Mohon tunggu...
Lestari Ningsih
Lestari Ningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Penulis; menulis apa yang dilihat, dipikirkan, dan dirasakan. Memberi inspirasi dan manfaat bagi orang lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cincin Pernikahan

31 Maret 2020   16:31 Diperbarui: 31 Maret 2020   19:34 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Langit masih merah. Di ujung barat Majalengka langit juga masih terlihat merah. Pasukan batalyon 068 masih bertahan. Pasukan pemberontak Kartosuwiro di pukul mundun. Bergabung dengan Pasukan Siliwangi saat itu bahu-membahu.

"Mimik mah, suka disuruh-suruh Emak (sebutan nenek) kirim rantangan ke tenda tentara?",  cerita ini entah yang keberapa beliau ceritakan kepadaku. Aku masih saja suka dan tak pernah bosan. Sejak aku kecil sampai usiaku 21 tahun.

Kalau sudah begitu, Mimik pasti melanjutkan ceritanya tentang pertemuannya dengan Bapak. Keseringan bertemu maka tumbuh rasa saling memperhatikan. Saling cinta diantar mereka.

"Bapakmu kasih ini!", Mimik menunjukkan cincin yang selalu melingkar di jari manisnya. Cincin dengan permata di tengahnya. Segienam bentuk mata cincinnya. Ada lubang-lubang memanjang sebagai jarak tumpu mata bening di atasnya. Tidak besar. 18 gram kata Mimi.

Cincin pernikahan itu tak pernah lepas atau sengaja dilepas dari ibu jari yang lembut ini.
"Mengapa harus seperti itu?", tanyaku suatu ketika.
"Cincin ini adalah pengikat. Mengikat kita agar kita selalu setia dengan pasangannya", penjelasan Mimik sekaligus aku menjadi paham. Beliau rela meninggalkan orang tua perempuan nun jauh di kampung demi suami yang telah memberi keturunan 7 anak termasuk aku.

*****

Bukan untuk menunjukkan kesetiaan saja cincin itu masih saja melingkar manis di sana.
"Cincin perkawinan tak boleh dijual", katanya suatu ketika.
"Kenapa?", aku balik bertanya.
"Kalau kamu nanti sudah menikah dan kamu kekurangan uang. Cukup kau gadaikan saja. Nanti kalau sudah punya uang. Tebus kembali", Mimik kembali menasihati.

Pantas saja ketika kakak ketiga belum membayar uang kuliah, cincin pernikahan digadaikan. Kalau sudah begitu hari-hari Mimik terasa sendu. Seolah tidak ada semangat hidup. Apalagi Bapak sudah meninggalkan kami sejak aku berusia 10 tahun.

"Uang pensiun Bapakmu tidak cukup untuk kita berdelapan. Apalagi ada 2 mamangmu ikut Mimik di sini. Kita harus bekerja keras. Peninggalan usaha ternak ayam ini harus terus dilanjutkan", suatu ketika Mimik menasihatiku lagi.

*****

Entah mengapa aku mengingat tiap kalimat di sampaikan. Kadang aku menghiburnya jika Mimik melamun di teras belakang. Sambil menunggu ayam-ayam yang kehabisan minum. Terlihat wajah teduhnya masih saja lembut.
"Tet...tet...tet!", aku sengaja mengagetkannya.
"Wonten menoooopo? Kok kale ngelamuuun, Ibu Soekarsi?!", aku menyanyikan dengan intonansi kidungan ala jawa.

Kalau sudah begitu Mimik akan tersenyum sambil lanjut tertawa terpingkal-pingkal. Kebaya Mimik dan konde yang biasa di simpan di atas almari aku pake. Beraksilah aku seperti sinden ludrukan.

*****

"Ini bayar dulu SPPmu. Kita makan seadanya saja, ya?  Cincinnya tadi dibawa Mbok Mul ke pegadaian. Nanti kalau ada ayam yang 'kecepit' kita potong", sambil memberiku uang tersebut. Sudah akhir semerter aku baru bisa bayar. Maklum kuliah di perguruan tinggi swasta tidak terlalu ribet seperti sekarang ini. Keterlambatan membayar karena uang hasil panen ayam potong diprioritaskan untuk bayar SPP Mbak Nina dan Mas Hardjito yang juga kuliah. Pun demikian aku tak pernah memaksa Mimik untuk membayar SPP tepat waktu.

*****

Masih teringat ketika kecil Mimik tengteng aku menyusuri kampung kelahirannya. Kampung di bawah kaki Gunung Ciremai. Suara sungai di belakang rumah mak (panggilan nenek) selalu saja mengajakku untuk kembali. Suasana malam yang diiringi suara katak. Biasanya di hari ke dua kedatangan kami pulang kampung, pasti Mang Idik, Mang Danu, Mang Ayu lengkap beserta istri mereka ngobrol sampai larut. Bau pohon jati sebelah rumah meninabobokan aku. Maklum seharian aku bersama Ina, Lilis, dan Otong 'ngalag' (ambil buah=mangga muda) di halaman rumah 'gedong' (sebutan rumah besar nan kaya) mengais.
"Ceuceu, teu nanaon lamun jual sawah sepetak anu ti Cigasong", lamat-lamat aku mendengar perbincangan Mang Idik dan Mimik. Mimik adalah saudara tertua. Mang Idik menyarankan intuk menjual sawah. Aku tidak sempurna berbahasa sunda. Tetapi aku mengerti apa yang sedang diperbincangkan.
"Tong! Ulah dijual. Ceuceu masih aya ieu", Mimik menunjuk cincin perkawinan yang sangat dibanggakannya.

Percakapan malam itu semakin dalam. Aku tak tahu apa yang diperbincangkan oleh Mamang dan Mimik. Yang aku tahu sampai sekarang adalah cincin pernikahan menjadi penyelamat kami disaat kami kekurangan. Kekehnya Mimik memperjuangkan ke 7 anaknya agar kehidupannya layak dan mandiri. Beliau ingin menyampaikan bahwa cincin pernikahan  sebagai lambang kesetiaan sekaligus lambang perjuangan rumah tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun