nah juga mendukung.

“Wis toh, ikuti saja permintaan Pak Guru”. Meskipun sudah pensiun masih saja panggilan Pak Guru menjadi bahasa sapaan tanpa pensiun.

“Jangan pikirkan Mbok Nah, gampang. Tuh Ina juga sudah mulai bisa bantu”. Cucu satu-satunya sejak kedua orang tuanya meninggal dunia karena kecelakaan. Dia saja yang selamat dari musibah itu. Terpental di tepi jalan. Warga yang menyambar berkejaran dengan motor lawan berguling-guling ke arah Ina. Kecelakaan beruntun, karena truk depan rem mendadak.

Sepertinya Mbok Nah paham saja yang aku pikirkan. Bukan karena sejak kelas satu SMA aku sering membantu berjualan. Apalagi satu tahun ini, aku full ikut berjualan di pasar dengannya. Jadi, sudah tahu perasaan dan pikiran masing-masing.

“Bapak tidak ada uang, Mbok. Kuliah mahal”.

Sering aku dengar dari teman-teman sekolah ketika bertemu di pasar. Bercerita tentang biaya kuliah yang berjajar. Kalau neruntung dapat beasiswa. Kalau beruntung.

“Pak Guru orangnya begini. Jempol ‘kewut’ Mbok Nah masih saja berkata jujur. Mosok koe nggak kepingin niru?”. Pertanyaan yang meluluhkan kesombonganku untuk bertahan tidak kuliah.

*****

Keunikan sifat siswa-siswaku menguatkan permintaan bapak. Bertahan dan ubah pola mengajar karena harus bersaing dengan perkembangan teknologi. Kalau yang dilakukan bapak adalah melempar kelembutan senyum, menebar benih kasih hingga semua murid-murid selalu saja sowan berkunjung ketika pulang dari kota. “Pak Guru kalau mulang memang begini!”.  Jempol yang sama dengan jempol Mbok Nah, ditunjukkan salah satu murid bapak.

*****

Mengajar 5 tahun, memberi pengalaman berbeda. Lagu Oemar Bakri sudah tidak berlaku lagi untuk masa saat ini. Gaji tidak menjadi ploblem. Guru sudah pada makmur. Berebut menjadi guru ketimbang profesi dokter atau insinyur. Tidak ada guru yang tidak punya mobil. Minimal motor metic disetiap rumah mereka. 2/3 kadang tak cukup.

Belakangan baru aku tahu bahwa bapak mengadaikan ontelnya buat aku. Tumbal untuk keberhasilanku. Tumbal yang sudah aku tebus dan kurawat sampai saat ini. Tumbal yang membuka pintu hatiku untuk ngrumat dan mengabdi kepada anak-anak didikku. Melempar senyum dan menebar benih kasih, Oemar Bakri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun