Setelah meraih kemerdekaan dari penjajahan Barat pada abad ke-20, bangsa-bangsa Muslim di Asia Tenggara, Afrika Barat, dan kawasan lainnya menghadapi tantangan besar dalam membangun identitas, politik, ekonomi, dan struktur sosial yang mandiri. Kemerdekaan ini, meskipun diraih dengan perjuangan keras, ternyata tidak serta-merta membawa kebebasan yang diharapkan. Di tengah kegembiraan merdeka, muncul kesadaran di kalangan intelektual Muslim bahwa kebebasan politik tidak cukup untuk mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang telah lama melanda masyarakat Muslim.
Para cendekiawan Muslim mulai mencari inspirasi, merujuk pada masa kejayaan Islam, dan dengan gegap gempita memuji karya-karya pemikir klasik seperti Ibnu Khaldun dan Al-Ghazali. Dalam upaya menemukan solusi atas permasalahan kontemporer, gagasan mereka diangkat dan dianggap sebagai referensi penting untuk membangun masyarakat Muslim yang lebih tangguh. Akan tetapi, di tengah kegembiraan tersebut, muncul kritik terhadap penggunaan ide-ide klasik ini. Alih-alih mengangkat derajat umat Islam, sebagian gagasan klasik justru memperparah krisis yang sedang dihadapi.
Ibnu Khaldun dan Ashabiyah: Inspirasi atau Masalah
Ibnu Khaldun adalah salah satu pemikir Muslim paling berpengaruh di dunia intelektual Islam, terutama melalui teori ashabiyah (solidaritas kelompok) yang ia kembangkan dalam Muqaddimah. Ashabiyah, dalam pemikiran Ibnu Khaldun, merupakan kekuatan sosial yang menjadi pendorong lahir dan berkembangnya peradaban. Solidaritas kelompok atau ashabiyah dianggap sebagai fondasi yang mengikat masyarakat dalam mencapai tujuan bersama, terutama di saat peradaban menghadapi tantangan eksternal dan internal.
Namun, dalam konteks dunia modern, penerapan ashabiyah sering kali menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan. Sebagaimana yang diklaim Charles Darwin, "Survival of The Fittest" adalah merugikan. Solidaritas yang dibangun berdasarkan ashabiyah dapat dengan mudah berubah menjadi fanatisme kelompok, baik dalam bentuk etnis, agama, geografis, atau sektarianisme. Hal ini mengarah pada pemecahan masyarakat yang lebih dalam, serta konflik internal yang justru memperlemah umat Islam. Tidak jarang, fanatisme kelompok ini juga digunakan sebagai alat politik untuk kepentingan tertentu, yang memperburuk situasi politik dan sosial. Pandangan Islam terhadap fanatisme kelompok sebenarnya sangat jelas. Nabi Muhammad SAW secara tegas melarang ashabiyah dalam segala bentuknya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nabi bersabda:
Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashabiyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar asabiyyah. Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashabiyah. (HR. Abu Dawud).
Dengan kata lain, Islam menolak semua bentuk fanatisme yang dapat memecah belah masyarakat dan merusak persatuan umat. Sayangnya, meskipun pesan ini jelas, banyak pemimpin dan intelektual Muslim kontemporer justru terus menghidupkan gagasan ashabiyah dalam berbagai bentuk. Hal ini sering kali digunakan sebagai alat untuk membangun kekuasaan politik atau mendominasi kelompok-kelompok lain. Padahal, Islam sebagai agama justru mendorong persatuan yang lebih luas, melintasi batas-batas etnis, agama, dan kelompok, dengan tujuan untuk menciptakan harmoni dan keadilan sosial. Rasulullah bersabda:
Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya." Kami (para sahabat) berkata, "Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab, "Lantas siapa lagi?" (HR. Muslim no. 2669).
Al-Ghazali: Agama sebagai Alat Sosial
Al-Ghazali, pemikir Muslim klasik lainnya, juga sering diangkat sebagai sumber inspirasi dalam membangun kembali masyarakat Muslim. Ghazali menekankan pentingnya agama sebagai alat untuk menjaga ketertiban sosial dan moralitas masyarakat. Pandangannya bahwa agama dapat digunakan sebagai instrumen sosial dianggap relevan di masa lalu, ketika masyarakat masih sangat terikat pada struktur agama.
Namun, ketika diterapkan dalam dunia modern, pandangan ini sering kali digunakan sebagai pembenaran untuk menundukkan masyarakat kepada otoritas tertentu, tanpa mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi dan kebebasan individu. Alhasil, agama yang seharusnya menjadi sumber pencerahan dan persatuan, malah sering kali digunakan sebagai instrumen kekuasaan yang otoriter. Padahal, agama dalam Islam tidak dimaksudkan untuk mengekang, melainkan untuk membebaskan manusia dari kebodohan, ketidakadilan, dan penindasan.
Dalam konteks ekonomi dan keuangan, pendekatan agama sebagai alat sosial dalam Upaya perbaikan mental juga menghadirkan tantangan tersendiri. Banyak negara Muslim yang berusaha membangun sistem ekonomi dan keuangan yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam, tetapi seringkali terjebak dalam pola pikir asabiyyah. Mereka mencoba membangun sistem ekonomi Islam yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Negara-negara Barat, hanya "memakai sorban" sahaja. Di sinilah letak tantangannya: bagaimana menciptakan sistem ekonomi dan keuangan yang benar-benar sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, bukan sekadar mengikuti model Barat dengan tambahan label agama.
Islam adalah agama yang menawarkan pedoman universal untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan manusia, baik di dunia maupun akhirat. Prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam menekankan keadilan, persatuan, dan keseimbangan antara hak individu dan kepentingan sosial. Konsep ini sangat berbeda dari ashabiyah, yang hanya mementingkan kelompok tertentu dan sering kali mengabaikan hak-hak kelompok lain. Islam mendorong persatuan umat manusia di bawah payung moral yang sama, tanpa membedakan latar belakang etnis, ras, atau agama. Sayangnya, banyak intelektual Muslim kontemporer lebih memilih untuk mengikuti gagasan-gagasan yang memecah belah, alih-alih merujuk kepada ajaran Islam yang menekankan persatuan. Hal ini memperburuk situasi sosial dan politik di banyak negara Muslim, di mana konflik sektarian dan etnis masih sering terjadi.
Dalam konteks ekonomi dan keuangan, Islam menawarkan solusi yang adil dan berkelanjutan, yang dapat menjadi alternatif bagi sistem kapitalis yang sering kali hanya menguntungkan segelintir orang. Seolah terjerembab pada lubang biawak, sistem ekonomi Islam yang benar-benar berlandaskan ajaran agama masih sulit diterapkan, karena kebanyakan negara Muslim masih terjebak dalam pola pikir ekonomi Barat. Fenomena ini dapat dilihat dalam industri perbankan dan keuangan syariah, di mana banyak produk keuangan syariah sebenarnya tidak berbeda jauh dengan produk keuangan konvensional, hanya dengan sedikit modifikasi agar sesuai dengan hukum Islam.
Saya pribadi tidak setuju pandangan semacam ini, karena seolah-olah terjadi klise pemikiran: meniru Barat sambil berpura-pura menentangnya. Banyak intelektual Muslim kontemporer yang mencoba menentang dominasi ekonomi Barat, tetapi pada saat yang sama justru menggunakan instrumen ekonomi yang sama dengan yang digunakan di Barat. Misalnya, konsep Capital Asset Pricing Model (CAPM) yang digunakan dalam keuangan konvensional diadopsi dalam keuangan syariah menjadi Islamic Capital Asset Pricing Model (ICAPM).