Saat pertama membaca Tema THR Samber 2023 tentang Film Religi, penulis berniat mencari satu judul film religi yang akan ditulis. Maka mulailah memilih dari sekian banyak film religi di Indonesia.
Tapi saat-saat saya akan menulis, ada  hal yang menggelitik batin saya: apa sih sebenarnya yang disebut film religi?
Dikutip dari Hijup.com 8 Juni 2015, ternyata film yang disebut genre religi di Indonesia telah dimulai sejak 1950an. Saat itu film yang disebut religi, menceritakan hal-hal yang terkait dengan ibadah tertentu seperti sang tokoh terkait dengan ibadah menunaikkan ibadah haji. Seperti film Dosa Tak Berampun (1951)
Film religi pernah dipadukan dengan musik dangdut seperti film-film Rhoma Irama yang sarat nasehat dakwah Islam tahun 1980an. Seperti Perjuangan dan Doa (1980) dan Keagungan Tuhan (1980).
Pernah juga film religi dipadukan dengan film laga atau silat yang keduanya merupakan bagian dari budaya mayoritas di Indonesia. Seperti film Jaka Sambung (1981) karya sutradara Sisworo Ghautama Putra dan Ronda Macam Betawi (1978) karya sutradara Fritz G. Schandt.
Lalu tahun 2008 film Ayat-ayat Cinta adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy, bisa dibilang film  merupakan awal kebangkitan film-film bertema religi dengan cara yang lebih populer.
Film ini menurut penulis menceritakan  topik abadi tentang cinta antara dua manusia lawan jenis, diceritakan dengan membumi, dalam arti sangat mirip seperti apa yang mungkin dialami sebagian besar pembaca novel dan penikmat film. Dakwah atau pesan-pesan moral sangat sarat diselipkan dalam film tersebut, tapi dengan cara yang berbeda dari film-film bertema religi sebelumnya.Â
Sejak saat itu semakin banyak film religi diproduksi dan banyak pula yang menjadi box office.Â
Film Ayat-ayat Cinta diadaptasi dari sebuah novel.
Tentu berbeda ya membaca novel dan menonton film walau isinya sama.
Dalam membaca novel, kita sebagai pembaca menggunakan indera penglihatan saja. Untaian kata-kata dari penulis yang menggambarkan situasi, kondisi, percakapan dan seterusnya, semua dalam bentuk kata-kata. Kata-kata inilah yang bisa mengajak perasaan pembaca naik turun mengikuti jalur cerita. Membawa pikiran pembaca bebas memvisualisasikan isi novel.
Sementara dalam menikmati sebuah film, pembaca menggunakan indera penglihatan dan pendengaran. Efek cahaya, musik dan lain sebagainya, tentu memperkaya efek yang diterima oleh penonton dan tentu juga bisa lebih mempengaruhi perasaan penonton untuk masuk dan menikmati  sebuah karya film.
Buat saya, membaca dulu novel Ayat-ayat Cinta baru menonton filmya, sama-sama memberi kepuasan. Banyak pesan positif yang terekam di diri saya baik dari novel maupun film tersebut.
Kemudian lahir banyak film seperti Ketika Cinta Bertasbih (2009), Surat Kecil Untuk Tuhan (2011) dan banyak lagi.
Sementara, untuk film Habibie dan Ainun, saya belum membaca bukunya ketika menonton filmnya.
Film ini menurut saya juga sangat banyak menyampaikan nilai-nilai kehidupan yang sangat Islami. Hangat cairan mengalir di pipi ketika Habibie kecil mengambil alih sebagai imam saat ayahnya tak sadarkan diri ketika mengimami keluarga sholat berjamaah.
Kesadaran sebagai imam di keluarganya yang memahami kondisi dan tidak ingin memberatkan sang ibu, membuatnya tak jadi menyampaikan niat meminta biaya hidup ke ibunya saat Habibie sebenarnya membutuhkan biaya sebagai anak rantau saat menuntut ilmu di Jerman. Hal yang mungkin sepele, namun buat saya itu adalah dakwah bagaimana kita mengenal dan memahami orang lain dalam hal ini orang tua kita. Bagaimana kita tidak boleh menyerah dalam situasi kondisi apapun. Insyaa Allah selalu ada jalan dariNya.
Dan banyak lagi pesan-pesan indah sarat makna dalam film ini.
Kembali mengutip Hijup.com, Hanung Bramantyo mengungkapkan,"Manusia itu menyukai sesuatu yang baru. Jadi bukan perkara film Islami itu pasti banyak penontonnya, tapi bagaimana inovasi yang dibawa film itu. Tapi memang, film Islami diperkirakan mendapat sambutan hangat di Indonesia karena 80% penduduknya muslim. Tapi tetap saja, penonton hampir selalu menyukai hal-hal yang baru".
Hal ini bisa kita lihat juga pada film yang dikategorikan horor, sangat berbeda film Indonesia dengan genre horor beberapa tahun lalu dengan film horor saat ini. Banyak inovasi baru dalam menyajikan sebuah film horor saat ini. Baik dari segi cerita, berbagai efek dalam pembuatan film, pemeran, dan lain sebagainya.
"Setiap film membawa pesan. Bagi saya pribadi, baik itu film religi maupun bukan, film tetap harus membawa pesan positif untuk para penontonnya. Karena itu bagian dari dakwah", ujar Hanung.
Naahhh....ini saya setuju banget,
Menurut saya pribadi, tidak terlalu penting genre film apa yang akan saya tonton, tapi pesan-pesan apa yang bisa saya dapatkan dalam setiap film tersebut. Pesan atau dawah apa yang bisa membuat saya lebih pahami melalui film tersebut, dan yang mungkin bisa saya aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dan saya meyakini, menonton film genre apapun, jika kita bisa memahami pesan-pesan positif, bisa menjadi selfhealing buat saya pribadi. Seperti refresh kembali setelah meninggalkan bioskop untuk kembali melangkah di kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H