Sejak kecil, aku sangat dekat dengan ibuku. Kemana pun ibuku pergi aku akan mengikutinya. Bahkan ketika ia pergi berjualan di pasar pada pagi hari dan pulang di siang hari pun aku tetap ikut. Begitulah rutinitasku.
Pernah suatu ketika aku bangun pagi, ibu tidak ada di rumah. Dengan sekuat tenaga dan suara sekuat-kuatnya aku menangis. Sampai-sampai aku tak mau makan atau minum. Bahkan bujukan ayah tak kuhiraukan. Barulah setelah ibuku pulang tangisanku terhenti. Aku selalu tersipu malu, jika aku mengingatnya kembali. Hahaha.
Ibu selalu menasihatiku. Jika aku salah pasti aku akan ditegur. Dulu aku sering menganggap kemarahan ibu menandakan bahwa ibu jahat. Namun ternyata itu salah.
Ketika aku sakit, ibu dengan sabar dan penuh perhatian merawatku hingga sembuh. Bahkan ia pernah beberapa kali tudak bisa tidur dan hanya terjaga karenaku.
Sekarang aku sudah besar dan sudah mengerti bahwa aku tak bisa selamanya bersama ibu. Kita punya jalan hidup masing-masing. Aku harus menempuh pendidikan yang mengharuskanku berpisah sementara waktu dari ibu.
Aku harus belajar hidup mandiri. Mau tidak mau semua hal harus aku lakukan sendiri. Ibuku tidak lagi turun tangan langsung membantuku. Hal itu terasa berat bagiku.
Awalnya banyak hal yang tak bisa kulakukan. Misalnya mencuci pakaian atau membersihkan ikan untuk dimasak. Hal itu lantaran ibuku yang selalu mengerjakan pekerjaan tersebut. Namun ibuku selalu sabar mengajariku. Ketika aku meneleponnya dan bertanya, ia dengan sabar menjelaskannya padaku.
Ibuku masih tetap sama. Ibu yang perhatian, penyayang. Pokoknya ibuku yang terbaik.
Aku sayang mama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H