Sebuah Pengakuan Dari Overthinker Girl
Aku merapihkan tampilanku untuk terakhir kalinya di depan cermin sebelum aku berangkat sekolah. Sekarang hari senin, pukul setengah 6 pagi. Aku sudah siap pergi ke sekolah dengan semangat 45 dan senyuman cerah yang tidak bisa kutahan.
Mungkin untuk sebagian besar murid, hari senin bukanlah hari yang menyenangkan karena hari pertama masuk sekolah dan juga diharuskan untuk mengikuti upacara. Tapi bagiku, senin adalah hari kesukaanku. Apalagi saat upacara, pasti dengan senang hati aku berbaris di bagian paling depan. Mengapa? Mungkin kamu bisa menebaknya? Hehe.
Jawabannya mungkin sama seperti kebanyakan anak remaja seusiaku. Bisa tebak apa? Ya, karena seseorang. Dia adalah Aqie. Bukan nama aslinya, tetapi orang-orang memanggilnya begitu. Dia adalah alasanku mengapa aku senang sekali pergi ke sekolah. Aku menyukainya sejak setahun lalu. Tepatnya saat aku melihatnya berada diantara kerumunan kakak alumni sekolah SMP-ku saat acara perayaan ulang tahun sekolahku. Sejak pertama kali melihat wajah tenangnya, aku langsung kesulitan untuk tidak mencuri pandang terhadapnya. Alasannya? Sudah tentu karena dia sangat tampan! Selain itu, wajahnya juga terlihat asing. Bukan asing seperti bule maksudku. Yah, apa kamu paham?
Aqie, maksudku kak Aqie memang pernah bersekolah di SMP-ku. Tapi aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Makanya aku bertanya kepada teman-temanku. Kata mereka, kak Aqie sempat bersekolah di SMP-ku tapi hanya setahun. Kelas 8, dia pindah. Meski hanya setahun, menurut kabar yang beredar, dia sudah populer. Selain populer karena wajahnya, dia juga sudah direkrut menjadi anggota paskibra sekolah sejak awal masuk sekolah karena tingginya.Â
Saat itu dia masih menjadi komandan atau pemimpin barisan. Tapi karena aksinya saat melapor kepada pemimpin upacara yang benar-benar tegas dan serius, dia menjadi pusat perhatian. Dia banyak mendapat komentar bagus dari warga sekolah. Keren, tampan, gagah, dan lain-lain menjadi predikatnya. Dia terkenal di seluruh sekolah. Setelah bergabung secara resmi menjadi anggota ekskul paskibra, kak Aqie dan tim nya sering ikut lomba dan selalu menang. Prestasi di kelasnya juga bagus. Paling kecil, nilainya adalah 78. Attitudenya bagus, walau orangnya sangat pendiam dan dingin, katanya. Itu kata teman-temanku, ya!
Kok teman-temanku tau dan aku tidak tau? Padahal kan, hanya selisih setahun waktunya? Aku tidak tau. Mungkin karena pada saat kak Aqie masih menjadi perbincangan hangat, "murid emas yang disayangkan pindah sekolah", yaitu saat aku masih menjadi murid baru, aku tidak terlalu begitu update soal lawan jenis. Apa lagi kalau kejadian yang membuat hebohnya tidak aku saksikan secara langsung.
Singkat cerita setelah melihat dia, juga mendengar ceritanya, aku menjadi selalu memikirkannya. Seminggu, dua minggu. Aku belum menyadari aku menyukainya sampai aku melihatnya lagi di bioskop. Aku dan teman-teman di kompleks perumahanku pergi menonton film yang sedang terkenal saat itu dan aku melihatnya. Aku melihatnya bersama seorang perempuan, berdua. Mereka terlihat akrab meski kak Aqie sedikit terlihat dingin. Tapi bisa dipastikan saat dia berbicara kepada perempuan itu, dia berbicara dengan kasih sayang meski jika dilihat oleh pengelihatan kasar tidak begitu. Maksudku, kamu tau tsundere? Seperti itu lah kira-kira. Di situlah aku merasa sedih. Banyak pertanyaan muncul di kepalaku. "Apa itu pacarnya? Yah, sudah punya pacar, dong, ya? Kok mendadak sedih? Kenal saja tidak. Suka saja tidak, kok"
Saat aku mengangkat kepalaku, aku tak sengaja melihat kepadanya dan dia juga sepertinya tidak sengaja melihat kepadaku. Aku ingin menyapanya! Entah kenapa, aku ingin sekali menyapanya meski tau dia sedang bersama pacarnya. Aku hanya ingin menyapa, sopan santun adik kelas terhadap kakak kelas. Jadi dengan gugup, gagap dan kikuk, aku maju mendekatinya.
 Saat aku berjalan ke arahnya, jantungku berdegup kencang. Entah karena baru pertama kalinya menyapa kakak kelas yang tidak kukenal terutama dia laki-laki atau karena hal lain. Saat itu waktu terasa lambat, di mataku rasanya hanya ada dia. Fokusku menjadi hanya kepada kak Aqie. Dan entah hanya khayalanku saja atau kenyataan, kak Aqie juga melihat kepadaku. Maksudku, melihatku dengan lama. Sejak awal mata kita bertabrakan sampai aku berdiri di hadapannya. Ah, tidak mungkin. Bisa saja karena melihat sesuatu di belakangku, kan?
"H-halo, Kak!" Sapaku.
"Ya?" Jawabnya dengan pertanyaan. Sampai detik itu, aku baru menyadari bahwa aku belum menyiapkan bahan basa-basi apapun. Aku tidak tau apa yang harus aku katakan.
"Um, mm, ingin nonton ya, Kak, sama pacarnya?" Pertanyaanku bodoh. Jelas, kan, ini bioskop, tempat menonton? "Aku Amea, Kak, kenalin! Adik kelas Kakak di SMP 3. Aku kelas 9-" ucapanku terhenti karena menyadari omonganku sepertinya aneh dan juga menyadari ekspresi terkejut dan bingungnya.
"O-oh maksud aku, aku hanya ingin menyapa saja, Kak! Sopan santun adik kelas ke kakak kelasnya, begitu. Hehe" aku berusaha mencairkan situasi dan tidak gugup. "Oke, kalau begitu lanjut saja, Kak, silakan" aku senyum padanya juga pacarnya. "Aku kembali ke teman-temanku, Kak! Have a good day!" Aku menganggukkan kepala sedikit lalu berbalik. Aku merasa aku bertingkah sangat konyol. Pasti aku terlihat seperti orang bodoh di depan kak Aqie. Malunya!
Malamnya, aku bermimpi tentang kak Aqie. Dalam mimpi itu, kak Aqie berbeda dari yang orang-orang gambarkan. Dia sangat manis, dia hangat dan juga perhatian. Dia selalu tersenyum kepadaku. Dia juga mengatakan kata-kata yang manis. Aku bahkan sampai berdebar dalam mimpiku. Ah, mimpiku memalukan sekali, ya? Aku malu sekali.
Karena masih penasaran tentang status nya kak Aqie, masih jomblo atau sudah berpacaran, aku bertanya kepada teman-temanku yang paling update. Tapi aku malah disuruh bertanya sendiri pada orangnya. Tidak bisa kulakukan, itu jelas.
Malamnya lagi, aku bermimpi kak Aqie lagi. Tapi kali ini ada pacarnya kak Aqie. Aku merasa, sepertinya aku tidak boleh kepo dengan urusan kak Aqie. Mimpi itu seperti meyakinkanku bahwa perempuan di bioskop saat itu memang pacarnya kak Aqie. Tapi menyedihkannya, keesokan hari nya aku jadi menyadari bahwa aku jatuh cinta kepadanya.
Kira-kira sebulan kemudian, aku mengetahui fakta di antara kak Aqie dan perempuan itu. Tebak apa?
Aku bertemu lagi dengannya. Kali ini di toko buku. Dan kali ini aku hanya sendiri, hendak membeli buku pelajaran tambahan yang disarankan guruku. Dan kali ini pun, aku melihatnya bersama perempuan itu. Lagi. Karena aku sudah menyadari perasaanku, aku menjadi merasa panas hati melihat mereka berdua. Aku berusaha menghindari kak Aqie, menjauh. Tapi tanpa sadar, aku malah bertemu dengannya di rak komik. Mau tidak mau, aku harus menyapanya.
"Halo, Kak! Kita ketemu lagi" aku tersenyum, dan dia memperhatikan aku. Mungkin mengingat-ingat.
"Aku yang waktu itu di bioskop, Kak! Lupa, ya?" Dia masih diam.
"Oh tidak apa-apa, kok, kalo tidak ingat juga. Lagi mencari buku bersama pacarnya yang waktu itu, ya? Aku juga kebetulan la--"
"Amea" ceplosnya yang membuatku menganga. Semacam terkejut dan sedikit kehilangan kata karena dia mengingat namaku. "Ingat, kok. Nama kamu unik, jadi ingat" lanjutnya sambil melihat-lihat judul-judul komik lagi.
"O-oh ingat, ya? Haha. Syukurlah kalau Kakak ingat. Hehe" aku meliriknya sedikit. Lalu berusaha mencari jalan keluar agar tidak canggung.
"Lagi menemani pacarnya mencari buku, ya? Aku juga sedang mencari buku, Kak, buku pelajaran. Disuruh guruku mencari buku tambahan."
"Buku pelajaran bukannya sebelah sana?" Kak Aqie menunjuk rak buku pelajaran. Aduh kak, aku tau. Tapi di sana ada pacar kakak, jadi aku kabur ke sini. Tapi tidak tau jika malah ada kakak di sini. Ingin sekali aku mengatakan itu.
"Iya, Kak. Pusing baca judul buku pelajaran. Jadi aku melihat-lihat komik dulu. Ya sudah, kalau begitu aku lanjut mencari buku lagi, ya. Dah, Kak!"
"Hei." Kata itu terucap dari mulutnya. Aku berbalik dengan sedikit ragu. "Dia bukan pacarku." Katanya tiba-tiba.
"H-hah?"
"Kamu selalu bilang dia pacarku. Aku tidak punya pacar, dia bukan pacarku--"
"Aa! Bukunya sudah ketemu!" Sahut seseorang dari belakang kak Aqie. Dia adalah perempuan yang kusebut sebagai pacarnya kak Aqie. "Ayo bayar, eh? Teteh yang waktu itu, ya?" Tanyanya ketika melihatku.
"Sekedar informasi aja" katanya lalu pergi begitu saja dengan perempuan itu. Aku masih terdiam dan berusaha mencerna apa yang terjadi.
"Perempuan itu bukan pacarnya? Terus siapanya? Kenapa tiba-tiba? Maksudnya? Kenapa dia memberi tahu begitu?" Aku jadi bertanya dan mengkhayal. Berasumsi sebentar, bahwa kak Aqie tidak ingin aku salah paham jika dia sudah mempunyai pacar. Yang berarti juga kak Aqie menyuk---ah, aku tidak ingin melanjutkannya. Aku menutup mukaku demi menutupi senyumku yang sepertinya amat sangat lebar. Aku juga menahan suaraku agar tidak terdengar. Aku ingin berteriak karena mengetahui dari mulutnya langsung bahwa perempuan itu bukan pacarnya. Sesenang itu. Setelah meredakan perasaanku, aku kembali mencari buku yang aku butuhkan. Dengan sesekali tersenyum.
Lalu aku pun akhirnya mengetahui bahwa perempuan itu adalah adiknya. Aku mengetahuinya setelah stalking di media sosial. Awalnya aku mencari media sosial kak Aqie tapi tidak ketemu. Mungkin memang tidak punya. Lalu aku mencari tau tentang adiknya, yang aku tau kak Aqie memiliki adik perempuan dari teman-teman di sekolahku. Dan aku mencocokkan informasi-informasi yang kupunya dengan informasi yang kudapat dari teman-temanku.Â
Sejak mengetik username adik kak Aqie di bar pencarian, aku berharap dan berdoa agar adik perempuan kak Aqie adalah orang yang sama dengan perempuan yang kulihat dua kali dengan kak Aqie itu. Dan setelah melihat hasilnya, bisa kamu tebak. Itu sesuai dengan harapanku. Aku menahan teriakanku dan melompat-lompat di dalam kamarku.
"Berarti, aku masih punya kesempatan! Berarti kak Aqie jomblo! Yes!! Tapi kak Aqie kenapa memberi tahu aku begitu, ya? Kayak khawatir aku salah paham. Apa sebenernya dia juga suk--" aku menutup wajahku lagi dan melemparkan diriku ke atas kasur. Menendang-nendang di bawah selimut. Meski terdengar halu dan alay, tapi aku berpikir begitu. Aku berpikir bahwa kak Aqie juga menyukaiku. Tentu saja itu hanya dalam pikiran dan khayalanku. Ciri khas seseorang yang sedang jatuh cinta. Haha.
Maka dari itu, aku bertekad sepenuh hati untuk mencoba mendekatinya. Aku ingin dekat dengan kak Aqie! Lalu aku menyusun rencana. Aku berencana untuk masuk ke sekolah SMA yang sama dengannya. "Siapa tahu bisa jadi dekat, terus... terus... aaaa" aku malu-malu membayangkannya.
Jadi di sinilah aku. Sudah setengah tahun ajaran aku bersekolah di sekolah yang sama dengan kak Aqie. Dan selama itu pula, aku berkali-kali mencoba mendekatinya. Terkadang usahaku mendapat perhatiannya, terkadang juga tidak. Apa dia menyadari itu? Aku sudah berusaha menunjukkan perasaanku berkali-kali di berbagai kesempatan. Setidaknya begitu menurutku.
"Aku menyukai kakak! Sejak pertama kenal!"
"Kak, Kakak bersedia tidak, jadi pacarku?"
Aku sudah menyiapkan mental dan kata-kata untuk mengungkapkan perasaanku. Tapi kata teman-temanku, aku tidak boleh melakukannya.
"Tunggu sebentar lagi," kata mereka. "Harusnya laki-laki yang mengungkapkan perasaan. Kak Aqie sepertinya suka padamu. Tapi belum jelas. Dia orangnya dingin, sih. Tapi sejauh ini, orang yang bisa sedekat itu dan bisa berbicara dengannya, hanya kamu, sih"
Aku jadi bingung karena perkataan teman-temanku. "Hei Kak, apa tidak bisa, ya, aku langsung bicara saja, kalau aku menyukai kakak?" Batinku setiap melihatnya dari kejauhan. 'Apa kakak juga suka aku? Aku rasa sikap kakak kepadaku dan sikap kakak kepada orang lain berbeda. Tapi kakak tidak memberi kejelasan, suka atau tidak, padaku. Apa sebenarnya tidal suka tetapi tidak enak menolaknya? Tunjukkan pikiranmu, dong, kak! Hatimu, perasaanmu sesungguhnya kepadaku'
Hari minggu kemarin kita bertemu. Di toko donat sekaligus eskrim langgananku. Kak Aqie mengajakku ke toko aksesoris setelah itu. Dia menyuruhku memilih satu kalung. Aku tau, ini biasa terjadi di film-film atau drama-drama. Tokoh pria meminta tokoh wanita untuk memilih perhiasan. Saat si wanita sudah senang dan berpikir itu untuknya, ternyata untuk wanita lain. Maka dari itu, aku berpikir bahwa itu untuk Fathia, adik perempuannya. Setelah memilih, kak Aqie mengantarku pulang. Dan saat hendak pulang, di depan rumahku, dia mengatakan sesuatu yang sangat membuatku berdebar.
"Makasih, ya, sudah bantu pilih" katanya tersenyum. "Aku senang bertemu kamu."
Aku mengangguk, tidak ada pikiran apa pun. "Iya, Kak, sama-sama. Aku juga sekalian jalan-jalan jadinya hehe"
"Aku selalu senang kalau bertemu kamu. Selalu senang jika sedang bersama kamu. Tidak tahu mengapa"
Deg deg deg deg.
'Apa ini? Apa ingin menembakku? Omg!! Jantungku!!'
Tapi dia langsung memutar balikkan motornya dan berkata, "Kalau butuh sesuatu, minta aku ya, untuk membantumu. Aku akan senang hati membantu kamu." Dia tersenyum manis. Seperti bukan kak Aqie yang biasanya, bukan kak Aqie yang digambarkan orang-orang. "Aku pulang dulu"
Baru satu, dua meter motornya berjalan, aku memanggilnya dengan kencang. Dia berhenti dan menoleh ke belakang.
"Kenapa? Kenapa Kakak senang?" Tanyaku dengan harapan.
Dia hanya senyum, diam. Lalu menjawab, "suka?" Lalu dia langsung menggas motornya dan pergi. Meninggalkan aku yang mematung di pinggir jalan, depan rumahku. Aku terjatuh, badanku lemas. Aku terlalu berdebar sehingga bagian tubuh lainnya seperti mati rasa.
'Suka? Apa maksudnya suka? Dia suka aku? Suka seperti apa? Seperti kakak kelas kepada adik kelas, teman, atau pacar? Kenapa dia bilangnya seperti itu? Kenapa tidak menembakku? Dengan benar?'
Dan saat ini, di lapangan upacara ini, aku sedang memperhatikannya. "Calon pacarku". Sepertinya aku tersenyum begitu lebar, jadi aku berusaha menahannya. Mencoba untuk tidak tersenyum saat melihatnya memimpin upacara dengan gagahnya. Setelah upacara selesai, ada waktu kira-kira 10 menit untuk istirahat sekaligus mempersiapkan pelajaran. Dan di sela waktu itu, aku menghampiri kak Aqie. Ingin memberinya minum. Pasti haus, setelah berteriak-teriak.
Dia ada di depan OSIS, duduk di kursi yang tersedia. Di sampingnya ada kakak kelas perempuan yang berusaha memberi air mineral kepada kak Aqie. Kesenanganku otomatis menurun. Tapi naik kembali saat melihat kak Aqie menolaknya. Pandangan kami bertemu. Aku menghampirinya.
"Amea?" Kata kak Aqie.
"Kak, aku bawa minum untuk Kakak"
"Duh, adik kelas yang satu ini, sangat perhatian, ya, sama kakak kelasnya? Tapi Aqie sudah ada minum, nih" kakak kelas perempuan itu mengibas-ngibaskan botol minuman di tangannya.
"Makasih ya, Amea. Kebetulan butuh minum, nih" kak Aqie mengambil botol minuman di tanganku dan tidak menganggap omongan kakak kelas itu. Dan dia mengatakan itu sambil tersenyum.
'Wow, sekarang kak Aqie senyum di depan orang. Kak Aqie senyum padaku? Sekarang Aqie sudah berani begitu?' Aku senyum-senyum sendiri.
"Gitu ya, lu, sama gua" kakak kelas itu pergi.
Kak Aqie mengajakku pergi bersama ke kelas. Di perjalanan, kuberanikan diri bertanya.
"Hmm, Kak! Aku ingin tanya"
"Apa itu?"
"Yang kemarin,"
Dia menunduk dan tersenyum.
"Apa yang kemarin itu benar?"
Dia melihatku, senyum malu-malu.
"Ini udah akhir jalan. Yakin pada hasilnya. Aku yakin bahagia" kak Aqie mengatakan kata-kata itu. Aku tidak mengerti maksudnya.
"Maksudnya.. apa ya, Kak?"
"Udah, sana! Waktunya masuk." Dia menepuk-nepuk pucuk kepalaku tapi aku refleks menghindar. Dia pergi.
Sesampainya di kelas, aku terus memikirkannya. Bahkan saat pelajaran sedang berlangsung, aku tidak mendengarkan. Aku terus teringat dan penasaran dengan kalimat-kalimat yang diucapkan kak Aqie. Tanpa sadar, aku menuliskannya di buku tulisku. Dan aku pun menemukan jawabannya.
Lagi, aku menahan senyumanku. Lagi, aku menutup wajahku.
'Baiklah kak, kalau begitu. Aku tidak akan menahannya lagi. Aku akan mengungkapkannya sesegera mungkin. Aku tidak akan ragu lagi buat mengirim pesan dan menelponmu. Aku akan mengajak kakak melakukan banyak kegiatan!' Aku tersenyum sendiri. Dan teman-temanku keheranan melihatku. Aku tidak peduli. Aku sedang senang!
Lalu saat istirahat, aku langsung menemui kak Aqie di kelasnya. Aku ingin mengajaknya menonton film di bioskop akhir pekan ini. Dan aku akan mengungkapkan perasaanku. Aku masih harus mengungkapkannya, karena sebenarnya aku masih bingung dengan pernyataannya kemarin. Apa suka yang dia maksud seperti suka yang aku rasa? Atau bukan? Jika seandainya bukan, aku harus mengikhlaskan diri untuk melepaskannya. Dan harus berusaha menetralkan perasaanku padanya. Atau haruskah aku berjuang lagi, dan terus berjuang? Tapi keyakinanku, perasaan kak Aqie kini sama dengan perasaanku.
"Oke" jawab kak Aqie.
Baiklah, saatnya memikirkan kata-kata yang akan kuucapkan dan merangkainya. Aku juga harus menyiapkan outfit yang akan kupakai nanti. Oh, membayangkannya saja sudah terasa menyenangkan sekali, jika seandainya semua berjalan seperti apa yang aku harapkan.
Aku memang hanya mengajaknya menonton film. Itu pun janjian pukul 2 siang. Tapi kenyataannya lain. Kita malah bertemu sejak pagi. Pukul 9, kak Aqie sudah menjemputku. Tentu saja aku sangat terkejut, sekaligus senang. Apa dia tidak sabar untuk berkencan denganku? Meski mendadak ada perubahan waktu, untung aku sudah siap karena sejak pukul 7 aku memang sudah siap-siap, saking semangatnya. Aku terkikik sebelum akhirnya menemuinya di ruang tamu.
"Teh, Amea berangkat, ya" aku pamit kepada kakak perempuanku, teh Anna. Ya, aku orang Sunda. Tebak, aku tinggal di mana?
"Amea sudah besar, ih. Bisaan saja lagi, dapat nya yang tampan" ceplos teh Anna. Aku malu dan khawatir kak Aqie akan merasa tidak nyaman. Tapi saat kulihat kak Aqie, dia juga tersenyum malu-malu. Oh tidak! Dia terlihat sangat imut. Aku ingin mencubit bahkan mengunyel-unyel wajahnya.
"Ah bukan, Teh! Cuma kakak kelas, kok." Ucapku pelan namun sepertinya bisa terdengar karena suaraku tidak stabil saking groginya diceng-cengin kakak sendiri, di depan gebetan, dan si gebetannya juga hanya tersenyum malu-malu.
Teh Anna mendekatiku lalu berbisik, "yakin, pulang-pulang nanti kalian sudah jadian" yah, harusnya aku mengamini nya dan merasa senang. Tapi hal yang teh Anna yakini biasanya tidak akan menjadi kenyataan. Yah, teh Anna..
Aku hanya tersenyum lalu menarik tangan kak Aqie untuk keluar dari ruangan itu.
"Ayo, Kak! Berangkat sekarang aja! Maafkan teh Anna. memang berisik, orangnya hehe" tapi kak Aqie hanya tersenyum mendengarnya. Duh, siapa yang tidak melting dan berkhayal ini-itu melihatnya? Siapa yang tidak baper? Kak Aqie memberiku helmet lalu menyiapkan motornya. Kami pun berangkat. Sebelum ke bioskop, kami berjalan-jalan dulu mengelilingi setengah kota (kotaku tidak terlalu besar) lalu pergi ke mal yang terdapat bioskop tujuan kami.
Karena film yang akan kami tonton ada juga yang mulai jam 1, kami memilih yang tayang jam segitu. Dan karena sekarang masih pukul 11, kami keliling mall dulu. Pergi ke toko buku, timezone dan foodcourt yang ada. Menyenangkan sekali rasanya! Saat waktu nya tiba, kami memasuki theater. Filmnya dipilih kak Aqie. Tentang aksi. Aku tidak pernah menonton film aksi sebelumnya. Tapi kata kak Aqie, film ini seru. Jadi aku hanya mengikutinya. Dan tidak disangka, memang seseru itu! Hehehe. Kami keluar kira-kira jam 3 kurang dan langsung mencari tempat makan. Lapar! Hehe.
Setelah itu kami berkeliling mall satu kali lagi dan keluar. Sebelum mengantarku pulang, aku memintanya untuk mengajakku berkeliling kota lagi. Sebenarnya aku sedang mempersiapkan mentalku sebelum mengatakan perasaanku padanya. Aku tau mengungkapkan rasa biasanya dilakukan oleh para lelaki. Tapi sepertinya aku tidak bisa menunggu dan akan membuang gengsiku. Jantungku berdegub sangat kencang. Saat melewati jalan raya sepi yang tidak terlalu ramai akan orang-orang yang lewat, aku memintanya berhenti.
Pohon-pohon berdaun lebat yang pucuk-pucuk daunnya seakan menjadi payung untuk menghindarkan siapa pun di bawahnya dari sengatan matahari namun tidak menghalangi sinarnya. Sejuk. Jalan itu tidak terlalu jauh dari rumahku. Biar saat sudah mengungkapkan namun ditolak, aku bisa cepat sampai pulang ke rumah. Meski tidak terlalu jauh dari jalan menuju rumahku, jalan itu sangat jarang kulewati. Jadi jika ditolak, aku tidak perlu melewati jalan atau tempat yang terdapat kenangan tidak baik di dalamnya. Tapi aku yakin, perasaanku dan perasaan kak Aqie saat ini sama. Tidak apa-apa aku bergerak lebih cepat.
"Kamu ada urusan di sini? Kenapa berhenti di sini?" Tanya kak Aqie.
"I-iya. Ada urusan. Kak Aqie tolong berdiri." Meski bingung, kak Aqie menurutiku, dia bangkit dari motornya dan berdiri tegak di hadapanku.
"Kak, aku mohon jangan marah, jangan benci sama aku, ya. Aku ingin memberi tahu sesuatu" sejujurnya, aku takut kak Aqie akan menjadi illfeel padaku karena mengungkapkan perasaan terlebih dahulu.
"Apa itu?" Tanyanya. Aku gugup dan mulutku seakan susah untuk digerakkan. Otak dan hatiku sudah mengatakannya berkali-kali, aku menyukaimu. Tapi mulutku tidak bergerak. Oh apa yang harus aku lakukan?
"Ada apa, Amea?" Tanyanya lagi.
"Mmm.. itu, mm" apa saat laki-laki akan menembak perempuan juga sesulit ini?
"Kak, aku! Aku.. suka Kakak!" Akhirnya terucap! Dia terlihat terkejut. Saat dia membuka mulutnya karena ingin mengatakan sesuatu, aku merasa takut jika dia sudah menolak sebelum aku mengatakan semuanya. Jadi aku memotong perkataannya yang bahkan belum dia mulai.
"Aku, aku! Sudah lama suka. Sejak kelas 9, sejak liat Kakak di antara alumni saat ulang tahun sekolah. Kakak tampan, jadi bikin hilang fokus---pokoknya aku suka Kakak dari awal liat. Terus, terus---" kata-kata yang sudah kupersiapkan hilang.
"Intinya aku suka Kakak, sejak lama. Bukan cuma karena tampan, tapi Kakak baik dan berprestasi dan keren! Ak-ku, aku--"
"Amea, maaf" kak Aqie memotong perkataanku dengan kata 'maaf', yang sudah aku mengerti maksudnya. Tiba-tiba aku merasa seperti ada musik berputar menjadi bgm suasana yang sedang kualami saat ini.
"Whenever you say I'm sorry, I'm ready to go in hurry. Whenever we stay in silence, time is passing by. Don't be complicated, love is incomplete. All I need is you beside me, all I need is you beside me"
Standing Egg - Ironic.
Seperti wajarnya orang-orang yang ditolak, aku merasa sangat sedih dan ingin menangis. Hatiku sangat sakit tapi aku berusaha menahannya. Juga air mataku.
"Ohh.. iya Kak, tidak apa-apa. Aku, aku hanya ingin bilang saja kok, Kak! Tidak berharap lebih juga, haha" tawaku sangat garing. Aku teringat kata-kata teh Anna sebelum aku pergi tadi. Seperti biasanya, apa yang dia yakini adalah kebalikan dari apa yang dia yakini. "Aku sudah selesai memberi tahu perasaanku. Terimakasih sudah mendengarkan. Aku, aku pulang sekarang, ya. Pulang sendiri saja. Dekat, kok! Haha" aku langsung berbalik dan berjalan meninggalkan kak Aqie. Aku berharap cepat sampai rumah dan ingin menangis di balik bantal, di bawah selimut.
"Amea, maaf" ucap kak Aqie lagi.
"Ya, ya, tidak apa-apa, haha. Selow saja, Kak!" Aku menengok sebentar lalu lanjut berjalan.
"Amea!" Panggilnya. Aku membeku. 'Apa lagi? Tidak usah pakai kata-kata yang banyak buat bikin hati aku tidak sakit kak, untuk menghibur, tidak perlu' Aku memohon-mohon dalam hati.
"Kamu pasti kesulitan ya, selama ini? Aku minta maaf"
Aku berbalik, "Ah tidak, kok, tidak---" ucapanku terpotong karena kak Aqie tiba-tiba sudah berada tepat di belakangku dan langsung memelukku beberapa detik.
"Maaf, aku terlalu lambat" aku yang tadinya merasa sakit dan ingin menangis jadi membeku. Terlambat apa? Dan kata-kata kak Aqie selanjutnya terdengar seperti jauh sekali dan samar-samar. Tapi tetap terdengar kata perkatanya.
"Aku terlalu lama mengambil keputusan"
"Aku juga menyukaimu. Sejak setahun yang lalu"
"Aku juga melihat kamu, saat acara HUT sekolah kita"
"Aku juga sempat hilang fokus melihat kamu, kamu paling ceria dan polos di antara teman-teman kamu. Aku ingin kenal, tapi aku tidak tahu caranya karena aku hanya alumnus"
"Tapi beruntung kamu menyapa terlebih dahulu di bioskop. Walau salah paham dulu"
"Saat kamu masuk SMA yang sama denganku, aku sangat bahagia"
"Dan sebenarnya aku sudah merasa kalau kamu juga menyukaiku selama ini, kamu selalu tersenyum padaku dan mengikuti kegiatanku. Tapi aku tidak ingin terlalu pede, karena kamu orangnya memang ceria dan aktif"
"Tapi melihat kamu akrab juga dengan teman laki-laki yang seangkatan dengan kamu, itu membuat aku panas. Jadi, aku juga ingin mencoba mendekati kamu"
"Aku mencoba untuk pertama kalinya meladeni, menanggapi bahkan membalas apa yang orang lain lakukan, khususnya kamu. Aku juga ingin dekat dengan kamu"
"Minggu lalu aku coba sedikit mengungkapkan perasaanku. Dan sebenarnya, hari ini, aku juga.."
"Niat buat menembak kamu"
"Aku tidak menyangka malah kamu terlebih dahulu yang mengatakannya"
"Aku minta maaf karena aku terlalu lambat"
Aku menutup mulutku, wajahku karena tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku mundur selangkah dua langkah, lalu berjongkok karena lemas.
"A-Amea! Kamu tidak apa-apa?" Kak Aqie ikut berjongkok.
"Itu.. serius kak?" Aku mengangkat kepalaku.
Dia mengangguk dengan wajah khawatir dan menjawab, "iya. Aku serius. Tapi kamu tidak apa-apa?"
Ah, kak, kamu tidak mengerti kenapa aku berjongkok.
"Lalu, Kak?" Aku meminta kepastian. Setelah sama-sama mengungkapkan, apa yang akan terjadi?
"Lalu..?" dia terlihat bingung lalu khawatir. Ah, sebenarnya aku tidak tau ekspresi apa yang sedang ada di wajahnya saat ini. Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong denimnya dan menunjukkannya padaku. Kalung itu.
"Mau jadi pacarku?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H