Terik panas matahari benar-benar membuat tenggorokanku mengering. Bayangan air mineral berembun di kulkas, membuatku ingin segera berhenti dan mencari swalayan atau warung. Perjalanan Jogja--Purwokerto menggunakan motor memang melelahkan. Aku yang kini berada di jalan beraspal menuju ke kotaku sekembalinya dari kuliah di Jogja, hanya bisa berimajinasi saja. Mau berhenti tanggung karena bentar lagi Zuhur kemudian posisiku berada di jalan raya dengan kanan dan kiri sawah. Â
Saat melintas di Purworejo tepatnya di Kecamatan Butuh, tepatnya di dekat jembatan Butuh kulihat warung kecil. Terlihat seorang gadis manis dengan pakaian khas Jawa, tengah duduk menanti pelanggan. Dua gentong besar terbuat dari tanah liat, kemudian terpasang wayang Jawa dengan tokoh salah satu Punakawan, berada di depan gadis itu. Ada pula banner bertuliskan "Dawet Ireng Khas Butuh".
Bayangan nikmatnya dawet Ireng itu membuat air liurku ingin menetes. Kesegaran es, kemudian dawet hitam yang gurih terbuat dari beras ketan dan perpaduan rasa manis gula jawa, ditambah gurihnya santan serta aroma daun pandan, membuatku tak dapat melanjutkan perjalanan. Akhirnya aku pun berhenti dan ingin segera menikmati segarnya es yang terkenal di kota ini.Â
Senyum manis tersungging pada gadis berkebaya kuning kunyit bosok atau bahasa kerennya adalah mustard serta rok kain jarit, membuat bertambah ayu parasnya, bila dipandang tidak membosankan. Kuparkir motor gede milikku di samping warung.
"Dek, beli dawet irengnya, ya," ucapku kemudian duduk di kursi yang telah tersedia. Sembari melihat-lihat sekeliling warung, aku pun terpana ketika membaca banner yang terpasang di bawah tulisan "Dawet Ireng Khas Butuh" tertera tulisan yang menurutku agak jorok, "JEMBUT".Â
Kemudian aku pun menanyakan hal itu kepada penjual dawet.Â
"Dek, itu kenapa namanya kok jorok?" tanyaku penasaran. Gadis itu pun tersenyum.
"Mas, itu singkatan dari Jembatan Butuh, karena warung ini terletak di dekat jembatan Butuh." Astaghfirullah, oh iya. Namun tak pantas jika namanya seperti itu.Â
"Sudah terkenal, kok, Mas," lanjutnya.Â
"Iyakah?"
"Coba cari di google," pintanya. Karena penasaran dan ingin membuktikan, aku pun mencari di mesin pencarian. Ternyata benar, namanya memang unik bin nyentrik dan saru dikit tapi banyak yang melirik, karena menarik, asyiiik. "Eh iya," ucapku sembari terkekeh. "Ada-ada saja."
"Ini, Mas, dawetnya." Gadis itu menyodorkan dawet ireng buatannya. Tak perlu menunggu lama, segera kumasukkan ke dalam mulut dan melewati kerongkongan yang tandus bagai gurun pasir. "Segarnya."
"Dek, nambah lagi," pintaku, rasanya segelas besar tidak cukup mengobati dahaga ini. Kuberikan gelasku agar diisi kembali. Kali ini, aku melihat cara membuatnya. Pertama, sang gadis mengambil dawet yang ada di gentong berisi campuran dawet, santan dan es batu. Setelah itu, ia memasukkan air gula jawa yang telah dipanaskan hingga mengental, kalau bahasa Jawanya namanya juruh.Â
"Ini, Mas."
"Terimakasih. Ngomong-ngomong, Mbak namanya siapa?" Iseng aku bertanya, siapa tahu bisa jadi pacar.Â
"Namaku Lastri, Mas." Hmm, nama khas Jawa.Â
"Boleh minta nomor hp? Siapa tahu kalau pas lewat sini terus mau beli dawetnya lagi, terus lupa tempatnya, bisa telepon, hehe." Mulai ngebucin
"Kan gampang, Mas, tinggal cari jembatan Butuh, lalu sebelah timurnya," ucapnya sembari tersenyum. Sungguh, gadis berlesung pipit penjual dawet itu terlihat sangat manis semanis dawet Ireng yang ia buat.
"Hehehe."Â
Baru saja aku selesai minum dawet gelas kedua, datang seorang pria dengan badan sedikit gemuk dan berkumis tebal.Â
"Monggo silakan duduk," ucapku sok ramah karena kukira pelanggan. Kebetulan di sampingku masih ada kursi kosong.
"Oh, nggak perlu, dienakin saja," balas pria itu.Â
"Pakne, gantian, aku mau salat," ujar gadis itu. Pakne? Kok pakne, sih.Â
"Iya, Dek, kamu salat dulu biar aku yang jaga," ujar pria dengan kulit sawo matang condong hitam.Â
Tak lama, sang gadis itu pun pergi digantikan pria itu.Â
"Pak, itu anaknya?" tanyaku. Pria itu tersenyum.Â
"Bukan, dia itu istriku," ucapnya membuatku hampir saja terjungkal.
Gubrak!!!
----
Please, rate, komen dan follow akunku, yah. Terimakasih.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H