Mohon tunggu...
Bara
Bara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sekolah dengan Hitam Putihnya

10 Juli 2024   20:37 Diperbarui: 10 Juli 2024   20:51 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tepat pukul 07.00 WIB upacara dimulai. Dengan segala keterbatasan mulai dari pengeras suara yang tak tersedia, tiang bendera yang mulai miring ke utara, petugas upacara seadanya, begitupun peserta upacara yang hanya dua baris saja. Semua berjalan damai dan khidmat hingga tiba waktunya saya memperkenalkan diri kehadapan guru dan siswa.

"Perkenalkan saya Tara, guru muda pengampu pelajaran seni budaya." 

Secara resmi saya menjadi bagian sekolah tersebut. Segala persoalan mengenai kelam keluhnya sekolah ini saya sudah berhak mengetahuinya. Keyakinan itulah yang mengantar saya ke ruang guru dan bertanya ke guru senior mengenai anak bernama Manda.

" Manda itu anak kurang mas, bapak dan ibunya saja menelantarkan dia karena malu mempunyai anak seperti dia. Kami menerima Manda di sekolah karena tuntutan pemenuhan kelas." Jawaban guru senior yang cukup membuat saya kaget. 

"Bayangkan saja mas, SPP dia dari kelas 7 hingga sekarang kelas 9, belum dibayarkan. Padahal totalnya mencapai 2 juta dan itu sangat cukup untuk menggaji sampean mas. Dengan kekurangan administrasi tersebut mas, kita pihak sekolah sedikit mengurangi hak dia mulai dari tidak boleh ikut ujian sekolah hingga penahanan ijazah" Imbuh guru senior tersebut.

Penjabaran singkat guru senior tersebut menjadikan saya diam sejenak membayangkan masa depan anak-anak tak berdosa yang tertutup oleh kerasnya dunia pendidikan. Mereka dipaksakan menerima kenyataan dunia pendidikan yang kejam. Pola pikir saya mengenai dunia pendidikan mulai sedikit berubah hanya dalam hitungan jam saja. Saya melupakan pelajaran terpenting mengenai dunia pendidikan, bahwa ujaran Tuhan menciptakan manusia dengan akal dan pikiran dasar untuk selanjutnya dikembangkan oleh manusianya sendiri melalui pendidikan. Perlu digaris bawahi, syarat dan ketentuan berlaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun