"Akibate apa, Mbah?" tanya Mang Kartam.
"Nyong ora ngerti, sing uwis-uwis, usahamu bangkrut, melarat maning kaya gemiyen. Ari ora, salah siji ana sing kena penyakit."
Untuk kesekian kalinya, Srinten dan Mang Kartam saling pandang. Mereka menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan.Â
"Piben, Mak, siap apa ora ari kaya gemiyen maning?" tanya Mang Kartam kepada Srinten.Â
"Piben, ya, Bah. Angger nyong bisa duwe anak maning, nyong siap. Pambelih mlarat sing penting duwe anak," jawab Srinten mantap.
Setelah berdiskusi, akhirnya mereka memutuskan untuk mengembalikan jimat yang diberi Mbah Subur. Mbah Subur menerima jimat tersebut dan mulutnya komat-kamit membaca mantra.Â
"Jimate wis tak tampa, aja kaget ari ana kejadian sing ora diduga."
Kedua suami istri mengangguk dan akhirnya berpamitan untuk pulang. Belum sampai rumah, dia mendengar bahwa semua kios di pasar telah ludes dilalap api, entah apa penyebabnya yang jelas kerugiannya ratusan juta.Â
"Piben kie, Bah, sesok piben? Awake dewek pan dagang apa? Kiose ludes nembe bae jimate dibalekna, kejadian langsung ana bae," ujar Srinten sembari menangis. Mereka menuju ke pasar dan melihat kios yang terbakar.Â
"Awake dewek esih duwe mobil box , mengko didol nggo mbeneri kios," jawab Mang Kartam menenangkan.Â
Mereka menawarkan mobilnya kepada rekan kerja, tetapi belum laku karena menjual mobil itu tidak seperti mereka menjual makanan. Akhirnya dengan terpaksa mobil dijual murah karena butuh. Uang hasil penjualan mobil untuk merenovasi kios, tetapi tidak cukup karena ada lima kios yang harus dibetulkan. Srinten menjual semua perhiasan yang dia miliki.Â