Mohon tunggu...
azhar
azhar Mohon Tunggu... Lainnya - Ingin Jadi Penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Anomali Malam Pergantian Tahun di Negeri Komunis

1 Januari 2016   10:23 Diperbarui: 1 Januari 2016   10:50 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Euforia malam tahun baru begitu riuh di berbagai penjuru planet ini, kita bisa melihat bagaimana kompaknya masyarakat dunia merayakan momen malam pergantian tahun menjadi sesuatu yang (masih) menarik untuk ditunggu. Berbeda dengan Paris dan Brussels, tempat yang sebelumnya menjadi tujuan para pelancong untuk menyaksikan megahnya pesta kembang api, tahun ini ditiadakan oleh pemerintah setempat karena sulitnya mengantasipasi ancaman teror ditengah membludaknya warga di pusat keramaian.

Perayaan malam tahun baru bukan hanya sekedar pesta kembang api, jika bijak melihat sekitar, banyak yang menyikapinya jauh dari kesan hedonis, mengikuti pengajian di masjid untuk bertafakkur, kontempelasi, dan mulai menerka-nerka target yang akan dicapai tahun depan dan menulis kembali nawacita yang belum terwujud dari lembaran resolusi tahun sebelumnya. Adapula yang memanfaatkan sebagai momen untuk berkumpul bersama keluarga, merayakannya secara sederhana sesuai anjuran dari bapak Menteri Agama RI. Beda halnya dengan Pak Jokowi yang memanfaatkan momen malam tadi bersama warga Raja Ampat, bukan soal prosesinya, tetapi ingin memberi kesan sebagai pemimpin yang adil dan sadar bahwa Jokowi bukan hanya milik masyarakat pulau Jawa.

Malam Tahun Baru di Guangzhou

Berbeda dengan mayoritas masyarakat Guangzhou, Cina. Sejak pagi hingga menjelang detik-detik pergantian tahun saya tidak melihat ada tanda-tanda menyambut malam pergantian tahun sebagai momen yang spesial di tempat ini. Dalam hal ini tidak berlaku di beberapa daerah teritorial yang lain seperti Hongkong dan Macau yang mendapat pengecualian dan perlakuan istimewa dari Pemerintah Cina. Tentu menjadi paradoks, di negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia, khususnya di Guangzhou tidak ada pesta pora menghabiskan biaya ratusan juta bahkan milyaran untuk membuat orgasme warganya dengan pesta kembang api.

Fenomena di atas tidak lepas dari paham komunis yang dianut negeri ini, bagaimana pemerintah dengan sistem tangan besi mengatur masyarakat berpenduduk 1.374.040.000 jiwa dengan sangat tertib. Segala kebijakan yang dibuat oleh pemerintah diterima dengan besar hati demi kemajuan bangsa. Padahal kalau melihat kembali jejak historis, 50 tahun yang lalu kita memulai dari titik yang tidak jauh berbeda, namun sekarang ekonomi Cina sudah berada pada level high income sementara Indonesia saat ini lagi on the way middle income. Setiap paham yang dianut memang ada baik dan buruknya, di negara kita 200 perak dari setiap liter premium yang dialokasikan untuk dana ketahanan energi masih dipersoalkan dan dianggap sebagai pungutan liar oleh beberapa argumen yang sarkastik, padahal semua ini demi terwujudnya kemandirian energi nasional sebelum tiba saatnya krisis energi fosil. Berbeda dengan Cina yang pemerintah dan masyarakat saling bersinergi, tidak heran jika sejumlah lembaga Internasional memprediksi 2016 ekonomi Cina melampaui ekonomi Amerika Serikat. 

Melewati malam tahun baru kali ini menjadi momen yang tepat untuk refleksi diri, bagaimana pemerintah tidak mendidik masyarakatnya menjadi kaum yang hedonis dan konsumtif. Canton Tower yang menjadi icon salah satu negara pusat grosir dunia ini pun hingga pukul 24.00 tidak nampak kerlap-kerlip kilauan cahaya kembang api. Indonesia sebagai negara yang masih menganut falsafah ketimuran, pun dalam perspektif teologi tidak baik jika berlebih-lebihan, yang terjadi saat ini masih jauh panggang dari api, mayoritas terjebak dalam budaya yang tidak semestinya dan asyik berpesta pora seolah lupa esok pintu gerbang Masyarakat Ekonomi Asean telah dibuka dengan bekal 28,59 juta saudara kita masih berada di garis kemiskinan. Saya menulis tidak untuk mengajak menikmati ironi negeri kita, tetapi untuk bersama sama bangkit dan mendukung pemerintah, kebijakan boleh dikritisi tetapi tidak boleh lewat pandangan sempit yang terlanjur apriori akibat dogma beberapa pihak yang berseberangan, semoga di tahun yang baru ini bersama kita jaga semangat optimisme dan senantiasa berbaik sangka demi kemajuan bangsa, jangan lagi ada kegaduhan yang energinya akan lebih bermanfaat jika digunakan untuk hal yang lebih produktif. Salam damai Indonesiaku...

 

 

Guangzhou, Pagi Pertama 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun