Mohon tunggu...
Lestari Anfa M
Lestari Anfa M Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pamulang Prodi Sastra Indonesia

Kegemaran? Menulis dan bernapas.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Pengakuan Pembawa Tragedi

4 Juli 2023   08:45 Diperbarui: 4 Juli 2023   08:49 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku terbangun di atas meja makan yang asing. Ada seorang ibu yang dipanggil mama yang sedang menata piring dan gelas. Seorang anak perempuan mengambil roti di atas meja, mengolesnya dengan selai lalu duduk di kursinya. Seorang adik laki-laki menenggak susu yang telah disiapkan untuknya lalu bergurau dengan anak perempuan tadi, yang aku kira adalah kakaknya. Selain mereka bertiga, terdapat beberapa orang lagi yang duduk bersama di meja makan ini. Melihat suasana cerah dan sinar mentari yang menembus kaca jendela di ruang makan ini, sepertinya ini waktunya sarapan. Keluarga ini sepertinya termasuk ke dalam keluarga kaya, jika melihat gaya dan perabotannya yang terlihat mewah dan modern. Mereka terlihat saling menyayangi dan saling menjaga. Tetapi masalahnya adalah aku tidak tau mereka siapa, ini di mana, siapa aku di keluarga ini, kenapa dan bagaimana aku bisa berada di sini? Aku tidak mengenal mereka sama sekali.

Sebuah ingatan masuk ke dalam pikiranku. Samar-samar aku mengerti bahwa papa mereka sudah meninggal. Itu sebabnya aku tidak melihat sosok papa di rumah ini. Aku kurang paham, entah papa mereka meninggal karena penyakit, atau papa mereka kabur meninggalkan mereka lalu meninggal di tempat kaburnya itu. Yang pasti adalah terasa kebencian dan perasaan sakit hati dari mereka untuk papa mereka. Tetapi karena mereka sudah memaklumi dan memaafkan papa, mereka bisa bercanda dark jokes tentang papa.

Pagi itu mereka membicarakan tentang papa. Detik itu juga, mulai muncul satu persatu kejadian janggal dalam rumah ini. Mulai dari benda besar yang jatuh secara tiba-tiba dan menimpa salah satu anggota keluarga ini, didorong dari tangga oleh sosok misterius, diseret sampai beberapa meter oleh makhluk tak kasat mata, sampai penampakan hantu papa yang berkeliling rumah membawa senjata tajam untuk menusuk siapapun yang ditemui olehnya, dan lain-lain. Teror semakin parah dari waktu ke waktu. Sampai hantu papa memiliki wujud yang benar-benar bisa menyentuh, dia mulai menghancurkan perabot rumah dan mengejarku. Aku bersembunyi di reruntuhan lemari kayu yang dihancurkan papa sebelumnya. Aku tidak mengerti kenapa papa meneror keluarga ini. Padahal yang seharusnya balas dendam adalah keluarga ini kepadanya, dan bukan sebaliknya. Papa yang pergi dan melukai hati keluarga ini, tetapi kenapa papa yang memiliki dendam sampai membuat teror seperti ini?

Wujud papa adalah setengah roh dan setengah manusia. dari atas kepala sampai lutut, papa berwujud manusia. Jadi, papa bisa memegang benda padat dengan mudah. Dari lutut sampai telapak kaki, wujudnya adalah roh dan ditutupi kabut. Itu memudahkan papa untuk berlari dan mengerjar siapapun dengan mudah.

Dua anggota keluarga ini berhasil dibunuh oleh papa. Kakak laki-lakiku sedang sekarat dan aku dalam pengejaran papa. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan suara apapun di tempat persembunyianku agar papa tidak dapat menemukanku. Tetapi aku tak bisa mengendalikan suara napasku yang terlalu keras dan tak beraturan akibat lelah berlari, sehingga suaranya terdengar oleh papa dan dia menemukan aku.

Dalam waktu beberapa detik selama papa menghampiriku, aku mempertanyakan banyak hal. Sebenarnya, kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku harus dibunuh? Ini semua salah siapa? Salahnya dimana? Aku salah apa? Salahnya mulai dari mana? Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku harus mengalami ini? Aku menangis ketakutan. Tubuhku gemetar hebat. Dalam adegan ini, kesadaranku seperti terpecah menjadi dua. Sebagai anggota keluarga ini, aku tidak memiliki ingatan tentang sosok papa dan aku tidak ingin mengakui bahwa aku memiliki papa. Aku tidak mengenal papaku sendiri dan aku berpikir aku tidak memiliki sosok papa. Sebagai seseorang yang tiba-tiba berada dalam situasi ini, dan tidak mengetahui secara jelas apa yang sebelumnya terjadi antara keluarga ini dan papa, aku benar-benar mengetahui bahwa aku tidak memiliki papa. Lebih tepatnya, aku tidak memiliki seseorang yang kupanggil papa dan aku tidak memiliki 'papa' dengan wajah seperti itu. Aku sangat berharap ini adalah mimpi dan segera terbangun dari tidurku.

Karena kesadaran dan pemikiranku yang seperti ini, dalam hatiku mulai terucap kata-kata yang seperti mantra. "aku gak punya papa. Aku gak punya papa. Aku gak punya papa, kamu salah orang. Aku bukan anak kamu, jadi, kamu gak bisa bunuh aku. Aku gak punya papa. Aku gak punya papa!" aku mengucapkan itu berkali-kali sampai akhirnya terucap lewat bibirku tanpa sadar. Lalu situasi mulai berubah.

Karena suara geraman papa perlahan menghilang dan diganti dengan keheningan, aku membuka mataku pelan-pelan. Aku melihat bayangan yang seperti khayalan, adegan dimana aku pertama kali hadir dalam keluarga ini. Maksudku, saat aku terbangun di atas meja makan asing. Aku melihat adegan yang sama saat kakak perempuan mengambil roti sambil membicarakan tentang papa. Aku langsung mengerti bahwa itu lah yang menyebabkan papa datang. Sebuah pengakuan. Sesuatu yang seharusnya tidak diakui jika kami memiliki beliau sebagai papa, dan beliau bukan sosok yang sebaik itu sampai bisa diakui sebagai papa dengan perasaan lega seperti itu.

Kemudian seperti diberikan kesempatan, waktu menjadi mundur dan terputar kembali ke adegan paling awal. Saat kakak perempuan mengambil roti di atas meja, dengan sedikit bersyukur memiliki kesempatan untuk mencegah tragedi, aku berteriak dengan kencang, "AKU GAK PUNYA PAPA!". Semua langsung melihat ke arahku dengan terkejut.

"Kita punya papa, sayang. Kita punya papa, tapi udah gak ada. Hahaha" kakak perempuan itu menjelaskan dengan santai. Aku bersikukuh, "aku gak punya papa! Aku gak punya papa! Aku gak punya papa!" aku terus mengucapkan mantra itu tanpa membuang waktu sedetik pun. Karena sedetik saja aku melewatkannya, aku bisa melihat papa yang mulai hadir di antara kami. Papa memerhatikan kami dari sudut ruangan sambil berdiri dengan tatapan yang dingin, kosong namun tajam. Sangat menyeramkan.

"AKU GAK PUNYA PAPA! AKU GAK PUNYA PAPA! AKU GAK PUNYA PAPA! SANA, PERGI! JANGAN SAMPAI TERULANG LAGI! AKU GAK PUNYA PAPA!" aku menutup telingaku dan terus berteriak dengan kalimat yang sama sampai keluargaku sangat cemas melihatku. Mereka bertanya dan berusaha mencari tahu apa yang terjadi dan kenapa aku seperti ini. Aku ingin menjelaskannya, tetapi jika aku berhenti mengucapkannya, kehadiran papa akan semakin kuat dan jelas. Karena aku terus menerus mengucapkan kalimat itu, kehadiran papa semakin melemah dan memudar. Jadi, tidak ada pilihan lain selain aku harus terus mengucap kalimat yang sama berulang kali sampai papa benar-benar pergi. Kemudian saat papa benar-benar menghilang, aku terbangun dari tidurku. Ternyata, semua yang kualami ini hanyalah mimpi buruk saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun